#12

"Kemana semangatmu Laura?" Ujarnya pada diri sendiri di depan cermin kamar mandi, tanganya mengepal erat.

"Huh! Aku tak bisa!" Diacak-acak rambut coklatnya. Lalu, menyibaknya ke belakang. Sudah kesekian kalinya wanita itu menghela nafas dengan kasar.

Melihat arloji, sudah menunjukan pukul 7 malam. Wanita bermata ungu yang bernama Laura itu menuju toko yang menjual makanan dekat rumahnya.

Tak sengaja ia bertemu dengan Nayla yang sedang memainkan ponselnya dan bergaya aneh di depan benda itu.

"Nay, kamu ngapain?" Tanya Laura yang heran dengan tingkah tetangganya.

"Fotolah," jawabnya, tak mengalihkan matanya dari benda di tanganya.

"Aneh."

"Ahaha, lo gak tau gaya anak kota."

"Coba lo ubah tampilan udik lo itu," ujar Nayla sambil menunjuk-nunjuk wajah Laura.

"Maksudnya?"

"Gini, gini, lo sebenarnya cantik. Tapi kurang sedikit make-up."

"Aku tak paham," balas Laura sambil menggaruk pipinya. Dengan sabar Nayla menjelaskan yang ia maksud.

"Begitu Laura sayang." Senyum lebar tercetak jelas pada wajah Nayla. Ia meminta Laura mengunjungi rumahnya kalau ada waktu.

Setelah menerima bahan makanan Nayla pulang mendahului Laura. "Duluan ya," ujarnya.

Laura mengangguk, merespon Nayla. Tak lama Laura pun meninggalkan toko tersebut dan kembali berjalan ke rumah.

Di depan rumah. Laura melihat dari sela-sela pagar, seseorang dengan pakaian serba hitam berjalan-jalan santai. Ia tak kenal siapa orang itu.

Insan itupun tak terlihat dia pria atau wanita, karena dihalangi kegelapan. Laura mengabaikan sosok itu. Walaupun akhirnya dia was-was untuk tidur.

Tiba-tiba ponselnya menyala dan menampilkan pesan dari orang yang tak ia kenal.

"Sudah tidur?"

Laura menatap sejenak pesan itu. Pesan yang sama untuk memerintahlanya menuju parkiran.

"Ini siapa?"

"Aish, simpan nomorku lah! Wil."

Laura terkikik membaca pesan dari orag tersebut." Astaga, Kak Wil. Baiklah." Laura menyimpan nomor itu, 'Beruang Kutub'.

"Sudah!"

Mereka berbincang ringan sampai akhirnya Laura tertidur di tengah perbincangan.

Pada minggu pagi, tak tau kenapa Laura merasa bersemangat. Ia mengenakan pakaian olahraga dan berjogging keliling komplek rumahnya.

2 menit ia berlari namun ia merasa lelah. Nayla sedang berjalan dengan pacar ponselnya di dalam kantung celana.

"Hey Laura!"

"Eh Nay, tumben olahraga."

"Bukan, gue mau cari cowok ganteng tempo hari!"

"Dia tidak tinggal di sinilah, di kota."

"Lo tau darimana?"

"Dia teman, bukan, dia seniorku di kampus." Mata Nayla terbelalak.

"Wah, kuliah itu menyenangkan ternyata!" Ujar Nayla antusias. Tanganya mengguncang pundak Laura dengan semangatnya sampai wanita itu merasa pusing.

"Aduh, pusing," ujarnya sambil memijat lembut pelipisnya.

"Maaf, maaf, rasanya ingin kuliah di tempat lo." Nayla membayangkan dirinya dengan pria yang ia idamkan sedang berpacaran di taman dan mall.

"Haduh, kau yakin tidak akan menyesal? Aku saja lebih memilih untuk kerja."

"Hih, gue lebih suka masa SMA."

"Haha benar juga." Mereka berdua tertawa ringan. Sampai akhirnya wanita dengan rambut ungu datang menyapa Nayla, hanya Nayla.

"Ah, kalian belum kenalan ya? Ini Laura, Ra, ini Izumi."

"Halo," sapa Laura. Namun wanita rambut ungu itu tak menjawab sapaan Laura.

"Ehehe, gue pergi dulu ya, Ra****." Nayla merangkul Izumi. Laura menatap punggung dua wanita yang bersahabat baik itu.

"Huh, Bulan." Dirinya terus membayangkan Bulan di sisinya, setidaknya juga Zane. Wanita belia tersebut sangat merindukan kedua sahabatnya.

Hari menjelang sore. Laura baru saja selesai membasuh diri dan mengenakan akan mengenakan pakaian. Namun, satu pesan muncul dari Nayla.

"Berpakaian yang rapih, kita ke mall."

Laura memilih kaus biru dongker dengan kemeja kotak-kotak perpaduan merah dan hitam serta celana jeans hitam. Dirinya memikul tas kecil yang berisi ponsel dan dompetnya.

"Laura!! Rara!! Lo siap?"

Laura melangkahkan kakinya menuju pintu utama. Sebelum itu ia berpamitan dengan Roy.

Tanganya membuka pagar dan mendapati Nayla dengan pakaian yang sedikit terbuka begitu juga dengan Izumi.

"Baiklah ayo berangkat!" Ujar Nayla dengan antusias. Sebuah mobil sudah terparkir depan jalan.

Di mall Laura merasa ragu melangkahkan kakinya. Ia takut di tinggal seperti waktu itu. "Tenang saja, Ra, kita gak akan ninggalin lo kok."

"Terimakasih ya." Laura menunggingkan senyum.

Mereka berjalan beriringan dengan Nayla yang berada di tengah. Matanya tertuju pada sepasang mata merah kosong, berjalan sendirian di antara pengunjung yang ada.

Laura memisahkan diri dari Nayla dan Izumi. Dua wanita itu tersentak melihat Laura menjauh.

"Kak Wil?"

Pria itu tersentak hampir kehilangan keseimbangan, nafasnya tertahan sebentar. "Kau membuatku hampir mati." Laura menatap jaket Wil yang sepertinya baru saja ia beli, tercium dari baunya.

"Bajumu baru ya?"

"Gak kok, baru di pakai," jawab Wil.

"Oya? Kenapa gak dicuci terlebih dahulu?" Tanya Laura yang semakin curiga. Matanya melihat sedikit noda darah dari sela-sela jaket yang setengah diresleting.

"Kau terluka ya?"

"Tidak, aku, aku baik-baik saja****." Wil mempercepat jalanya menjauhi Laura.

"Gue gak tau, kalo dia itu pacar lo." Ujar Nayla yang tiba-tiba sudah di sampingnya.

"Bukanlah, dia cuma senior. Ya sudah, kemana kita?"

"Ayo, kita ke toko baju."

Malam semakin larut. Laura, Nayla dan Izumi menuju tempat neraka yang disebut club. Laura merasa ragu memdekati pria yang tengah mabuk.

Ia lebih memilih duduk dekat bartender namun ia tak sadar siapa yang sedang berada di seberangnya.

"Ku kira wanita kampungan tak akan kemari." Kedua tangan pria itu bertumpu pada meja. Sorotan mata dan senyumanya terlihat seperti menggoda wanita di depan matanya.

Laura menengadah, melihat mata merah yang menyala di hadapanya. Rambut putihnya juga melambai hampir menyentuh rambut coklat wanita itu.

"Menjauhlah dariku," ujar Laura dengan tajam. Ia meletakan kepalanya dengan tangan sebagai bantal.

Wil menunduk dengan siku yang bertumpu pada meja. Bibirnya menyentuh permukaan ubun-ubun Laura, sekilas.

"Apa yang kau lakukan?"

"Melon."

"Diam! Hmph!" Telapak tangan wanita tersebut menutupi kepalanya. Pipinya menggembung seperti anak kecil yang tidak diberikan permen.

"Tenang bocah, aku akan memberikan permen untukmu," ujar Wil. Ia menuangkan minuman untuk Laura.

"Ini." Minuman berwarna kekuningan disodorkan kepada Laura. Matanya menatap sejenak minuman yang asing baginya.

"Apa ini?"

"Minuman," jawab Wil dengan wajah yang serius.

"Jangan minum itu, nanti kau****--" Ujar pria yang lebih pendek dari Wil. Wil menyikut perut pria di sebelahnya.

"Terserah kau mau minum atau tidak. Nanti Lin yang akan meminumnya."

"Iya iya-- Apa!?" Pekik pria bernama Lin itu. Lin mencubit pinggang Wil. Wajahnya yang kesal itu terlihat imut.

"Aish! Sakit," keluh pria berambut putih tersebut.

Laura mendorong gelas berisi minuman itu. "Aku tidak mau minum minuman aneh ini." Laura memandangi gelas dengan es batu yang berada di gelas itu juga embun air yang mengalir di sisi gelas.

Wil mengambil gelasnya lalu menghabiskan minuman itu sekali teguk. "Tak apa, akan ku sajikan lain kali."

"Ah!! Astaga aku gak tau kalau bartendernya ganteng-ganteng!!" Ujar Nayla dengan sangat antusias. Namun, ia tak bersama Izumi.

"Kemana Izumi?" Tanya Laura. Nayla mendudukan dirinya di sebelah Laura lalu memesan minuman.

"Itu dia, argh begitulah."

"Astaga," ujar Lin.

"Oia, Kak Wil. Bagaimana tanganmu?" Tanya Laura yang memperhatikan tangan Wil yang masih dibungkus perban.

"Sudah membaik, mungkin sebentar lagi sembuh**," jawab Wil. Suaranya sedikit serak karena alkohol. "Aku mau istirahat, tolong ya, Om Lin**," ujar Wil dengan senyuman jahilnya.

"Astaga, aku benci dipanggil begitu."

"Kenapa?" Laura penasaran. Padahal jika dilihat dengan mata telanjang, umur mereka kira-kira sama.

"Karena umurku hampir sama denganya."

"Sudahku duga."

Waktu menunjukan pukul 12 tengah malam. Laura menuju kerumahnya hanya bersama Nayla. Matanya mengantuk dan akhirnya tertidur.

Di sisi lain. Wil sudah mengendalikan pusingnya. Dia juga berfikir kejadian saat di mall, beruntung Laura tidak curiga denganya.

Beberapa jam lalu di mall. Wil di cekik oleh seorang pria di sebuah ruko yang masih di tutup. Wil menendang perutnya dengan lutut.

Pria itu mengambil memakai sarung tanganya lalu mengambil pisau. Pisau itu memotong bagian leher pria yang mencekiknya tadi.

Wajahnya ditikam berturut-turut oleh Wil sampai tak berbentuk. Ia pun merobek bagian dada sampai perut lalu mengeluarkan jantung serta usus dari pria tersebut.

Wil juga mematahkan tulang bagian tangan juga kaki serta memotongnya sampai beberapa bagian. Belum puas dengan itu, Wil mengambil tulang rusuk lalu mematahkanya satu persatu dan membiarkanya begitu saja.

"Baiklah aku selesai." Beruntung terdapat celana serta jaket baru yang baru saja dibeli oleh pria yang ia sudah bunuh. Ia mengganti pakaianya itu lalu meninggalkan tempat.

"Semoga saja aman," ujarnya. Namun saat 4 menit ia berjalan dan membayangkan darah yang keluar dari pria itu, Laura menyadarkanya dan muncul tepat di hadapanya.

"Huh untung saja, jangan sampai aku ketahuan wanita kampungan itu. Dia pasti akan memanggil polisi." Ia berharap semua akan baik-baik saja.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!