Pada hari Sabtu malam. Ibu dari Wil memasuki kamar dengan wajah jengkel. "Ponsel kamu kenapa, sayang?" Wajahnya kesal tapi ucapanya tetap lembut.
"Oh. Kemarin aku lempar, gak tau kemana sekarang."
"Gak kamu cari gitu? Kamu sih lempar-lempar...." Wanita tersebut mengoceh sampai hampir tengah malam.
"Ngerti?" Tanyanya di akhir. Wil mengangguk saja mengiyakan nasehat Ibunya. "Benar?"
"Astaga, iya, Ma!" Wil meminta Ibunya pergi dari kamar. Ia mendorong pelan punggung wanita yang sudah tidak belia itu keluar kamar. "Mama sama papa aja ngobrol, aku mau ada kepentingan." Pria itu menutup pintu dan memulai kebisaan baru, berguling-guling di atas ranjang.
Wil menghela nafas dengan posisi terlungkup. Kepalanya menengadah melihat jam dinding yang kini menunjukan hampir pukul 1 dini hari.
Beberapa hari lalu. Ayah Wil berkata ingin mewariskan perusahaanya kepada anak semata wayangnya tersebut, namun dengan syarat Wil harus berhenti kuliah. Pria yang masih belia itu menolak begitu saja. Ia akan mengurus perusahaan tersebut saat ia sudah lulus.
Namun, mungkin sekarang ia berubah pikiran. Ia ingin melupakan Laura, di samping itu dia ingin melihat Laura setiap hari. "Sudahlah daripada menyakiti diriku sendiri," ujar batinya.
Wil ingin menemui Ayahnya, namun ia masih ragu. Wil langsung mengurungkan niatnya dan membanting diri ke atas ranjang.
Terdengar suara engsel pintu, pintu terbuka. Wil bangkit dari posisinya dan menghadap Sang Ayah. "Ku kira kau sudah tidur."
"Gak bisa tidur," ujar Wil. Ayahnya mendekat dan duduk di tepi ranjang Wil. Pria tua tersebut juga meminta Wil untuk duduk di sebelahnya.
Wil menurut saja dan duduk di sebelah pria yang sudah tua itu. "Sahabat papa punya anak nih, jadi--"
"Pokoknya aku gak mau dijodohkan," ujar Wil seakan dapat membaca pikiran Ayahnya. Ayahnya tertawa kecil lalu mulai berbicara kembali.
"Lihat dululah, cantik loh. Idola di kampusnya."
"Pasti begini. Rambutnya di warnai, bajunya kurang bahan, perhiasan dimana-mana, dan juga make-upnya yang super tebal. Gak!"
"Ahaha, besok dia mau datang. Rencananya mau jogging bersama, bersiaplah selamat malam." Pria itu bangkit berdiri dankeluar dari kamar Wil.
"Cih, pemaksa." Wil menenggelamkam wajahnya kedalam bantal dan berusaha tertidur.
Pagi yang cerah dengan semangat yang suram menyelimuti hari Minggu Wil. Ia bersiap dengan pakaian olahraga seperti yang diberi tau Ayahnya semalam.
"Selamat pagi, Wil sayang," sapa Ibunya lalu mengecup kening anaknya tercinta. Wanita yang melihat wajah muram anaknya ikut menampilka wajah sedih. "Um, semangat dong, muram banget."
"Menjijikan, Ma. Aku ke taman duluan."
"Tunggu sahabat papamu datang ya sayang, kan kasian kalau diberi harapan palsu."
"Terserahlah," ujar Wil. Sebenarnya dia tak suka menunggu tapi apa boleh buat?
"Ini sarapan dulu." Wil menyantap sarapanya. Wanita yang disebut Ibu itu duduk di seberang pria belia yang makan spaghetti.
"Kamu belum pernah bilang ke mama 'terimakasih'." Wanita itu tersenyum dengan penuh harapan. Meski tak ikhlas tapi Wil melalukanya.
Dengan senyuman lebar ia berkata, "Terimakasih, Ma, atas makananya." Ibunya bertepuk tangan senang. Ia berharap Wil akan terus mengatakan itu, terutama kata maaf.
Ayahnya datang dengan pakaian olahraga lengkap. "Wah, untuku gak ada nih?"
"Kamu makan salad sana, aku sudah siapkan di dapur."
"Wah, makasih sanyang! Kamu memang baik!" Pria tersebut mengecup lembut bibir istrinya. Wil yang melihat itu merasa geli bahkan ingin muntah. Tapi, suatu saat dia akan melakukan hal tersebut, jadi dia menahan seluruh kengerian yang ia rasakan.
Lebih baik Wil pergi dan tidak mengganggu kemesraan mereka. Ia mencuci piring kotor lalu menbasuh wajahnya juga.
10 menit berlalu, Wil yang terfokus dengan telivisinya dikejutkan oleh suara klakson mobil yang terdengar di depan rumahnya.
3 orang yang keluar dari mobil, disambut dengan dengan baik oleh Ayahnya serta Ibunya. Mereka bersalaman dan mempersilahkan mereka masuk.
Wil mematikan televisi dan menuju ruang makan. Ia menuangkan air ke dalam gelas dan meneguknya sampai habis.
"Sayang, kamu di sini ternyata. Lihat tuh tamu kita nunggu kamu." Wil mencengkram gelas hingga pecah.
"Ya ampun, tangan kamu luka. Sebentar mama ambil kotak P3K. Cuci lukamu dulu ya,"
Wil menuju dapur dengan tangan kiri yang mengeluarkan darah. Dari ruang makan menuju dapur, dia harus melewati ruang tamu.
"Astaga tangan kamu kenapa?" Tanya Ayahnya dengan khawatir sampai bangkit dari posisi duduknya.
"Luka," jawab Wil. Matanya mengarah pada sepasang mata yang menatapnya malu-malu.
Wanita tersebut mengidap heterochromia. Mata kirinya berwarna hijau sedangkan yang kanan berwarna biru. Rambutnya yang hitam bergradasi hijau terurai panjang bergelombang.
"Siapa itu****?" Tanya Wil.
"Ah, ini anak saya, Kardita." Wil tak melihat wajahnya, namun saat mendengar nama rasa kesal mendekap hatinya.
"Oh." Wil malas bertemu wanita yang mengganggunya makan.
Wil membersihkan serpihan kaca yang menancap pada permukaan telapak tanganya. Lalu, saat sudah merasa bersih melihat darahnya yang mengalir begitu banyak.
"Sayang, sini tangan ka--" Ibu Wil menyadari anaknya sedang menatap kosong kearah tanganya yang terdapat darah.
"Wil?" Panggil Ibunya sambil menyentuh pundak anaknya tersebut. Wil tersentak dan langsung menghadap kebelakang menatap Ibunya.
"Ada apa, Ma?"
"Tangan kamu, diobati dulu ya?" Wil mengangguk dan membiarkan Ibunya mengobati tanganya tersebut.
"Kamu kenapa kesel gitu?"
"Aku gak suka dengan wanita di depan."
"Kenapa?" Ibunya baru tau mereka saling kenal.
"Karena dia ganggu aku terus, Ma."
"Kamu suka wanita yang seperti apa?"
"Yang gak banyak mau, gak manja, yang di tanya jawabanya bukan terserah, religius, baik, sopan, rajin, dermawan, berbakti dengan orang tua, ulet, bijaksana, pintar, lemah lembut, perhatian, gak merokok, gak ada catatan kriminal, masih suci dan bisa mengendalikan emosiku."
"Kenapa kamu milih wanita yang sudah punah sih?"
"Ya sudah gak usah nikah."
"Eh jangan, jangan, kamu harus menikah." Setelah lukanya tertutupi. Wil dan Ibunya menuju ruang tamu.
"Ya sudah. Ayo berangkat!" Ujar Ayahnya dan mereka berjalan santai menuju taman. Mata Wil tak menentu melihat kanan kiri, seperti mencari seseorang.
"Kamu cari siapa?" Tanya Kardita.
Wil diam saja, lidahnya terasa kelu saat ingin berbicara dengan wanita di sebelahnya. "Hey, aku tanya loh. Jawab dong," ujarnya dan langsung merangkul lengan Wil dengan romantisnya.
"Ya sudahlah, aku males gerak."
Mata merahnya mengarah ke seorang wanita yang sedang jalan bersama seorang wanita lain. Mereka seperti asik mengobrol. Wanita dengan mata ungu serta rambutnya yang coklat, tak asing bagi Wil.
Posisi dua wanita tersebut berada di seberang jalan. Wil langsung melepas paksa dan menyeberang jalan yang sedang ramai kendaraan.
"Wil!" Pekik Ibunya yang melihat anaknya menyeberang jalan tiba-tiba. Kendaraan dengan kecepatan tinggi di lewatinya oleh Wil dengan mulus.
Laura terkejut dengan kedatangan Wil yang tiba-tiba saja muncul di hadapanya. "Nayla kamu duluan ya."
"Iya, duluan ya."
Setelah Nayla pergi agak jauh, Laura langsung memberikan ekspresi kesal kepada Wil. "Ngapain? Bunuh diri di tengah jalan?"
Wil mendekap Laura dengan erat. Hal tersebut menarik perhatian pejalan kaki yang ada di sana. "Aku kangen, Ra," ujar Wil dengan suara yang bergetar.
"Apaan sih?"
"Aku minta maaf kalau aku ada salah. Maafin aku, maaf!"
"Hih, gak mau! Lepaskan pelukanmu!" Laura mendorong tubuh kekar Wil, namun tenaganya kalah besar dengan pria yang mendekapnya.
"Kau gak mau maafin aku? Kenapa?"
"Karena kau kasar! Kasar, kasar, kasar!!" Ujar Wanita itu sambil memukul dada bidang Wil berkali-kali. Air mata menggenang di pelupuk mata wanita belia tersebut.
"Aku mengerti. Kau membuang kalung dariku?"
"Hm," jawab Laura yang bermakna 'iya'. Dia baru membuangnya kemarin.
"Ya sudah, kalung tersebut memang tidak penting bagimu." Wil melepaskan dekapanya dan menyentuh kedua pipi wanita tersebut.
"Iya! Kau tak penting lagi di hidupku! Jadi, aku tak mau melihat wajahmu lagi! Aku juga suka memblokir nomormu menghapusnya dan sudah kulupakan!"
Kata-kata yang terlontar begitu menusuk hati Wil. Rasanya sakit, tapi itu kenyataan yang harus dia terima. "Baiklah, aku akan menghilang dari hadapanmu."
Di taman. Ternyata dia sudah ditunggu oleh 5 orang yang berjalan bersamanya tadi.
"Sayang, mata kamu merah kenapa****?"
"Memang mataku merahkan?"
"Bukan iris matamu!"
"Oh, aku gak apa-apa. Kelilipan tadi."
"Huh, ya sudah. Duduk dulu baru kita jogging." Setelah duduk cukup lama. Mereka mulai jogging, melangkahkan kaki mereka memutari taman kota.
Baru 10 menit berlalu, namun Kardita sudah mengeluh kelelahan. "Ah! Aku capek, Pa!" Ujarnya dengan nafas tersengal-sengal.
"Wil, tolong gendong aku," ujar Kardita dengan nada manja.
"Dasar manja!"
"Maaf ya, anaku memang sedikit manja."
Wil berjongkok di membelakangi Kardita. "Naik," ujarnya, namun Kardita belum kunjung naik.
"Naik sebelum aku berubah pikiran!" Kardita yang senang akhirnya naik ke punggung Wil. Ia mengalungkan lenganya di leher Wil lalu bersandar pada tengkuk pria itu.
"Sebenarnya aku tak sudi menggendongmu."
"Kenapa?" Kardita sengaja bernafas di tengkuk Wil untuk melihat reaksinya.
"Jangan bernafas di leherku, atau kau mau ku ceburkan ke situ." Wil menunjuk kolam ikan.
"Jangan! Ya sudah aku menjauhi kepalamu."
"Kalian sepertinya mulai dekat. Ayo kita makan dulu." Ibunya mengajak ke tempat makan dekat situ.
Dengan dekat dengan Kardita. Apakah Wil bisa melupakan Laura?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
-LADA-
Wil kayaknya orang purba.
Masa iya milih wanita yang udah punah? :')
2020-06-07
1