Psychopath
Anak berusia 4 tahun berjalan mendekati mamanya sambil membawa buku bacaan. Ia memberikan buku itu kepada ibunya. Gadis kecil tersebut berusaha naik ke atas sofa dan duduk di atasnya, di sebelah Ibunya. Mulut kecilnya mulai bercakap sampai akhirnya ke topik serius.
"Ma, bagaimana akhir hidup di dunia?" tanyanya dengan tatapan mata polos. Ibunya hanya diam saja dan berusaha mencerna kejadian barusan. "Baik, aku ubah pertanyaanya. Kematian itu apa?"
Laura yang penasaran diberi harapan palsu. Ibunya tetap tak menjawab lalu menggelengkan kepala. "Pokoknya itu hal yang mengerikan dan tak bisa ditebak," ujar wanita itu.
"Kalau seseorang meninggal dia tidak akan bisa bertemu keluarganya lagi. Jika ingin bertemu, sangat lama atau pun singkat."
"Tapi kita harus menerima kenyataan itu, itulah namanya kehidupan."
"Begitu ya." Laura meresapi yang ibunya ucapkan.
"Aku percaya sama mama, mama gak akan tinggalkan aku." Tubuh kecilnya turun perlahan dari sofa. Lalu berjalan dengan ceria menuju kamarnya sambil bersenandung lagu kesukaanya.
"Kenapa kamu tanya begitu, Ra?" tanya batin wanita itu. Memikirkan kematian membuat wanita itu menjadi paranoid. Namun, ia segera melupakan itu.
Pintu utama rumah terbuka, menunjukan sesosok pria yang baru saja pulang dari kantornya. Dengan pakaian basah kuyup dia memasuki ruangan. "Ya ampun, kau basah," ujar wanita itu menyentuh permukaan pakaian suaminya.
"Sebentar aku ambilkan handuk," sambung wanita itu. Pria tersebut menutup pintu dan menguncinya. Jam dinding menunjukan pukul 9 malam.
Istri dari pria itu datang dengan handuk putih lalu mengeringkan kepala suaminya. Sang suami mendekati wajah istrinya perlahan.
"Ma, aku—" Laura yang masih kecil tak sengaja melihat kemesraan orangtuanya.
"Takut," sambungnya dengan cepat lalu kembali masuk ke dalam kamarnya.
Di dalam kamar, ia langsung naik ke atas kursi belajar miliknya. "Kenapa orang dewasa melakukan hal tak berguna seperti tadi," ujar batinya.
Tangan kecilnya memegang pensil dan mulai menggambar sesuatu. Laura merasakan firasat buruk, sesuatu mengganjal pikiranya. Ia mengecek keluar kamar.
Di dekat sofa ia seperti melihat cairan berwarna merah gelap. "Saus tomat?" tanya batinnya.
Matanya mengarah ke dapur. Terdapat cap tangan berwarna merah di ambang pintu dapur. Gadis kecil itu mendekati dapur perlahan dan mengintip. Dia tak terlalu mengerti apa yang terjadi.
Laura melihat seorang pria yang tak ia kenal, seperti menikam sesuatu dengan brutal sampai darah bercecer di mana-mana. Laura tak bisa melihat apa yang pria itu tikam, karena posisi pria itu membelakanginya.
Ia ingat ucapan ibunya, jika ada orang asing memasuki rumah sembarangan. "Aku harus telfon orang yang mama sebut polisi itu," ujar batin Laura.
Gadis itu langsung melangkahkan kakinya dengan cepat menuju telfon rumah, menekan tombol nomor.
Setelah 10 menit menunggu. Polisi datang dengan mobilnya yang mengeluarkan cahaya biru. "Sudah datang ya," gumamnya mengintip lewat jendela.
"Eh, ada ambulans juga?" Gadis kecil itu keluar dari kamarnya. Seketika salah satu petugas polisi mendekatinya.
"Syukurlah kau baik-baik saja," ujar polisi wanita itu sambil mengelus kepala Laura.
Dengan berat hati polisi wanita itu menjelaskan yang terjadi pada kedua orangtua Laura.
Terkejut? Pastinya. Matanya mulai mengeluarkan air mata. Ia menangis tanpa suara sedikit pun. Hanya terdengar hanya sirine ambulans dan sirine mobil polisi.
"Kata mama aku harus menerima itu, tapi aku gak bisa terima!!" pekik Laura, mendekap lututnya. Petugas dihadapannya ikut merasa sedih. "Padahal besok ulang tahunku," sambung Laura.
"Kita ke kantor polisi. Ada keluarga lain yang bisa dihubungi?" tanyanya dengan lembut. Laura mengangguk saja. Ia kesal dengan kehidupan ini. Mulai dari situ, dia takut dengan benda cair yang berwarna merah gelap itu, darah.
Paman dan bibinya segera datang ke kantor polisi. "Sayang, kamu gak apa-apakan?" tanya bibinya dengan panik.
"Ada yang sakit?" tanyanya lagi. Laura langsung menunjuk dadanya.
"Disini tante, sakit tapi tidak ada lukanya." Bibinya tersebut mendekap tubuh keponakan yang bertubuh kecil itu.
"Saya harap anda bisa merawatnya dengan baik," ujar petugas yang daritadi menemani Laura. Dua suami istri itu mengangguk mantap dan mengobrol sejenak.
"Kak Roy gak ikut, Om?" tanyanya.
"Gak, dia sakit. Dia rindu kamu," ujar pamannya. Senyum Laura mengembang, tercetak jelas pada bibirnya.
"Aku bisa ketemu dia, kan, Om?" tanyanya meraih tangan pamannya tersebut. Pria itu mengangguk mantap. "Aku gak mau kehilangan siapapun lagi, bisa kan?" Mata menatap mata abu-abu milik pria itu.
"Bisa kok. Oia, besok ulang tahunmu ya?" tanya pamannya. Laura mengangguk, tiba-tiba ia teringat orang tuanya yang baru saja pergi.
"Andai saja mama papa ada." Kepalanya tertunduk. Kesedihan kembali melanda batinnya.
"Papa, katanya pergi 1 jam aja," ujar seorang anak remaja laki-laki di dekat pintu utama kantor polisi.
"Kak Roy!" pekik Laura dan langsung melompat ke pelukan laki-laki berumur 13 tahun itu.
"Ada apa ini?" tanyanya. Laura menggelengkan kepalanya kearah pamannya tersebut.
"Papa ga sengaja nabrak seseorang saat di jalan," jawabnya. Anaknya tersebut tak percaya. Namun, apa boleh buat?
Tak ada bukti untuk menuduh ayahnya berbohong. "Ya sudahlah, ayo kita main, Ra," ujarnya menggendong Laura.
Laura mengalungkan tanganya di leher sepupunya. "Kamu kenapa?" Roy melirik sepupunya.
"Gak apa-apa, tadi mimpi buruk," ujarnya dan berusaha terdengar sejujur mungkin.
"Kita mau main apa?" tanya Laura. Roy menurunkan Laura dan berjongkok di hadapan gadis kecil itu.
"Aku tau kenapa kau begini. Jujurlah kepadaku."
"Gak mau, aku tak ingin ingat kejadian itu lagi!"
"Kalau kau sudah siap cerita. Tolong ceritakan, aku penasaran." Roy mencubit lembut pipi sepupu kecilnya itu.
"Iya kak****."
Paman dan bibi Laura keluar dari kantor polisi. "Anak-anak, ayo pulang," ujar wanita paruh baya tersebut di depan pintu mobil.
Laura dan Roy berlomba menuju mobil. Tentu saja, tubuh Roy yang tinggi pasti sampai duluan dibanding Laura. "Kak Roy curang! Harusnya kakak jalan cepat," ujar Laura dengan jengkelnya.
"Iya iya, terserah kau saja. Silahkan masuk tuan putri," ujar Roy membukakan pintu untuk Laura.
Malam pukul 12 tengah malam. Laura dikejutkan oleh suara berisik dari lantai 1. Suara jeritan dari bibinya yang tiba-tiba menghilang saat Laura duduk di tepi tempat tidur.
Anak itu segera turun dari tangga dan bersiap di samping meja kecil yang terdapat telfon rumah diatasnya. Anak itu melihat darah yang menyembur keluar dari lehernya. Lalu, seorang pria asing mengikat tali tambang pada lehernya dan menggantungnya.
Laura hendak menekan tombol nomor namun benda dingin menyentuh tengkuknya. Tanganya terhenti tepat diatas tombol nomor itu. "Jangan panggil polisi atau habislah kau ditanganku!" ancam pria itu dengan suara berat.
"Jauhkan tangan kotormu dari telfon rumah itu. Kau anak baik, pasti kau menuruti kata-kata orang tua," sambungnya.
Laura meletakan kembali telfon rumah itu dan mengangkat tanganya, sebagai bukti ia tak memegang apapun lagi.
Pria asing itu pergi meninggalkan rumah melalui jendela. Laura mendekat 2 langkah menuju bibinya yang tergantung dengan darah yang membasahi pakaianya.
Diatas meja terdapat tulisan.
'Happy Birthday Laura"
"Cairan ini menyeramkan," ujar batin Laura kecil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Vie Junaeni
Vie hadir, tulisnya rapih hanya yang cetak tebal aja agak gimana gitu, keren lanjut ya aku fav dan like
2020-11-27
4
💢💞lee__sali💓💢
nyimak
2020-08-12
2
-LADA-
widih ada audionya nih
2020-08-04
1