"Aduh kepala ku...." Pria bernama Wil bangun dari tidur panjangya. Ia mendudukan dirinya di tempat tidur pasien. Matanya melirik jam dinding. Waktu sudah menunjukan pukul 4. Tak tau pagi atau malam, dirinya tidak tau.
Diatas meja aluminium terdapat bunga mawar hitam yang ia berikan ke Laura kemarin.
Laura sedang tidur di dekatnya. Posisinya tidak nyaman tidur diatas kursi begitu. Wil mendekati telinga wanita muda itu dan berteriak.
"BANGUN!!!" Mendengar pekikan Wil. Wanita yang sedang tertidur itu terkejut dan jatuh dari kursinya.
"Dasar penganggu!!" Laura bangkit dan berdiri tegak. Ia berkacak pinggang dengan tatapan wajah kesal. Sifat Wil berubah 180 derajat. Semalam dia romantis dan baik, paginya dia sangat menyebalkan.
"Jangan menatapku begitu****," ujar Wil sambil mengambil bunga mawar hitam dari vas bunga. Ia mencabut satu kelopak bunga dan memasukanya pada mulut Laura.
Laura langsung mengeluarkan kelopak bunga itu dari mulutnya. "Menyebalkan!"
"Padahal kau lagi sakit. Tapi, tetap saja menyebalkan!" Laura langsung berjalan menuju pintu ruangan dengan perasaan kesal.
"Kau tidak mau membawa bunganya?" Tanya Wil. Laura berbalik badan dan mengambil bunganya itu, lalu kembali melanjutkan niatnya meninggalkan ruangan.
"Dasar! Beruang kutub tak tau terimakasih!" Saat di luar rumah sakit, ia memesan taksi online untuk ke rumah.
6 menit ia menunggu, akhirnya datang juga. Ia naik ke dalam mobil. "Nona? Kau tidak apa-apa?"
"Uh, ini darah temanku," jawab Laura. Pengemudi itu langsung menjalankan mobilnya.
Di rumah ia langsung disambut oleh sepupunya, Roy. "Selamat datang, sepupu kesayangan!" Ujarnya hendak mendekap wanita muda itu namun Roy menghentikanya. Kenapa bajumu berdarah-darah gitu?"
"Ini darah temanku, sudah kering juga," jawab Laura lalu mendekap Roy. Dari pintu keluar seorang wanita yang kira-kira seumuran dengan Roy.
"Siapa itu?" Tanya Laura, Roy menunggingkan senyuman.
"Itu tunanganku," jawabnya.
"Oh, dia cantik sepertiku." Roy dan wanita itu pun tertawa.
Di kamar Laura mengganti bajunya. Lalu, mencuci bajunya itu di kamar mandi.
"Pegel!" Ujarnya lalu membasuh bajunya itu. Bersih tak ada noda merah sedikit pun. Ia lega tugasnya selesai. Ia melihat jam dinding kamarnya yang berwarna merah muda.
Waktu menunjukan pukul 6. Laura bersiap untuk ke kampus.
"Ra, Ra!" Sapa seorang teman kampusnya, Bulan. Laura sempat berfikir, orang tua mana yang menamai anaknya Bulan?
Wanita itu berlari mendekati Laura. Ia memberika sebuah amplop putih. "Apa ini?" tanya Laura.
"Amplop."
"Maksudku isinya****."
"Ntahlah, aku menemukan di atas mejamu," jawabnya. Laura membuka amplop tersebut, membaca isinya. Sebuah puisi cinta yang ditulis dengan tinta merah.
"Wah, ada yang menyukaimu****."
"Jangan salah paham, aku gak punya penggemar****," ujar Laura sambil membaca puisi tersebut.
Matahari bersinar
Cerah seperti harapan
Angin bertiup kencang
Berusaha menghapuskan perasaan ini
Jiwa tak menentu
Hati gelisah
Ingin berterus terang
Namun ombak ketakutan melanda
Memandangnya seperti cahaya rembulan
Terkadang ingin kugapai
Tetapi mustahil
Hanya bisa dipandang tanpa dimiliki
"Puisi yang bagus, orang misterius."
"Ra, kayaknya kau harus mangawasi lokermu," ujar Bulan. Laura tak mungkin membuang waktunya mengawasi loker.
"Tak usah, Lan, nanti juga ketauan kok," ujar Laura dengan santainya. Ia memasukan kertas itu kedalam tasnya.
🔪🔪🔪
Sebulan berlalu, namun penulis puisi itu masih misterius. Gaya tulisanya berbeda setiap harinya, namun di tulis dengan tinta yang sama, berwarna merah.
Laura mulai lelah dengan hal tersebut. Rasanya sekitar 35 surat yang dikirimkan ke dirinya.
Temui aku di parkiran setelah kelas!
Melihat tulisan itu, Laura jadi teringat sebulan yang lalu ia belum melakukanya. Setelah kelas selesai ia akan segera pergi ke parkiran.
"Ra, kenapa sih? Wajahmu stres gitu."
"Lan, aku stres sama puisi dan surat cinta yang terus berdatangan." Laura memijiat perlahan pelipisnya.
Bulan tetap tak mengerti kenapa?
Baru sebulan saja, hal itu sudah sedikit menganggu mentalnya. "Aku harap ini segera berakhir."
Kelas selesai, ia segera menuju parkiran dan mendapati pria dengan memakai topi hitam serta masker mulut. "Dia orangnya?" Laura memandangi pria yang sedang bersandar pada mobil hitam.
"Hai Aura," sapanya sambil menaikan topi dan menurunkan maskernya. Telihat sosok Wil yang sehat-sehat saja, tak seperti bulan lalu.
"Jangan coba-coba ubah nama seseorang!" Laura mengembungkan pipinya sambil menatap Wil. Wanita itu memandanginya dari kepala sampai kakinya.
"Kelihatanya kau sehat-sehat aja. Oia kau ngapain di sini?"
"Menunggumu lah. Ayo, kita gak punya banyak waktu," ujar Wil sambil membuka pintu mobil. Laura ikut memasuki mobil itu dan duduk di kursi penumpang.
Ada yang ingin ditanyakan oleh Laura, kejadian yang menghantuinya sebulan ini. Namun, ia lebih memilih untuk memendamnya terlebih dahulu. Suasana sangat canggung di dalam mobil. Radio pun tidak dinyalakan oleh Wil.
"Kita mau kemana?" Tanya Laura untuk membuka mencairkan suasana.
"Mall," singkat Wil.
"Apa itu?" Wil terkejut dengan pertanyaan Laura dan hampir saja ia membanting setir mobilnya.
"Jangan bercanda," ujar Wil setengah tertawa. Laura bingung, ia tak bercanda sama sekali. Ia benar-benar tidak terlalu tau soal kota. Maklum saja dia tinggal di daerah perkampungan dan agak terpencil.
"Aku serius!" Balas Laura lalu membuang muka kearah jendela mobil.
"Mall itu gedung****," jawab Wil singkat. Laura hanya bisa berpura-pura tuli.
Sesampainya di mall yang di maksud, Laura tercengang melihat gedung yang amat besar dan tinggi. "Waw," gumamnya.
"Jangan kehilangan aku selama di dalam ok?" Pria itu berjalan mendahului Laura.
Wanita itu berjalan di belakang Wil seakan dia asisten pribadinya. Mata ungunya tertarik dengan pakaian yang dipajang pada baik kaca transparan. Pakaian dengan warna yang mencolok terlihat bagus di matanya.
Wanita itu tak menyadari kalau Wil sudah tidak berada di dekatnya. Ia mencari dikeramaian pengunjung mall, tetapi tak melihat rambut putihnya. Ia melangkahkan kakinya mencari William.
"Bisa-bisanya aku ditinggal!" Laura berniat menunggunya dekat mobil. Namun, ia tak ingat jalan kembali. Karena mall yang sangat luas itu.
Ia menemukan tempat untuk duduk. Ia mendudukan dirinya diatas tempat duduk panjang berwarna hitam. Banyak pengunjung yang menatapnya. Mereka merasa aneh dengan warna mata yang ia miliki.
"Cih, kayak gak pernah lihat aja." Laura menunggu, kemungkinqn Wil akan datang mencarinya.
Hari mulai gelap dan Wil belum menunjukan batang hidungnya. Wanita yang sedang berjalan di dekat eskalator itu berniat mencari pria yang mengajaknya tadi.
🔪🔪🔪
Pria dengan kaus hitam yang dilapisi kemeja putih yang terbuka. Berjalan menuju tempat semula. Ia baru menyadari Laura tak ada di belakangnya.
Ia turun ke lantai 1 mall menggunakan tangga berjalan. Tetap saja ia tak melihat Laura di sekitar situ. Lama ia berkeliling selama 30 menit dan kakinya mulai pegal. Wil memutuskan untuk beristirahat di tempat makan.
Ia memesan, makananya akan diantarkan nanti. Ia mencari tempat dan melihat seorang wanita memakai sweater coklat muda sedang makan sendirian dengan wajah sedih.
Wil mendekatinya. Terlihat mata ungu yang mencolok meliriknya. "Kau memang susah diberitau," ujar Wil lalu duduk di seberangnya.
Laura menggigit roti lapis di tanganya dengan kesal. Sambil menatap tajam pria di hadapanya itu. "Salah sendiri kau tak mempedulikanku!" Balasnya lalu meminum soda yang berada di dekatnya.
"Maaf ya, 'Aura'." Wil menerima pesanan yang diantarkan oleh rumah makan itu. Laura beranjak dari kursinya dan berniat meninggalkan Wil.
"Eh, tunggu," ujar Wil. Laura meliriknya dan mengabaikan perkataan Wil.
🔪🔪🔪
Di luar Laura sebenarnya tak tau mau kemana. Jalan menuju lantai 1 pun ia tak ingat. "Trauma aku ke sini," gumamnya sambil berjalan tanpa tujuan.
Ia pun akhirnya mampir ke toko buku di lantai 2 itu. Ia melihat harga-harga buku yang menurutnya mahal. Ia menggelengkan kepala saat melihat beberapa harga buku.
"Astaga, lebih baik beli buku pelajaran," ujar batin Laura.
"Kau mau beli buku itu?" Tanya Wil sambil mengunyah permen karet dengan rasa stroberi.
"Gaklah, besok aku mau jajan apa?"
"Cih, miskin." Laura langsung mengetuk kepala Wil dengan buku yang ia pegang.
"Sewa satpam untuk mulutmu itu!" Wanita berambut coklat tersebut mengembalikan buku ke tempat semula.
"Aduh." Wil mengusap-usap kening kepalanya yang dihantam oleh buku. "Kau serius gak mau beli itu? Aku belikan, kalau mau," ujar Wil dengan tangan yang masih menyentuh keningnya.
"Kau serius?" Tanya Laura dengan mata yang berbinar. Jujur Ia tertarik dengan novel bergenre romantis yang ia gunakan untuk menghantam kepala Wil. "Aku mau ini." Laura menunjukan buku yang ia inginkan.
"Pegang dulu, aku mau ke seberang****." Laura mengikuti langkah kaki Wil. Ia melihat kumpulan novel horor dan misteri yang terpajang di sana.
"Novel berdarah semua." Jari-jari manis Laura menyentuh tepian buku yang disusun sejajar. Sampai kakinya tak sengaja menendang Wil yang sedang berlutut melihat novel.
"Matamu kemana?" Tanya Wil dengan ketus. Dia mengambil buku yang berada di antara buku-buku yang berjejer.
"Aku melihat-lihat buku-buku ini. Ada aja orang yang mau membuat novel sadis begini," jawab Laura. Matanya menatap buku dengan sampul yang seram.
"Ayo ke kasir, kita pulang," ajak Wil sambil bangkit berdiri.
Mereka berdua berjalanan beriringan menuju kasir dan membayar novel yang mereka pilih. Setelah membayar novel itu, Wil mengantar Laura pulang kerumahnya. Ia berniat menginap kalau ada waktu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments