Laura berhenti di depan kamar pamanya. Pintunya sedikit terbuka dan terdengar suara orang menggumam. Seperti mencari barang, mungkin barang berharga pamanya.
Laura masuk perlahan lalu memukul kepalanya dengan panci yang ia genggam. "Siapa ya? Merepotkan ku saja." Laura melihat wajah pria yang ia pukul itu.
"Mumpung pingsan, aku ikat aja terus aku geledah."
1 jam kemudian Laura duduk di hadapan pria yang mulai tersadar dari tidur panjangnya. "Lepaskan aku!" Jika dari suara, sepertinya dia mahasiswa.
"Siapa kau? Ku pukul pakai panci serba guna ini kalau tak mau mengakuinya!"
"Laura? Aku, Wil!" Jawabnya dengan gugup.
"Aku tak percaya! Wil rambutnya putih dan aneh, bukan biru! Terus matanya merah bukan biru"
"Aku, aku kira, aku kira gak ada orang di rumah."
"Cih, lampu kamarku menyala, apa kau buta?"
Laura memukulnya lagi dengan pancinya, tetapi pria itu berhasil menghindar. "Jawab kau siapa?"
"Aku, Angga," jawabnya lagi.
"Hah? Angga rambutnya coklat dan dia tidak bertato, hmph, oia matanya juga gak biru tapi coklat muda!"
Wajahnya mulai panik, dia kehabisan kata-kata dan memilih untuk diam. "Aku tanya lagi. Kau siapa?"
Dia tetap diam sampai akhirnya Roy masuk ke dalam rumah. Dirinya terkejut Laura mengobrol dengan orang tak dikenal.
"Laura, kau bawa orang lain masuk?"
"Dia yang masuk duluan, Kak. Aku sedang interogasi."
"Oh, baiklah. Semangat ya akan ku buatkan teh," ujar Roy lalu berjalan menuju dapur.
"Aku penggemar rahasiamu!" Ujarnya dengan lantang. Laura tidak percaya dengan perampok kelas teri ini.
"Oya? Tunggu sini. Awas kau!" Wanita itu mengambil pena, papan, da kertas.
"Ini! Tulislah beberapa kata yang biasa kau tulis padaku!" Laura melonggarkan sedikit ikatanya agar ia bisa menulis.
Terlihat dari tulisanya ia berbohong lagi. "Katakan kau siapa? Ini ke-empat kalinya aku bertanya, orang misterius."
Pria itu meletakan pena dan kertasnya lalu meloloskan diri dari ikatan yang longgar itu dan mulai mencekik Laura.
Wanita itu kesulitan bernafas dan berusaha memanggil Roy. "Aku sudah mengikutimu sejak lama. Sejak kau umur 4 tahun."
Laura terkejut. 4 tahun adalah saat orangtuanya terbunuh. Ia mencoba sekuat tenaga memukul perut pria itu dan menginjak 2 tanganya.
"Kau yang, membunuh orangtuaku? Iya!?"
"Bukan, itu ayahku. Lalu, sekarang aku akan membunuhmu, jadi tugasku selesai! Hahaha!!"
Laura memukul kembali pria itu dengan panci sampai ia pingsan, lalu memanggil polisi.
"Mimpi buruk ini akan berakhir!" Batin Laura menjerit-jerit dengan kata-kata itu. Tak lama polisi datang dan membawa pria itu. Dengan tatapan dingin, ia berkata tanpa bersuara "Tunggu pembalasan ku!" Laura hanya mengangkat bahu dan melanjutkan filmnya.
Kini Laura menonton ditemani oleh Roy. Sepupunya itu membuat popcorn saat Laura sedang sibuk dengan pria tadi. Mereka menikmati film dan juga menikmati popcorn yang Roy buat.
"Pukul 11. Baiklah, ayo tidur," ujar Roy dan bertepatan dengan berakhirnya film. Laura menaiki tempat tidur dan menarik selimutnya.
"Oia besok ada kerja bakti. Jadi, kamu bantu ibu-ibu masak ya****." Laura hanya berdeham menjawab pertanyaan sepupunya dan berusaha tidur.
Pagi-pagi buta sekitar pukul 4 pagi. Laura bangun dan mandi lalu membuat sarapan. Setelah Roy dan Laura makan, mereka bermain sebentar sampai akhirnya Roy mendapat pesan untuk segera ke pos kamling.
Diikuti oleh Laura ia melihat para ibu rumah tangga sedang memotong dan mencuci bahan makanan. Ada beberapa anak muda juga di sana.
Laura mengikat rambutnya lalu ikut membantu memotong bahan makanan. Rasanya asik berbagi pengalaman di ruang dapur itu.
3 jam kemudian makan telah jadi dan siap disajikan. Laura senang jika melihat keadaan seperti ini. Tak seperti di kota, mereka hanya pada ponsel bahkan mengabaikan orang kesusahan di sekitarnya.
"Nak, Laura makin besar, makin cantik ya," ujar salah satu ibu rumah tangga. Wanita itu tertawa kecil.
"Haha, terimakasih," ujar Laura.
Dari kejauhan, seorang wanita berambut ungu berjalan dengan wajah kebingungan. Sepertinya dia asing dengan lingkungan ini. Laura mendekati wanita berambut ungu itu.
"Halo, kamu cari siapa?" Tanya Laura dengan ramah.
"Aku baru pindahan. Rumahku di sana," ucapnya sambil menunjuk rumah yang cukup besar dengan cat putih bersih.
"Wah, rumahmu besar juga****.
"Oh jelas! Aku paling kaya di sini, sudahlah aku ke sini pinda karena temanku."
"Temanmu? Siapa namanya?"
"Nayla," jawabnya.
"Oh, manusia ponsel itu." Laura menunjukan rumah Nayla.
"La! Lala!" Panggil Laura.
"Berani banget lo memanggilnya dengan Lala, memang kau siapanya dia?"
"Cuma tetangga." Tak lama pintu runah terbuka, seorang wanita cantik dengan masih mengenakan pakaian tidur keluar dari kediamanya.
"Ada apa, Ra?" Ujarnya.
"Ibumu memintamu keluar dan tetangga baru ini ingin menemuimu."
"Bilang ke mama, gua gak mau keluar rumah." Nayla mempersilahkan temanya itu masuk kedalam rumah.
"Gak bisa begitu dong. Kau harus keluar untuk bersosialisasi," ujar seorang pria jangkung dengan topi dan kacamata.
"Cool banget! Cocok kalo jadi pacar gua," ujar Nayla begitu juga dengan teman di sebelahnya.
"Buat gua aja Nay!"
"Gak, pokoknya gua. Ya udah gua mau siap-siap keluar."
Mereka berdua memasuki kamar pria jangkung yang berbicara tadi melepas kacamatanya. "Hai, Aura," ujarnya.
"Kau lagi, aku bosan!" Laura sudah bersiap memukul perut pria di sebelahnya namun dengan cepat ia menghindar.
"Tunggu, tunggu! Jangan pukul aku," ujarnya.
"Kenapa?"
"Lukaku belum sembuh. Sakit tau!"
"Luka apa? Paling luka gores."
"Kau mau lihat?"
"Gak gak! Aku tak mau lihat darah."
"Mentalmu lemah!" Wil mengetuk-ngetuk kening Laura dengan ujung jari telunjuknya. Laura langsung menepis tanganya.
"Aw! Akh!"
"Maaf, maaf! Tanganmu kenapa?"
"Ah, gak apa-apa. Cuma, sedikit terluka."
"Besok sembuh, mungkin," sambungnya. Laura tidak yakin, ia ingin membuka perban yang membalut tangan Wil. Namun, karena terdapat darah di sana, ia mengurungkan niat.
"Kau ngapain ke sini?"
"Aku sudah pernah bilang kepadamu, kapan-kapan aku mampir."
Laura baru saja mengingat itu. Ia akhirnya mengajak Wil jalan-jalan. Wil belum terbiasa dengan jalanan desa yang sedang ia lalui.
"Kau terbiasa dengan lingkungan seperti ini?" Tanya Wil, ia menggaruk tengkuknya. Belum pernah dirinya melihat pohon yang banyak.
"Tentu, kenapa tidak?"
"Cuma nanya. Di sini sejuk banget."
"Iya, namun sayangnya cukup banyak kejahatan," ujar Laura. Banyak sekali kasus perampokan dan pembegalan di sekitar jalanan perkampungan itu.
"Waw, sepertinya seru kalau aku pindah ke sini." Laura merasakan aura tak menyenangkan dari Wil. Aura yang gelap dan menakutkan.
"Aku takut dekat denganmu," ujar Laura sambil menjaga jarak 2 meter dari pria tersebut. "Jaga jarak!"
"Ya ampun, ya sudah terserah kau." Mereka melanjutkan perjalanan mereka. Seorang wanita menaiki pagar rumah penduduk secara diam-diam.
"Kak Wil, kita harus menangkapnya. Ayo masuk!"
"Kau sendiri saja, aku lebih suka menunggu dia keluar terlebih dahulu."
"Kenapa? Nanti kalau kita lengah?" Wil tak menjawab pertanyaan itu. Matanya tidak lepas dari jendela lantai 2 rumah yang sedang dirampok.
"Ada apa ini? Kalian penyusup?" Ujar seorang wanita yang sepertinya baru pulang dari kota. Ia hendak akan berteriak namun Wil langsung menahan mulutnya. "Jangan buang-buang oksigen," katanya.
Wanita yang masuk rumah itu, keluar dengan kantung kain yang cukup besar.
"Tunggu sini," ujar Wil dengan lirih. Ia memanjat pagar perlahan.
Wanita itu tampak mencoba menutup pintu tanpa suara. Wil memegang pundak wanita itu, mencengkramnya.
"Tolong kembalikan barang-barang itu." Wanita tersebut menggeleng kuat dan berusaha menyingkirkan tangan Wil. Namun, tenaganya kalah kuat dengan Wil.
Wil menyeretnya lalu menghempaskan wanita itu ke gerbang besi. Cairan merah mengalir dari belakang kepala wanita perampok tersebut.
"Kak Wil, cukup!" Ujar Laura dari balik pagar. Wil tersadar, hampir saja nafsunya mengalahkan kesadaranya.
"Jangan merampok lagi****." Wil membuka paksa pintu gerbang. Jujur saja rasa sakit di tanganya menyerang saat membuka pagar.
"Ayo, kita pulang. Aku benar-benar penasaran dengan tangan kakak!"
Di rumah Laura benar-benar syok, bahkan hampir pingsan. Ia berusaha mengendalikan dirinya. "Aku sedang bermimpi," ujar Laura matanya tak teralihkan dari luka di telapak tangan Wil.
Dengan pikiran jahilnya, Wil menempelkan lukanya pada pipinya Laura. Sungguh, terkejut wanita itupun menjerit ketakutan dan menepis tepat diluka Wil. Pria itupun juga mengerang kesakitan.
"Impas!" Laura mencuci pipinya yang terdapat darah dari Wil.
"Ish! Untung saja aku gak pingsan, kalo iya. Malu!" Gumamnya dalam hati di depan cermin. Pipinya sudah bersih, ia pun kembali dan mendapati Wil sedang mengobati lukanya sendiri. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Perasaan kagum berlebihan.
Pria yang mengobati lukanya itu terkena sinar matahari sore. Hal tersebut seakan menambah pesona dari pria itu. Pupil mata Laura membesar melihat Wil. Namun, suatu hal mengacaukan perasaanya.
"Apa liat-liat?" Tanya Wil. Seketika Laura tersadar dari lamunanya yang sungguh aneh itu.
"Gak, gak apa-apa." Perasaan apakah yang dirasakan Laura?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Nunuk Pujiati 👻
lanjuuuutttt
2020-07-13
1