#14

Di siang yang panas, Laura menyantap es krim bersama Sean di cafe dekat kampus. Tengah asik menyantap seorang wanita menepuk pungung Sean dengan keras.

"Abang!!"

"Abang janji jemput aku jam 10, ini udah jam 12 abang belum jemput! Ternyata di sini." Mata wanita itu mengarah ke Laura yang ada di seberang Sean.

"Oh, patesan lupa adiknya sendiri. Lagi pacaran rupanya." Sean langsung menutup mulut wanita yang ia panggil adik itu.

"Um, adikmu?" Tanya Laura.

"Ah, iya. Maklumi ya dia suka ngomong apa adanya." Sean melepas tanganya. Lalu memperkenalkan adiknya kepada Laura, Mirici.

Mirici memesan es krim yang sama dengan yang Laura pesan tadi. Belum lama mereka berbincang. Tangan berkulit putih menyambar lengan Laura dan menariknya sampai keluar cafe.

Wanita yang ditarik kasar itu melawan dan berusaha melepaskan cengkraman pria berambut putih tersebut. "Lepasin atau aku teriak!"

"Oh? Teriaklah!" Mendengar bentakan Wil, mental dari wanita bernama Laura tersebut langsung menciut seakan menjadi sekecil debu.

"Aku tak suka kau dekat-dekat dengan manusia tadi! Apalagi adiknya!" Ujar Wil saat berada di ruangan seni musik di kampus.

"Kenapa?" Suara Laura bergetar, ia takut dengan Wil yang sedang naik pitam. Tatapanya seperti pembunuh yang akan menghancurkanya kapan saja.

"Kenapa? Dia itu berbahaya. Jangan menilai buku dari sampulnya."

"Berarti aku juga gak boleh menilaimu hanya dari sampulnya!"

"Jujur saja, aku masih ingat ada bercak darah di bajumu. Apa itu!?" Laura terpancing emosi Wil.

Wil hanya dia diam. Sekarang situasi terbalik seperti membalikan meja. "Kenapa kau diam saja? William?" Dengan reflek pria itu menendang perut Laura sampai wanita tersebut menghantam pintu. Laura terjatuh duduk dengan tubuh yang melemas.

Kaki Wil menginjak pundak kiri Laura dengan kaki kananya. "Pokoknya aku gak mau jawab pertanyaan itu." Air mata keluar dari pelupuk mata Laura. Tulang pada pundaknya seakan mau bergeser ataupun patah.

Laura memohon-mohon menyingkirkan kaki Wil dari pundaknya. Matanya melihat Sean masuk dari jendela dengan gitar di genggamanya. Gitar tersebut diangkat seperti ingin memukul Wil dengan gitar tersebut.

Insting Wil menguasai pikiranya, ia berbalik dan menendang Sean hingga menghantam piano di sana. Piano tersebut hancur seketika karena dihantam oleh Sean.

Nafas Laura tertahan melihat kejadian barusan. Cukup lama Sean tak berkutik. Wil mendekati musuhnya dan menjambak rambut pria tersebut.

Secara tak terduga Sean memukul wajah Wil hingga tersungkur di lantai. Ia mengubah posisinya menjadi terlentang dan terkejut dengan Sean yang sudah mengenggam pisau.

Saat Sean mengayunkan pisaunya. Wil menahan mata pisau yang akan menusuk wajahnya. Cairan merah mengalir dari telapak tangan Wil.

Dua pria yang sedang sibuk dengan perkelahian mereka, melupakan Laura. Ingatan masa lalu Laura terpanggil kembali. Ia menangis hebat teringat orangtuanya yang meninggal depan matanya. Dirinya menangis hebat, sambil mendekap lutut.

Wil membanting Sean kearah kirinya lalu berlari mendekati Laura. Ia baru menyadari saat Laura memanggil-manggil Ibunya. Dirinya berlutut di hadapan Laura

Saat hendak menyetuh pipi Laura yang basah karena air mata, Laura menepisnya kasar. Bulu kuduknya berdiri melihat darah yang keluar dari telapak tangan Wil. "Jangan sentuh aku!"

"Aku mau sendirian****," ujar Laura sambil membanting pintu, keluar dari ruang seni musik.

Hari demi hari berlalu. Laura terus-menerus menghidari Wil. Jika melihatnya di ujung jalan, ia lebih memilih membuang muka daripada harus berputar balik.

Wil pun demikian, ia tak mau mengusik ketenangan orang lain. Terutama ia baru menyadari, Laura melepas kalung yang ia berikan beberapa hari lalu.

Tak tahan ia dijauhi seperti ini. Namun, ia sadar, dirinya memang tidak pantas memiliki seorang teman yang nyata. Ia memulai kebiasaan lamanya kembali, dengan berbicara dan beradu argumen dengan batinya sendiri.

Meskipun, itu akan membuat psikologisnya terganggu lagi. Ia tak peduli, daripada ia harus kesepian dan berbicara dengan benda-benda mati.

Di sisi lain, Kardita senang dengan usahanya. Tak sia-sia ia meminta tolong Bulan untuk menjauhkan mereka berdua.

"Kak Sean ya?" Tanya Bulan kepada pria yang sedang meminum es teh di kantin saat ulang tahun Laura.

"Ya. Ada yang bisa aku bantu?"

"Kakak kenal Laurakan? Pasti kenal!"

"Kenal nama sih, baru ketemu beberapa hari lalu."

"Gini, gini. Aku minta kakak pisahkan Laura dan Kak Wil."

"Untuk?"

"Agar Kardita bisa dekat dengan Kak Wil lah, gimana sih?"

"Oh, mudah kok. Tapi ada syaratnya," ujar Sean dengan senyuman licik yang tercetak jelas pada wajahnya.

"Apatuh?"

"Uanglah," jawabnya. Bulan pun mengerti.

"Nanti aku bilang ke Kardita, soal itu gampang nanti!"

Lalu, Lihatlah, usahanya tak sia-sia. "Lan, makasih banget! Uang yang gue janjiin, nanti gue transfer m-banking, ya?" Bulan mengangguk dan melihat perjuangan Kardita mendekati Wil.

"Siap, bos!"

Di sisi lain. Laura merenung di tempat ia pernah mengobrol dengan Wil, atap kampus. Sebenarnya, dia tak sudi datang kemari. Namun, karena tempat tersebut paling sunyi mau tak mau ia singgah di sana.

"Ngapain tuh?"

Laura menengok kearah sumber suara. Kardita dengan wajah aroganya berdiri sambil melipat tangan. Senyum kemenangan terlukis dengan sempurna.

"Bukan urusanmu. Pergi jauh-jauh!"

"Lan, jatohin dia!" Bulan muncul dari belakang Kardita, penampilanya berubah seperti bukan Bulan yang Laura kenal.

"Lan, kamu gak ingat aku kah? Kau amnesia!?"

"Gak kok, makasih ya atas semuanya. Sampai jumpa," ujar Bulan dan langsung mendorong Laura hingga terjatuh dari atap.

Laura memekik kencang. Tak sengaja Wil mendengar dan melihat bayangan di aspal semakin membesar. Ia menengok keatas dan melihat seorang wanita jatuh dari atap. Tanganya terulur dan menangkap wanita tersebut.

"Aku gak mau mati, aku belum mati, aku takut," gumamnya terus-menerus sampai Wil benar-benar menjatuhkan wanita itu dari peganganya. "Aduh!! Sepertinya tulangku patah!"

"Gak mungkin," balas Wil dengan cepat. Laura berdiri sambil mengosok-gosokan pinggulnya yang terasa sakit.

"Kenapa begitu?"

"Karena, aku menangkapmu barusan." Tanganya masuk kedalam kantung celana jeans hitamnya dan melangkah, melanjutkan perjalananya.

"Sudahlah aku tak mengerti. Aduh, sakit****." Laura menggerutu dalam hati dari tempat kejadian sampai unit kesehatan.

Hari mulai sore. Wil tak ingin bekerja hari ini, dia memilih untuk bermalas-malasan di atas ranjang kamarnya yang cukup besar dan nyaman.

Ia melamun di dalam kamarnya yang serba hitam putih seperti perasaanya saat ini. Ia berguling-guling hingga terjatuh dari ranjangnya, lalu kembali ke atas ranjang. Begitu terus sampai ia lelah. Matanya sesekali melirik ponsel. Ia berharap mendapat notifikasi dari Laura.

"Aku ini seorang pria. Tapi, mungkin nomorku sudah diblokir atau bahkan dihapus."

"Gak mungkinlah."

"Ya mungkin saja, dia marah padaku karena kejadian waktu itu."

"Hanya kejadian itu, lagipula kau gak salah."

"Iya ya, salahku dimana?" Semua suara di kepalanya membuat Wil akan gila sebentar lagi. Pria itu melempar ponsel yang kesembarang arah lalu berusaha untuk tidur.

Paginya ia turun ke dapur dan melihat Ibunya sedang menggiling adonan kue. Kegiatanya terhenti dan menengok kearah anaknya dengan keadaan berantakan, baru bangun tidur.

"Pagi sayang mama yang jomblo."

"Cih, umurku masih belia untuk punya pasangan, Ma," ujar Wil sambil mengacak-acak rambutnya.

"Eh! Jangan diacak-acak! Susah tau memisahkan rambut cyan dengan rambut putih saljumu."

"Ish, nanti aku rapikan sendiri!"

"Belum rapi saja kau sudah, 'Mama tolongin dong'," cibir wanita tersebut sambil menggiling kembali adonan dengan tepung di sekitarnya.

"Oia, semalam kau ngapain guling-guling? Mau cosplay jadi gilingan adonan?"

"Gak, Ma, lagi banyak pikiran aja."

"Wanita yang kau suka meninggalkanmu?"

"Mana mungkin! Aku tak suka kepada wanita manapun."

"Gak mengaku. Dulu mantan mama, sahabat mama, pak rt, pak rw. Semua begitu," ujar Ibunya.

"Papa?"

"Mungkin," jawabnya singkat. Dia mencetak kue dengan cetakan berbentuk bunga yang indah.

"Sini Wil, bantu mama menggambarnya." Wil menyemprotkan semacam adonan coklat dengan hati-hati mengikuti garis. Lalu, mewarnai yang kosong dengan krim gula berwarna-warni.

"Wah rapih sekali. Sini mama masukan ke oven."

Setelah sekitar 10 menit menunggu, kue biskuit tersebut jadi dan hasilnya sangat memuaskan. "Kau terampil juga ya. Mama ikuti kau dalam lomba kesenian mau?"

"Gak," tolak Wil dengan cepat, karena ia sangat tak mau ikut lomba manapun.

"Oia ceritakan tentang wanita yang kau suka itu."

"Sudah ku bilang aku tak suka, Ma!"

"Ceritanya begini...."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!