Seorang wanita tengah bersantai di atas ranjang, sedang mendengarkan musik dengan matanya yang tertutup rapat. Ia menunggu kedatangan calon suaminya.
Suara klakson mobil menembus earphone yang sedang ia kenakan. Segera ia menuruni tangga dan menyambut seseorang yang datang.
Wanita itu membuka pintu dan mendapati calon suaminya, Wil, dengan baju terdapat banyak bercak darah hingga rambutnya.
"Kau habis ngapain?" Tanyanya. Wil tersentak dan segera masuk ke dalam rumah tanpa menjawab pertanyaan Laura.
"Hey, aku berbicara padamu!" Ujar Laura sambil menarik lengan jas hitam Wil.
Pria itu langsung menepis dan melanjutkan langkahnya. Mood-nya tiba-tiba berubah, rasanya ingin marah kepada siapapun yang mengusik dirinya.
"Wil, jawab aku," ujar Laura sekali lagi. Namun, tamparan keras mendarat di pipinya. Wanita itu tersungkur sambil memegangi pipinya yang memerah.
"Jangan usik aku." Wil menutup pintu kamar lalu menguncinya.
"Nona tidak apa-apa?" Tanya pembantu itu, khawatir dengan keadaan majikanya itu. Laura menggelengkan kepala dan berkata kalau ia baik-baik saja.
Wanita tersebut berusaha bangkit berdiri, dibantu boleh pembantu di sampingnya. "Wil!" Panggil Laura sambil mengetuk pintu.
Tak ada jawaban sama sekali, wanita itu memutuskan untuk pergi menjauhi pintu berwarna hitam tersebut. Ia duduk di
"Huh! Wil," gumamnya dalam hati. Sesekali Laura menengok kearah pintu hitam kamar Wil.
Sekitar 20 menit Wil keluar dari kamarnya dengan pakaian hitam putih yang biasa ia kenakan. Ia mendekati Laura dan menengok ke wajah wanita itu.
"Pipi kamu kenapa merah gitu?"
"Kamu yang buat begini tau!"
"Aku? Kapan?" Wil menatap plafon sambil mengelus dagunya.
"Terserah," ujar Laura.
Wil mengelus kepala calon istrinya lalu mengigit lembut pipinya. "Kau marah padaku?"
"Tentu saja****!"
"Ya sudahlah, aku mau keluar." Wil mengambil topi pada gantungan baju di dekat pintu utama rumah.
"Cih." Laura berdecih. Ia menuju belakang rumah untuk menenangkan pikiranya.
Terdapat ruangan dengan kolam renang di dalamnya, kira-kira berukuran 7m×3m.
Laura duduk dipinggir kolam renang tersebut dan memandangi bayanganya yang samar-samar terlihat.
Muncul seseorang dari belakang dirinya, dengan rambut putih yang melambai karena angin yang masuk dari ventilasi. "Kau masih marah?" Ujarnya.
"Pikir sendiri!" Ujar Laura yang masih kesal dengan perlakuan Wil padanya beberapa menit yang lalu.
"Jangan buat aku kesal."
Laura menengok dengan tatapan sinis, ia menggerutu dalam hatinya. "Iya aku masih marah! Sekarang pergilah."
"Berapa lama?"
"Apa?"
"Berapa lama aku harus pergi?"
"Ntah," jawab Laura.
"Baiklah, jangan sampai kau merindukanku."
"Tidak akan!" Laura melihat punggung Wil yang kekar menghilang dari pintu.
"Nona, apa kalian ada masalah?"
"Hueee, Wil menyebalkan." Wajah Laura memelas. Ia menopang dagu dan menatap air yang begitu tenang.
"Pikir positif saja nona. Tuan Wil menolong orang yang kecelakaan mungkin?"
"Benar juga sih," ujar Laura.
Namun seandainya itu benar.
Wil melangkahkan kakinya menyusuri trotoar yang ramai dengan pejalan kaki. Cahaya dari mata merahnya menembus kacamata hitam yang ia kenakan. Ia mengunjungi stasiun kereta api dan menunggu kereta pada peron.
Terasa benda dingin menyentuh permukaan kulit pada lehernya. Maju sedikit saja, lehernya sudah terluka.
Seorang penumpang wanita yang menyadari hal itu memekik hingga menarik perhatian penumpang lain.
"Jangan bergerak atau kau akan terpenggal." Pemilik suara itu adalah seorang pria.
"Tidak usah drama. Apa maumu?"
"Serahkan uangmu."
"Sebaiknya kau pergi sebelum menyesal," ujar Wil.
Polisi datang dan menodongkan pistol kearah pria yang sedang mengenggam pisau.
Pria itu menggoreskan pisaunya pada leher Wil dan langsung turun ke rel kereta api. Tidak sampai 1 detik, kereta melintas dan menggilas hingga darah berceceran di sekitaran rel.
Wil meraba lehernya yang terasa berair dan licin. Terdapat darah segar yang menempel dari jari-jarinya. "Merepotkan," ujarnya. Ia tak mungkin pulang ke rumah dan memutuskan untuk naik taksi setelah menghentikan pendarahan di lehernya.
Di sisi lain. Laura berjalan memutari kolam renang. Pembantunya yang melihat itu merasa pusing karena kegiatan majikanya.
"Nona sudah begini selama 2 jam."
"Huh! Aku memikirkan siluman beruang itu! Dia belum kembali sampai sekarang."
"Bukannya anda suruh dia pergi?"
"Tapi gak selama ini! Aku mau cari dia, tapi aku gak tau daerah sini." Laura terus berfikir dan berakhir dengan ia duduk di tepi kolam renang dengan air yang bergelombang karena kakinya.
"Mungkin besok dia kembali?"
"Amin, aku harap iya !" Laura meletakan kepalan tanganya di depan dada. Semakin gelisah kakinya mengayun dengan cepat. Pembantunya membiarkan Laura sendirian sementara.
Laura merasa ada sesuatu yang masuk di air. Dia menengok dan memasukan tanganya ke dalam kolam. "Hanya perasaan."
Waktu berlalu, hari sudah gelap dan bulan sudah menampakan dirinya dengan sinar biru yang indah. Laura memandangi bulan itu, teringat dengan teman lamanya yang bernama Bulan. "Apa kabarnya ya Bulan dan Zane?"
Di tengah lamunanya itu, ia memandag kota dengan lampu biru merah yang menyala mengikuti jalur jalan raya. "Semoga itu bukan sesuatu yang buruk."
2 minggu berlalu. Wil belum juga memunculkan batang hidungnya di rumah mewah kediaman Zhou.
Laura merasa lapar tiba-tiba, padahal dia baru saja selesai sarapan. "Laper banget." Tanganya mengambil mangkuk berisi sayuran segar dengan mayones, tampak mengugah selera.
"Nona makan lagi?"
"Ehe, aku lapar."
"Saya akan ambilkan air," ujar pembantu itu dan meletakan penghisap debu pada tempatnya.
Ia memberikan segelas air mineral untuk Laura. "Terimakasih."
"Aku merindukan Wil," ujar Laura. Ia memajukan bibir layaknya seekor bebek.
"Suami saya juga pernah begitu," ujar pembantu tersebut sambil mencuci piring.
"Oya? Lalu?"
"Aku mendapat kabar buruk, kalau dia sudah tiada. Kecelakaan kerja."
"Itu menyedihkan," ujar Laura sambil perlahan menyuapkan sayuran ke dalam mulutnya.
"Beruntung anak saya sudah kerja, jadi tidak masalah saya tinggal."
"Waw, dia pasti menyayangimu."
"Tentu," balas pembantu itu seraya mengeringkan tanganya dengan kain lap. Ia menyeka peluh lalu berkacak pinggang, menghela nafas dan melakukan tugas selanjutnya.
"Aku masih lapar," ujar Laura. Ia mencuci mangkuk.
Rasa mual sudah sampai kerongkonganya. Laura berusaha memuntahkan isi perutnya, namun nihil. Rasa mual tersebut menyiksanya.
"Kau kenapa?" Tanya seorang pria sambil mengelus punggung Laura.
"Aku mual!" Jawab Laura.
Rasa mual sudah berkurang. Tubuh Laura terasa sangat lemas. Ia tak kuat menopang tubuhnya sendiri.
"Kita ke kamar ya?"
Laura menengok kearah sumber suara. Terpampang wajah tampan Wil di sana. Laura mendekap tubuh Wil dan menangis.
"Kau kemana saja? Aku merindukanmu!"
"Padahal aku sudah bilang, 'jangan merindukanku'," ujar Wil.
Wil meletakan Laura di atas ranjang. Ia mengeluarkan pisau lipat dan mulai mengukir namanya di lengan kiri Laura.
"W"
Laura menjerit kesakitan. Tak tanggung-tanggung Wil menekan pisaunya.
"Sakit Wil!" Laura terus meronta-ronta. Darah tak berhenti mengalir dari lenganya.
"I"
"L"
"I"
"A"
"M"
"Argh!!! Kurang 'L'! Kau terlalu banyak bergerak sih!"
"Kenapa kau melakukan ini?" Laura menitikan air mata. Terdengar isak tangis wanita itu menahan sakit dan ketakutanya terhadap darah.
"Agar kau tidak merindukanku." Wil menekam luka Laura pada huruf 'L'-nya. Ia geram karena namanya kurang huruf tersebut.
"Sakit!"
"Sepertinya harusku ukir ulang?" Mendengar itu Laura melindungi lengan kananya.
"Tidak!! Sakit tau rasanya!"
"Nama panggilanku saja, sayang. Kemarikan tanganmu sebelum aku marah."
"Gak mau! Pergi!"
"Alexandra Laura! Aku hanya mengukir nama panggilanku saja! Tolonglah!"
"Tidak mau!!" Air mata semakin deras keluar. Seprei putih kini menjadi berwarna merah karena darah Laura.
"Akh! Aku pusing." Laura memegangi kepalanya. Rasanya seperti dihantam oleh batu yang begitu besar.
Tak kuasa menahan rasa pusing itu, Laura pingsan di tempat dengan lenganya yang masih mengeluarkan darah.
Wil mengambil ponselnya. Ia menelfon dokter untuk memeriksa Laura. Begitu dokter datang, ia mempercayakan pembantunya untuk mengurus Laura.
Ia jadi teringat oleh janjinya menikahi Laura. "Aku pikirkan nanti saja." Ia melempar ponselnya ke sofa di lantai 1.
Suara tembakan begitu menggelegar. Sumber suara tersebut berasal dari arah luar rumah. Wil mengintip dan melihat seseorag dengan tembakan peringatan.
"SEMUA TIARAP!" Pekiknya. Semua orang keluar dari rumahnya.
"Ceroboh," ujar Wil dalam hati. Dia menutup pintu.
Suara tembakan tak berhenti sampai 1 jam. Sebelum itu Wil sudah memanggil polisi. Suara sirine begitu nyaring menusuk gendang telinga Wil. Ia memasang airpods dan mendengarkan lagu sambil santai di atas sofa berukuran panjang.
"Huh, dunia ini memang tidak adil."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
-LADA-
Wil: Aku lah hati yang telah..... Kau sakiti
2020-06-10
1