Hari yang Laura tunggu-tunggu. Jantungnya berdetak kencang, tak terkendali. Ia gugup karena akan menikah dengan Wil hari ini. Rasanya ingin teriak dan melompat.
"Nona jangan gugup. Saya yakin semua akan berjalan dengan lancar!" Ujar pembantunya sambil memegang pundak wanita yang tengah gelisah itu.
"Aku tak percaya ini!"
"Harus percaya dong! Semangat!"
"Ya! Ayo Laura!" Ujar Laura, menyemangati dirinya.
Laura berjalan didampingi oleh pembantunya, ia melihat Wil yang sudab berdiri dekat altar gereja. Wajahnya begitu mempesona, senyuman manisnya menyambut Laura.
"Gak boleh gugup!" Ujar Laura dengan semangat. Laura berhasil melewati masa-mada menegangkan di dalam gereja.
Respsi yang indah menjadi mimpi buruk saat kedua sepasang kekasih bertengkar hingga main tangan satu sama lain.
Terlihat amarah yang membara pada mata Wil. Laura menggenggam tangan pria itu dengan erat. "Sabar!" Ujar Laura sambil mengelus-elus dada bidang Wil.
"Tutup telingamu," bisiknya.
"Kalau mau bertengkar di luar sana! Lapangan luas!!" Ujar Wil dengan tegas. Seluruh tamu terkejut dengan perkataan Wil yang begitu tajam menurut mereka.
"Saya gak mau acara pernikahan saya menjadi mimpi buruk hanya karena kalian! Keluar!!"
"Pintu keluarnya di sana," sambung Wil sambil menunjuk kearah pintu keluar di dekat pintu utama. Keadaan kembali normal, semua orang menikmati pesta itu.
"Keren," ujar Ayahnya sambil memegang gelas berisi wine.
"Siapa yang mengundang anda?"
"Ibumu?"
"Maaf ya sayang, kasian kalau papamu gak diajak." Ibunya muncul dari sisi lain dan merangkul Laura.
"Tuh, galak banget sih ke papamu sendiri," ujar Laura. Ia tertawa kecil diiringi oleh Ibunya Wil.
"Dia bukan papaku," balas Wil.
Hari mulai larut, semua tamu sudah meninggalkan tempat. Wil dan Laura pun sudah mengganti bajunya dengan pakaian yang lebih santai.
"Aku capek banget hari ini! Rasanya mau pingsan!" Keluh Laura dan langsung merebahkan dirinya di atas ranjang.
"Kamu kan lagi hamil, maklumlah," ujar Wil. Dia renggangkan otot-ototnya yang merasa kaku.
"Tunggu, apa? Telingaku bermasalah!" Laura mengecek pendengaranya. Terdengar normal-normal saja.
"Iya kamu hamil sayangku, usia kandungan kamu sekitar... 3 minggu?"
"Astaga!? Pantas saja aku merasa gemuk!" Ujar Laura dengan wajah yang cemberut.
"Jangan gitu dong, jelek ah!" Ujar Wil sambil ikut merebahkan diri dan mulai menutup matanya.
"Biarin!" Tiba-tiba Laura merasa mual. Namun, ia tak cukup tenaga untuk menuju ke kamar mandi. Kakinya memaksa dan tak sengaja membanting pintu kamar mandi.
Wil terkejut dan segera membuka matanya. "Kau membuatku terkejut."
"Huh! Aku lemes, aku pusing," ujar Laura saat rasa mualnya sudah mereda. Ia mencuci wajahnya lalu mengeringkanya dengan handuk.
"Wil, aku mau salad buah," pinta Laura dengan wajah yang memelas.
"Ra, ini pukul 1 pagi. Kau memintaku menuruti keinginanmu?"
"Ku mohon! Ini permintaan 'anak kita'," ujar Laura dengan manja, menarik-narik pakaian Wil.
"Argh! Baiklah, baiklah! Tunggu sebentar."
Laura dengan senang hati menuju atas ranjang. Ia mengambil ponsel Wil dan penasaran dengan isinya. "Tidak dikunci? Menarik," gumamnya dala hati.
Melihat isi percakapanya, kebanyakan isi percakapan yang tidak ia mengerti. Albumnya pun terlihat kosong, hanya ada foto kameranya. Itupun tidak sampai 20 foto.
"Aku curiga, orang ini hidup atau tidak." Laura pun melihat isi log panggilanya, sangat sepi ia hanya menelfon tidak sampai 10 orang.
"Tidak ada apapun di situ," ujar Wil dengan mangkuk di tanganya. Tak sengaja ponsel Wil jatuh dari genggaman Laura. Beruntung lantai di kamar itu adalah karpet.
"Aku gak liat ponselmu," ujar Laura. Ia mengambil ponsel Wil dan melemparnya ke sisi seberang ranjang.
"Konyol." Wil menyodorkan mangkuk berisi buah-buahan segar permintaan Laura.
"Terimakasih, suamiku yang baik," ujar Laura dan langsung melahap buah-buahan di dalam mangkuk.
Telfon Wil bergetar, menampilkam nomor kontak tidak dikenal. Tanpa pikir panjang, Wil menolak panggilan tersebut dan langsung memasukan ponselnya ke dalam laci.
"Kenapa kau tolak? Itu menyakitkan."
"Besok aku telfon balik, kalau ingat." Wil naik ke atas ranjang dan kepalanya bersandar pada pundak Laura.
"Manja," gumam Laura dengan mulut yang berisi buah.
"Katakan itu lagi."
Laura meletakan mangkuk ke atas nakas dan mengecup bibir Wil sekilas. "Waktunya tidur," ujarnya dan langsung tertidur.
Wil mendekap tubuh Sang istri. Matanya tetap terbuka sambil melihat keluar jendela. "Aku penasaran bagaimana anaku nanti?" Gumam Wil.
"Sebaiknya kau tidur," ujar Laura dengan mata yang tertutup rapat.
"Iya iya." Wil mencium kening istrinya dan mulai memasuki alam mimpi.
Wil terbangun di sebuah ruang kelas. Di lihat dari seragamnya, ia anak SMP. Tidak ada satu orang pun di kelas tersebut.
Ia beranjak dari kursinya dan membuka setengah pintu kelas. Darah berceceran dimana-mana dengan mayat-mayat bergelimpangan.
Ia melihat sahabat lamanya dengan kapak yang sudah berlumuran darah. Ia mengeringai kearah Wil. Sahabatnya tersebut melempar kapak di tanganya dan kapak itu memenggal kepala Wil.
Mata Wil terbuka seketika. Keringat dingin membasahi tubuhnya, nafasnya tersengal-sengal. "Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam?"
Laura yang duduk di sofa, depan ranjang tersebut, terkejut karena suaminya yang tiba-tiba bangun. "Kau membuatku terkejut! Untung aku tidak tersedak."
"Ya, mungkin kalau mimpiku lebih buruk aku bisa saja teriak." Wil merebahkan tubuhnya dan menatap plafon putih polos.
"Mimpi apa? Cerita dong!"
"Gak," ujar Wil, ia langsung beranjak dari kasur menuju dapur.
Ia membuka kulkas dan mengambil susu dingin di dalam kulkas tersebut.
"Tuan mau makan?"
"Ya Tuhan!"
"Kau membuatku terkejut," ujar Wil dan meneguk susu dingin langsung dari kotaknya.
"Maaf tuan."
"Buatkan sarapan, apa saja lalu bawa ke kamarku."
"Tapi tuan, sarapan di kamar itu tidak baik--"
"Lakukan saja atau ku pecat!" Ujar Wil dengan penuh penekanan.
"Kamu jangan kayak papa ya nak," ujar Laura sambil menuruni tangga dan mengelus perutnya.
"Gak bisa begitu, kan dia dari s--"
"Cukup cukup! Aku mau belanja bulanan sama Si mbak. Dadah 'papa'," ujar Laura dengan senyuman lebar.
"Mungkin aku udah gak sehat mau menikahi wanita itu. Aku perlu ke dokter."
Makanan sampai di atas nakas kamar Wil. 2 menit kemudian baru ia menyentuh sarapanya yang sudah dingin. Apapun suhu makananya, Wil makan saja yang penting baginya adalah perutnya terisi.
'Hidup sudah simpel, jangan di persulit'
Waktu sudah menunjukan pukul 7 malam. Wil keluar dengan pakaian hitam putihnya serta topi hitam kesayanganya.
"Penjagaan ketat jadi ku bawa pulang saja mangsaku."
Wil berjalan santai melewati kerumunan pejalan kaki yang lalu-lalang. Tanganya mengambil suntikan kecil yang berisi obat bius. Tanganya dengan cepat menusukan jarum tersebut ke leher korbanya.
Di sisi lain. Laura dan pembantunya masih berjalan-jalan di dalam mall melihat perlengkapan bayi.
"Lucunya! Aku mau anak laku-laki sih," ujar Laura sambil melihat-lihat baju bayi untuk laki-laki.
"Perempuan juga imut, nona," ujar pembantunya sambil meraba-raba pakaian bayi perempuan. "Lembut banget."
"Iya ya," ujar Laura.
Seorang wanita paruh baya menjerit secara tiba-tiba. Ia panik anaknya menghilang dari sisinya. "GABY? KAMU DIMANA NAK?" Pekiknya.
"Kasian, anaknya hilang," ujar Laura. Ia ingin mendekati wanita itu dan menenangkanya, namun ia tak mengerti bahasa mereka.
"Nona, ini sudah malam. Sebaiknya kita pulang."
"Benarkah!?" Laura melihat arlojinya. Benar, sudah pukul 8 malam. Laura pun akhirnya pulang bersama pembantunya tersebut.
Di rumah Laura mencari keberadaan Wil, suaminya. Namun, nihil. Dia tak menemukan pria itu dimana-mana kecuali basement.
"Mager banget aku kalau ke ba--"
"wah," sambungnya dalam hati. Ia melihat Wil sedang menyiksa anak kecil dengan menyayat jari-jari kecilnya. Bocah itu menjerit kesakitan dan memohon kepada Wil untuk menghentikan perbuatanya tersebut.
"Diam! Atau kau mau seperti mereka?"
Laura menunduk dan melihat apa yang ditunjuk oleh Wil dengan pisaunya.
"Astaga!" Pekik Laura dan langsung menutup mulutnya dan membeku di tempat.
Wil melirik Laura dan seperti ada kilat putih di mata Wil, matanya merah menyala. "Sampai kau lapor polisi, awas saja."
"Perbuatan kamu salah Wil!"
Pria itu menusukan pisaunya di ubun-ubun anak kecil itu hingga pangkal pisau. "Salah, menurutmu karena kamu wanita kampungan!" Wil mencabut pisau dari kepala anak malang tersebut. Mati sia-sia di tangan manusia bertangan dingin.
Wil berdiri dan berjalan mendekati Laura. "Jangan mendekat," ujar Laura. Ia berjalan mundur untuk menghindari Wil.
"Jangan menghindar dong, sayang****." Wil menggapai tangan Laura lalu mencium punggung tangan wanita itu.
"Aku gak mau dekat dengan pembunuh! Lepaskan tangan aku!"
"Baiklah, kalau kau melaporkan ke polisi kau akan bergabung dengan mereka, ya?"
"Kau tega membunuh calon anakmu sendiri gitu?"
"Tentu, kenapa tidak? Sudah ya aku mau mandi."
"Dasar tak punya hati!"
"Oh? Bahkan aku merasa tak punya jiwa." Wil menunggingkan senyum dan melanjutkan perjalananya ke kamar mandi.
"Ya Tuhan. Apa pilihanku benar menikahi Wil?" Laura bertanya-tanya dalam batinya. Ia berharap Wil bisa berubah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Salisaa
lanjut dong kk:)
2020-06-12
0
Lynne
Lanjut thor👍
2020-06-12
3
-LADA-
Ted Bundy pun bangga kepada wil 😏👍
2020-06-12
1