Hari baru semangat baru. Semangat itulah yang benar-benar dirasakan Laura. Namun, saat melihat mawar hitam yang ada di dalam vas, semangatnya berubah menjadi emosi. Daripada mood-nya semakin memburuk, ia segera berangkat menuju kampusnya.
Ia berjalan sambil bersenandung. Sampai bertemu Bulan di dekat kelas. "Lan, Lan, Lan!" Sapa Laura berkali-kali.
"Kenapa Aura?"
"Heh! Ikutin siapa kau panggil aku begitu?"
"Tentulah Wil," jawab Bulan.
"Ya sudahlah, panggil aku sesukamu," ujar Laura lalu memasuki kelas. Bulan yang merasa bersalah langsung membuntuti Laura masuk ke kelas.
Terdapat kerumunan mahasiswi yang mendekati satu meja di dekat jendela. Tak lama kerumunan itu menjerit histeris.
"Kaget aku," ujar Bulan yang langsung mendekap lengan Laura.
"Lepas, Lan!" Laura menarik-narik lenganya yang didekap erat oleh Bulan.
Tak lama Bulan melepaskan dekapanya dan mendekati kerumunan itu. Tak lama ia mendekati Laura yang sedang menulis catatan.
Laura yang melihat tingkah aneh temanya bergidik ngeri. Bulan tersenyum-senyum sendiri sambil tersipu malu. "Kenapa sih?" Tanya Laura yang mulai risih.
"Kakak senior idolaku ke sini!" Ujar Bulan dan menjerit karena saking senangnya. "Liat deh, Ra, ganteng tau!"
"Katanya kau sukanya sama Kak Wil. Gimana sih?" Tanya Laura yang tetap memfokuskan matanya kearah buku.
"Iya sih, dua-duanya ganteng akh!" Bulan melompat-lompat dengan senang. Rasanya wanita itu ingin meledak.
"Udah, kalo gitu bantuin aku ngerjain ini," ujar Laura menyodorkan buku catatanya. Bulan memberikan hormat lalu membantu Laura menulis catatanya.
Mahasiswa yang dikerumunan itu mendekati meja Laura. Bulan yang melihat itu menjadi tidak fokus menulis. "Ra, Ra, sebentar lagi aku masuk IGD kayaknya," ujar Bulan.
"Laura ya?" Tanya mahasiswa itu.
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Aku mau bicara pribadi, bolehkan?" Tanya balik pria tersebut.
"Ya, tapi cuma 10 menit," jawab Laura. Mereka berdua jalan keluar kelas.
"Kemarin kau pergi ke mall sama siapa?" Tanyanya langsung ke inti pembicaraan. Laura mengingat kemarin ia pergi ke tempat yang disebut mall itu bersama Wil.
"Sama Kak Wil. Memang kenapa?"
"Kasian ya, kau ditinggal sampai sore," ujarnya. Laura mulai bertanya-tanya darimana pria asing ini tau soal kemarin?
"Kau mengikutiku?"
"Ya lah, aku gak suka kau dekat dengan rambut putih itu." Gak suka katanya? Kenapa?
Pria tersebut akhirnya memilih topik yang lebih ringan untuk dibicarakan. Sampai 10 menit berlalu.
"Dia nembak kamu?" Tanya Bulan. Laura menggeleng dengan wajah yang lelah. Dia tak ingin membicarakan hal itu saat ini.
Menit demi menit berlalu. Cukup lama ia di kelas. Saking banyaknya tugas yang harus diselesaikan. "Pusing, pusing," gumam Laura.
"Gak usah di bawa pusinglah. Ayo kita menjernihkan pikiran." Bulan menarik manja tangan temanya yang sangat sibuk. Laura yang sedang dipenuhi beban pikiran akhirnya menolak walaupun kasar.
"Huh, ya udah deh. Aku pergi sendiri aja." Bulan meninggalkan Laura dengan perasaan sedih.
🔪🔪🔪
Wil berjalan ke atap kampus. Kebetulan cukup ramai. Ia bertemu dengan pria dengan pakaian berwarna serba hitam kecuali sepatunya. Mereka saling membuang muka, tak menatap satu sama lain.
Matanya melihat Laura, wajahnya tampak lelah. Kelihatanya seperti akan pingsan. "Ra?"
"Apa? Kepalaku pusing, jangan ganggu aku," ujar Laura yang mempercepat langkahnya menjauhi Wil. Ya sudahlah, Wil tak terlalu memikirkan wanita itu.
Ia hanya ingin sendirian saat ini. Ia cukup lama memandagi kota yang ramai dengan gedung tinggi, gedung perusahaan.
Tiba-tiba sebuah benda menghantam keras kepala bagian belakangnya. Pandanganya menggelap.
Pemuda berpakaian hitam itu mengelilingi Wil dengan tongkat besi di tanganya. Ia mengetuk-ngetuk ujung tongkat itu ke lantai gudang kampus. Semakin keras dan semakin nyaring. Hal itu mengganggu telinga Wil. Pria yang pingsan tadi, membuka matanya perlahan. Pergelangan tanganya diborgol kebelakang, ia mencoba melepaskan benda besi itu walaupun hal tersebut akan melukainya.
"Sudahlah, kau pantas di sini." Ujarnya lalu mengayunkan tongkat besi kearah kepala Wil. Pria yang menjadi target itu menunduk seketika dengan alasan melihat tali sepatunya yang lepas.
Akhirnya mata rantai borgol di tanganya terputus. "Sekarang, ayo kita selesaikan dengan tangan kosong."
"Haha, baiklah." Pria itu membuang tongkat besi yang ia pegang tadi.
"Sudah lama ya, 10 tahun kita gak bertemu." Wil tersenyum melihat lawan bicaranya itu.
"Tak ku sangka kita akan bertemu seperti ini."
"Iya, Sean****." Wil mengambil kursi yang digunakan untuk mengikatnya tadi. Lalu melemparkan kursi itu kearah pria di seberangnya, Sean.
Kursi itu melayang mengenai target. Wil menjambak rambut pria itu lalu mengangkatnya. "Aku benci lihat wajahmu," Wil memukul keras wajah Sean.
"Berisik lu!" Wil geram, ia menginjak wajah Sean berkali-kali sampai bercak darah melukis permukaan sepatu putihnya.
"Hahahahaha!! Akan aku ratakan kepalamu!" Wil menginjak kepala Sean hingga mengeluarkan bunyi patahan tulang. Wil terkekeh melihat darah yang keluar dari mulut Sean. "Kau bisa membuatku gila," ujar Wil.
Wil menarik tangan dan menahan tubuh Sean dengan kakinya, berniat memutuskanya. Ia agak kesusahan karena Sean terus menerus melawan. Wil berusaha meraih tongkat besi yang dilempar oleh Sean tadi.
Usaha tidak menghiati hasil. Tanganya berhasil meraih tongkat tersebut lalu menusukanya pada perut Sean, menembus ke lantainya. Tongkat itu pun berdiri tegak kayaknya tiang.
Pria berambut putih itu mengecek keadaan luar gudang. Tak ada orang satupun, berarti tak ada yang mendengar keributan yang terjadi.
"Hebat kau masih hidup****." Wil menepuk tangan dengan tempo lambat. Jiwanya senang melihat Sean yang terkapar. Dirinya lupa ingin memutuskan tangan Sean.
Nafas Sean mulai melemah, tapi ia tak ingin mati konyol di hadapan musuh semasa SMP. Ia mengerahkan sisa tenaganya mencabut tongkat yang menancap di perutnya. Wil sedang lengah, memainkan handphone-nya.
Sean berusaha menganyunkan tongkatnya. Wil tersungkur karena benturan dari tongkat itu. Namun, Wil langsung bangkit dengan kepala yang masih pusing seakan bumi berputar lebih cepat.
"Waktunya kau tersiksa Wil," ujar Sean dengan lirih. Tangan mengambil pisau kecil, lalu menusukanya ke telapak tangan Wil.
Wil menahan sakit itu. Ia langsung mencabut pisau yang menancap dan berniat menusuk wajah Sean. Namun, pria yang dijadikan target tersebut menghindar, pisau tersebut hanya menggores pipinya.
Tubuh dua pria itu mulai lemas karena kekurangan darah. Dengan sisa tenaga yang ada, Wil menelfon rumah sakit untuk memanggil ambulans dan memberitau dimana mereka berada, lalu mematikan panggilan itu.
"Jadi siapa pemenangnya?" Tanya Sean dengan posisi telentang menatap langit-langit ruangan. Pria itu memegang perutnya yang terluka akibat perbuatan Wil.
"Kita anggap seri. Tapi suatu saat, aku benar-benar akan membuatmu tak bernyawa lagi."
"Coba saja****." Perkataan Sean membuat Wil kembali emosi, tapi ini bukan waktu yang tepat.
🔪🔪🔪
Laura dan Bulan sedang berjalan bersama menuju gerbang kampus. Sebelun mereka pulang bersama, sebelumnya Laura sudah meminta maaf apa yang telah terjadi sebelumnya. Beruntung saja Bulan memiliki hati yang baik.
"Ra, kau dengar sirine?"
"Um, iya. Kayaknya ambulans."
"Tau darimana?"
"Jarang loh polisi ke daerah sini."
"Iya juga ya, udahlah aku tak peduli~ Mari pulang!" Pekik Bulan antusias ia melompat kecil sambil melambaikan tangan seperti anak kecil.
"Eh tunggu, Lan!!" Laura mengikuti langkah Bulan menuju gerbang kampus.
Sesampainya di halte bus. Bulan dan Laura terpisah. Laura menaiki bus sedangkan Bulan berjalan menuju apartemen dekat kampus.
Sebuah pesan masuk dari Roy.
"Kau dimana?"
"Udah pulang?"
Laura menjawab dengan singkat, "Di bus."
Rumah terlihat sepi. Seperti sudah ditinggalkan.
"Om! Kak Roy!" Panggilnya. Namun nihil tak ada sahutan yang menjawab panggilan dari Laura.
Sebuah pesan masuk dari Kak Roy.
"Oia Ra, Om dinas keluar kota. Aku mau juga dapat shift sore, jadi kamu sendiri di rumah ya sampai malam."
Begitu isi pesanya.
"Malamnya jam berapa ya?"
"Ah, sudahlah yang penting bebas baca tanpa ada yang ganggu." Laura memasuki rumah dengan kunci cadangan. Ia mengganti baju lalu memasak makanan untuk dirinya. Setelah selesai, Laura menonton televisi ruang tengah sampai sore. Setelah itu, dia menulis lanjutan catatan.
Saat waktu menunjukan pukul 21.00. Ia menonton film drama di televisi kamarnya. Ditengah keasikanya, ia mendengar barang-barang berjatuhan dari arah dapur.
Ia berjalan perlahan menuju dapur. Tak ada apapun di sana, namun barang-barang semua berantakan. Termasuk beberapa piring pecah.
Tanganya mengambil panci lalu mengelilingi rumah. "Siapa coba yang masuk ke rumah jam segini?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments