NovelToon NovelToon

Psychopath

#1

Anak berusia 4 tahun berjalan mendekati mamanya sambil membawa buku bacaan. Ia memberikan buku itu kepada ibunya. Gadis kecil tersebut berusaha naik ke atas sofa dan duduk di atasnya, di sebelah Ibunya. Mulut kecilnya mulai bercakap sampai akhirnya ke topik serius.

"Ma, bagaimana akhir hidup di dunia?" tanyanya dengan tatapan mata polos. Ibunya hanya diam saja dan berusaha mencerna kejadian barusan. "Baik, aku ubah pertanyaanya. Kematian itu apa?"

Laura yang penasaran diberi harapan palsu. Ibunya tetap tak menjawab lalu menggelengkan kepala. "Pokoknya itu hal yang mengerikan dan tak bisa ditebak," ujar wanita itu.

"Kalau seseorang meninggal dia tidak akan bisa bertemu keluarganya lagi. Jika ingin bertemu, sangat lama atau pun singkat."

"Tapi kita harus menerima kenyataan itu, itulah namanya kehidupan."

"Begitu ya." Laura meresapi yang ibunya ucapkan.

"Aku percaya sama mama, mama gak akan tinggalkan aku." Tubuh kecilnya turun perlahan dari sofa. Lalu berjalan dengan ceria menuju kamarnya sambil bersenandung lagu kesukaanya.

"Kenapa kamu tanya begitu, Ra?" tanya batin wanita itu. Memikirkan kematian membuat wanita itu menjadi paranoid. Namun, ia segera melupakan itu.

Pintu utama rumah terbuka, menunjukan sesosok pria yang baru saja pulang dari kantornya. Dengan pakaian basah kuyup dia memasuki ruangan. "Ya ampun, kau basah," ujar wanita itu menyentuh permukaan pakaian suaminya.

"Sebentar aku ambilkan handuk," sambung wanita itu. Pria tersebut menutup pintu dan menguncinya. Jam dinding menunjukan pukul 9 malam.

Istri dari pria itu datang dengan handuk putih lalu mengeringkan kepala suaminya. Sang suami mendekati wajah istrinya perlahan.

"Ma, aku—" Laura yang masih kecil tak sengaja melihat kemesraan orangtuanya.

"Takut," sambungnya dengan cepat lalu kembali masuk ke dalam kamarnya.

Di dalam kamar, ia langsung naik ke atas kursi belajar miliknya. "Kenapa orang dewasa melakukan hal tak berguna seperti tadi," ujar batinya.

Tangan kecilnya memegang pensil dan mulai menggambar sesuatu. Laura merasakan firasat buruk, sesuatu mengganjal pikiranya. Ia mengecek keluar kamar.

Di dekat sofa ia seperti melihat cairan berwarna merah gelap. "Saus tomat?" tanya batinnya.

Matanya mengarah ke dapur. Terdapat cap tangan berwarna merah di ambang pintu dapur. Gadis kecil itu mendekati dapur perlahan dan mengintip. Dia tak terlalu mengerti apa yang terjadi.

Laura melihat seorang pria yang tak ia kenal, seperti menikam sesuatu dengan brutal sampai darah bercecer di mana-mana. Laura tak bisa melihat apa yang pria itu tikam, karena posisi pria itu membelakanginya.

Ia ingat ucapan ibunya, jika ada orang asing memasuki rumah sembarangan. "Aku harus telfon orang yang mama sebut polisi itu," ujar batin Laura.

Gadis itu langsung melangkahkan kakinya dengan cepat menuju telfon rumah, menekan tombol nomor.

Setelah 10 menit menunggu. Polisi datang dengan mobilnya yang mengeluarkan cahaya biru. "Sudah datang ya," gumamnya mengintip lewat jendela.

"Eh, ada ambulans juga?" Gadis kecil itu keluar dari kamarnya. Seketika salah satu petugas polisi mendekatinya.

"Syukurlah kau baik-baik saja," ujar polisi wanita itu sambil mengelus kepala Laura.

Dengan berat hati polisi wanita itu menjelaskan yang terjadi pada kedua orangtua Laura.

Terkejut? Pastinya. Matanya mulai mengeluarkan air mata. Ia menangis tanpa suara sedikit pun. Hanya terdengar hanya sirine ambulans dan sirine mobil polisi.

"Kata mama aku harus menerima itu, tapi aku gak bisa terima!!" pekik Laura, mendekap lututnya. Petugas dihadapannya ikut merasa sedih. "Padahal besok ulang tahunku," sambung Laura.

"Kita ke kantor polisi. Ada keluarga lain yang bisa dihubungi?" tanyanya dengan lembut. Laura mengangguk saja. Ia kesal dengan kehidupan ini. Mulai dari situ, dia takut dengan benda cair yang berwarna merah gelap itu, darah.

Paman dan bibinya segera datang ke kantor polisi. "Sayang, kamu gak apa-apakan?" tanya bibinya dengan panik.

"Ada yang sakit?" tanyanya lagi. Laura langsung menunjuk dadanya.

"Disini tante, sakit tapi tidak ada lukanya." Bibinya tersebut mendekap tubuh keponakan yang bertubuh kecil itu.

"Saya harap anda bisa merawatnya dengan baik," ujar petugas yang daritadi menemani Laura. Dua suami istri itu mengangguk mantap dan mengobrol sejenak.

"Kak Roy gak ikut, Om?" tanyanya.

"Gak, dia sakit. Dia rindu kamu," ujar pamannya. Senyum Laura mengembang, tercetak jelas pada bibirnya.

"Aku bisa ketemu dia, kan, Om?" tanyanya meraih tangan pamannya tersebut. Pria itu mengangguk mantap. "Aku gak mau kehilangan siapapun lagi, bisa kan?" Mata menatap mata abu-abu milik pria itu.

"Bisa kok. Oia, besok ulang tahunmu ya?" tanya pamannya. Laura mengangguk, tiba-tiba ia teringat orang tuanya yang baru saja pergi.

"Andai saja mama papa ada." Kepalanya tertunduk. Kesedihan kembali melanda batinnya.

"Papa, katanya pergi 1 jam aja," ujar seorang anak remaja laki-laki di dekat pintu utama kantor polisi.

"Kak Roy!" pekik Laura dan langsung melompat ke pelukan laki-laki berumur 13 tahun itu.

"Ada apa ini?" tanyanya. Laura menggelengkan kepalanya kearah pamannya tersebut.

"Papa ga sengaja nabrak seseorang saat di jalan," jawabnya. Anaknya tersebut tak percaya. Namun, apa boleh buat?

Tak ada bukti untuk menuduh ayahnya berbohong. "Ya sudahlah, ayo kita main, Ra," ujarnya menggendong Laura.

Laura mengalungkan tanganya di leher sepupunya. "Kamu kenapa?" Roy melirik sepupunya.

"Gak apa-apa, tadi mimpi buruk," ujarnya dan berusaha terdengar sejujur mungkin.

"Kita mau main apa?" tanya Laura. Roy menurunkan Laura dan berjongkok di hadapan gadis kecil itu.

"Aku tau kenapa kau begini. Jujurlah kepadaku."

"Gak mau, aku tak ingin ingat kejadian itu lagi!"

"Kalau kau sudah siap cerita. Tolong ceritakan, aku penasaran." Roy mencubit lembut pipi sepupu kecilnya itu.

"Iya kak****."

Paman dan bibi Laura keluar dari kantor polisi. "Anak-anak, ayo pulang," ujar wanita paruh baya tersebut di depan pintu mobil.

Laura dan Roy berlomba menuju mobil. Tentu saja, tubuh Roy yang tinggi pasti sampai duluan dibanding Laura. "Kak Roy curang! Harusnya kakak jalan cepat," ujar Laura dengan jengkelnya.

"Iya iya, terserah kau saja. Silahkan masuk tuan putri," ujar Roy membukakan pintu untuk Laura.

Malam pukul 12 tengah malam. Laura dikejutkan oleh suara berisik dari lantai 1. Suara jeritan dari bibinya yang tiba-tiba menghilang saat Laura duduk di tepi tempat tidur.

Anak itu segera turun dari tangga dan bersiap di samping meja kecil yang terdapat telfon rumah diatasnya. Anak itu melihat darah yang menyembur keluar dari lehernya. Lalu, seorang pria asing mengikat tali tambang pada lehernya dan menggantungnya.

Laura hendak menekan tombol nomor namun benda dingin menyentuh tengkuknya. Tanganya terhenti tepat diatas tombol nomor itu. "Jangan panggil polisi atau habislah kau ditanganku!" ancam pria itu dengan suara berat.

"Jauhkan tangan kotormu dari telfon rumah itu. Kau anak baik, pasti kau menuruti kata-kata orang tua," sambungnya.

Laura meletakan kembali telfon rumah itu dan mengangkat tanganya, sebagai bukti ia tak memegang apapun lagi.

Pria asing itu pergi meninggalkan rumah melalui jendela. Laura mendekat 2 langkah menuju bibinya yang tergantung dengan darah yang membasahi pakaianya.

Diatas meja terdapat tulisan.

'Happy Birthday Laura"

"Cairan ini menyeramkan," ujar batin Laura kecil.

#2

Laura meniup lilin yang menyala di atas kue. Tak disangka umurnya sudah menginjak 16 tahun. Waktu berjalan begitu cepat. "Selamat ulang tahun, Ra," ujar sepupunya, Roy, dengan senyuman manis.

Hari itu pamannya tak bisa merayakan ulang tahun bersama karena ada tugas keluar kota. "Kak Roy udah punya pasangan?" tanya Laura. Wajah Roy tampak sedikit kesal karena kejahilan lawan bicaranya itu.

"Semakin tua, kau semakin menyebalkan!" ejek Roy. Ia mencolek krim dari kue itu lalu meletakannya di pipi Laura. Laura yang tidak terima membalas perbuatan Roy.

"Masa iya, 26 tahun kakak belum ada pasangan?"

"Orang tampan tuh susah mendapat jodoh yang pas," jawab Roy sambil mengibas rambutnya yang mulai memanjang. Laura yang mendengar itu merasa sedikit kesal.

"Dih, iring timpin," cibir Laura.

"Fakta tau," ujar Roy, "Oia, potong kuenya," sambungnya.

Laura mengambil pisau dan memotong kuenya. "Besok sekolah, aku malas!" Laura memberikan sepotong kue kepada Roy.

"Kenapa malas? Kan enak dapat teman baru," ujar pria itu sambil menyantap kue coklat yang diberikan Laura.

"Teman SMP aja menyebalkan. Apalagi kalo SMA?" ucap Laura. Gadis itu mengambil segelas air. Saat melihat ke dalam gelas, air tersebut berubah menjadi warna merah seperti darah. Dengan spontan gelas itu dilemparnya.

Namun, bertepatan dengan Roy yang masuk ke dapur. Gelas tersebut mengenai pria itu dan mengenai kepala Roy. "Maaf kak! Maaf aku gak sengaja!" Laura dengan panik membersihkan pecahan kaca.

"Hati-hati, kau bisa terluka," ujar Roy.

"Aku pasti hati-hati. Aku benci liat darah," ujar Laura sambil membersihkan pecahan kaca. Cukup lama untuk membersihkan sisa-sisa kacanya.

Pintu gerbang rumah terbuka. Pamannya sudah pulang dari luar kota. Laura pun keluar dan membukakan pintu untuk pamannya tersebut. "Selamat datang, Om," ujar Laura meraih tas yang pamannya bawa.

"Iya, terimakasih Laura," ujar pamannya. Roy pun akhirnya ikut menyambut kepulangan ayahnya.

"Oia, selamat ulang tahun ya, Laura," ujar pria tua bangka tersebut.

Keesokan paginya. "Ra! Cepat! Sekolah gak!?" pekik Roy di depan rumah. Laura menekuk wajahnya, ia malas ke sekolah hari ini.

"Sabar dong! Jalan itu butuh waktu," ujar Laura sambil berjalan seperti zombi. Tanpa basa-basi lagi, Laura naik ke motor Roy dan berpegangan pada jaket pria itu.

Baru saja ia sampai di sekolah. Gadis itu disambut keributan antara siswa dan guru. Laura mendekati kerumunan yang mengelilingi 2 orang yang sedang berdebat di tengah-tengah mereka. "Ada apa ini?" tanya Laura pada salah satu siswi.

"Kakak kelas dengan guru debat, lagi pula itu sudah biasa. Tetap saja heboh," jawabnya.

Laura sedikit berjinjit untuk melihat apa yang sedang terjadi. Ia hanya melihat pria yang lebih pendek daripada remaja lelaki di hadapannya.

"Debat apa sih? Telingaku kurang tajam****." Laura menapakan tumitnya.

"Pastinya soal rambut. Rambut aja dikomentari, huft," jawab siswi itu. Ia menepuk dahinya lalu pergi menjauh dari kerumunan itu.

"Aku gak perhatikan," ujar Laura dan berjinjit kembali.

Matanya melihat rambut dari siswa itu. Rambutnya putih dengan sedikit warna cyan. Siswi itu menghela nafas, terlihat dari wajahnya yang merasa jengkel. Beberapa saat kemudian, siswa yang sedang berdebat memukul wajah pria di depannya dengan kencang hingga darah keluar dari lubang hidung pria itu.

"Saya sudah sabar menghadapi ocehan anda 3 tahun!" ujarnya dengan tegas. Ia mengangkat kaki dari tempat itu, tidak tau kemana.

Laura mengejar siswa berambut putih dan berniat menegurnya. Ia menemukan remaja itu bersandar pada tembok di dekat kolam renang sekolah.

"Um, permisi kak!" sapanya. Siswa itu menengok tanpa membalas perkataan gadis di depanya.

"Aku cuma mau bilang .... " Laura memberi jeda sebentar.

"Kakak tau perbuatan kakak tadi tidak sopan?" tanya Laura.

"Gak tau," jawabnya dengan ketus.

"Dasar tak punya hati!" pekik Laura sembari menunjuk siswa tersebut dengan telunjuknya. Hatinya kesal rasanya ingin mengeluarkan kekesalannya dengan mengumpat di depan wajah siswa itu.

Kakinya hendak melangkah menuju ruang kepala sekolah. Namun, tangannya ditarik oleh lawan bicaranya tadi.

"Beraninya kau berbicara seperti itu padaku," ujar lelaki itu dengan suara berat yang bermakna mengancam.

"Aku hanya memberi tau! Lepaskan tanganku!" Laura meronta-ronta, berusaha melepaskan genggaman tangan laki-laki yang sangat kuat itu. "Lepaskan atau aku teriak!" ancamnya.

Tubuh gadis itu dihempaskan kearah tembok di sebelahnya dan tersungkur di tanah. Kepala belakangnya terasa sakit dan rasa pusing menyergap. Kepalanya diinjak oleh laki-laki tadi. "Teriaklah, teriak!" pekiknya dan langsung menendang perut Laura dengan cukup keras.

"Dasar murid baru**," gumamnya lalu memasukan tangannya ke kantung celana berwarna hitam yang ia kenakan. "Berdirilah sebelum aku menghabisimu**," ucapnya dengan senyuman.

Laura berusaha bangkit tapi rasa sakit di perut dan kepalanya tak mendukung keinginannya. Tubuhnya terasa melayang seketika. Siswa menyebalkan itu mengangkat tas Laura dengan tangan kirinya.

"Dasar lemah," ujarnya dengan lirih. Lalu, langsung melepaskan pegangannya.

Laura hanya bisa menatap punggung murid laki-laki tersebut, yang semakin lama semakin menjauh.

Gadis itu berdiri dengan tembok sebagai pegangannya. "Manusia macam apa itu!?" gumamnya.

Ia menuju UKS dan bercermin pada cermin di dekat wastafel. Tak ada luka lebam di wajahnya. Dia menghela nafas lega dan merapihkan sedikit rambutnya.

"Ayo, Laura! Semangat!" ujar batinya pada diri sendiri. Dia mengepalkan tangan, tanda semangatnya.

Gadis itu berjalan menuju Tata Usaha untuk menayai ruang kelasnya.

Guru yang berada di Tata Usaha menuntunmya menuju ruang kelas. Guru itu memintanya menunggu di depan kelas, lalu pamit.

"Tenang, tenang," ujar Laura dalam hati. Tak lama guru tadi menyuruhnya masuk ke dalam kelas dan ia meninggalkannya menuju Ruang Tata Usaha.

"Silahkan perkenalkan dirimu," ujar pria yang berdiri di sebelahnya.

"Namaku, Alexandra Laura, biasa dipanggil Laura. Umurku 16 tahun. Salam kenal," ujarnya.

"Baiklah, tanpa basa-basi lagi kita mulai pelajaranya. Laura, silahkan duduk di tempat kosong," ujar pria itu.

Pelajaran berlangsung. Perut Laura terasa sakit tiba-tiba. Siswi di sebelahnya bertanya keadaan gadis itu. Laura tak ingin merepotkan orang lain disaat pelajaran. "Aku baik-baik saja," ujar Laura dengan lirih.

"Kau harus ke UKS****," ujar siswi itu. Ia bangkit dari kursinya menuju depan kelas. Suara lirihnya menggema. Guru itu mengangguk dan mempersilahkan siswi bernama Zane mengantar Laura ke UKS.

"Kau kenapa sakit perut gitu? Mau datang bulan?" tanyanya saat di perjalanan.

"Bu, bukan, tadi perutku ditendang oleh siswa berambut putih seperti beruang kutub. Tadi pagi," jelas Laura sambil memegangi perutnya yang sakit.

"Lebih baik kau jangan berbuat aneh-aneh denganya. Dia bisa menghajar siapapun yang membuatnya kesal. Seperti beruang betina," ujar Zane, mereka berdua tertawa kecil.

"Apa maksudmu?"

Mendengar suara itu wajah Zane tegang seperti akan dihukum mati. Suara yang tak asing juga di telinga Laura. Mereka berdua menengok kebelakang dan mendapati siswa dengan kedua tangan di kantung celana. Rambut putihnya yang sangat terang terkena cahaya dari jendela.

"Bukan apa-apa, Kak, ahaha," ujarnya dan langsung menarik tangan Laura lalu menaikan kecepatan berjalannya.

Saat sudah di UKS. Zane menghela nafas lega sambil mengelus-elus dadanya. Begitu pun dengan Laura, rasanya ia menahan nafas saat siswa itu muncul.

"Apakah rambut dia diwarnai?" tanya Laura sambil berbaring di tempat tidur.

"Bukan, itu rambut alami, katanya sih gitu," jawab Zane dan mendudukan dirinya di tempat tidur sebelah Laura. "Kau istirahat ya, nanti jam istirahat aku kembali ke sini," ujar Zane lalu meninggalkan ruangan.

Sepi sekali keadaan UKS saat itu. Sampai suara angin yang menerpa jendela pun ia terkejut. "Sepinya. Tidur aja mungkin ya?" gumamnya dan berusaha tertidur.

"Gak bisa!" ujarnya dengan kecewa. Keadaan UKS cukup dingin saat itu. Laura menarik selimut sampai menutupi perutnya. Ia merasa bosan, ponselnya pun ia tinggalkan di kelas.

Ia mendudukan dirinya di atas kasur itu. Matanya terbelalak melihat kearah pintu depan UKS. Rambut putih dengan warna cyan yang menghiasi sedikit rambutnya.

"Matilah aku." Laura merebahkan tidurnya dan menghadap ke tembok.

"Kau di situ rupanya****." Kepala Laura dibasahi keringat dingin. Gadis itu merasa suara langkah kaki semakin mendekat kearahnya.

"Kau mendengarku?" lirihnya di depan telinga Laura. Gadis itu hanya bisa berpura-pura tidur dan tak mendengar suara berat yang mengerikan itu.

"Tolong pergilah!" Batinya menjerit dan mengcengkram selimut yang ia gunakan.

"Jawab aku," ucapnya lagi. Laura menyerah berpura-pura.

"Pergilah!" balas Laura dengan nada bicara yang dingin. Ia baru ingat sesuatu.

"Matilah aku," ujar batin Laura. Ia mengganti posisi tubuhnya dan menghadap laki-laki berambut putih seperti salju tersebut.

"Baiklah! Aku minta maaf atas perkataan ku yang kurang sopan. Jadi, jangan ganggu aku," ujar gadis itu dan menarik selimut sampai menutupi wajahnya.

"Tapi aku tidak memaafkanmu," balasnya. Keadaan sunyi seketika. Seakan dia hilang ditelan bumi.

"Aku akan dihantui olehnya?" Laura berharap dirinya tak stres dihantui oleh beruang kutub itu.

#3

Jam istirahat berlangsung. Sesuai dengan perkataan Zane, ia datang untung mengecek keadaan Laura.

Laura bercerita apa yang ia alami selama di UKS sendirian. "Benar-benar gila!" Ujarnya di akhir cerita. Zane mengelus dagunya, berfikir sejenak.

"Kau bilang dia menghilang?" Tanya Zane. Laura mengangguk dengan yakin. Gadis itu mendekap lututnya.

"Aku pernah sih diteror kakak kelas itu, tapi itu cuma sementara karena aku selalu menghindar. Tapi, tadi bertemu lagi," ujar Zane tertunduk. Ia tak membayangkan akan diganggu kembali hidupnya.

"Aku takut, Zane! Rasanya ingin teriak," ujar Laura. Ia memegang kedua pipinya yang menggembung.

"Halo, Laura kau baik-baik saja sekarang?" Tanya siswa tampan berambut coklat gelap dengan 3 roti isi dan minuman di tangannya.

"Kak Angga," ujar Zane dengan mata berbinar.

"Angga? Nama aneh apa itu?" Tanya Laura dalam hati.

"Ada Zane juga. Oia, ini untuk kalian berdua," ujar siswa itu memberikan 2 roti yang ia bawa.

Laura membuka bungkusan itu dan memakan roti isi blueberry. Mereka bertiga berbincang sampai akhirnya menuju topik serius.

"Kau menegur Wil tadi pagi?" Tanya Angga kepada Laura. Gadis itu bingung siapa itu Wil?

"Itu, siswa rambut salju," jelas Angga. Laura pun mengerti dan menjelaskan apa yang terjadi tadi pagi. Begitu mengingatnya, rasa sakit di kepala serta perutnya itu muncul.

"Sebaiknya bicara dengan dia itu baik-baik," ucap Zane dan mengigit lagi roti di tanganya. Angga berpendapat sama. Wil itu sama berbahayanya dengan hewan buas atau mungkin lebih berbahaya.

🔪🔪🔪

Samuel William Zhou, panggil saja Wil. Laki-laki berambut putih dengan sedikit warna cyan. Berjalan menuju lapangan sekolah yang luas. Ia berdiri di tengah-tengah lapangan dengan seorang siswa yang terkenal kejam di sekolah lamanya.

Wil berdiri tepat di depan siswa yang lebih pendek 10 sentimeter darinya. Sebelum siswa di hadapanya memulai hal yang akan dia sesali, temanya menasehati dengan bijaksana.

"Bos, itu kau yang dulu, lawanmu yang ini berbeda," ujarnya. Namun siswa itu menolak tantangannya.

"Tidak! Liam tak akan mundur begitu saja," balas siswa bernama Liam tersebut. Ia menyuruh temanya tadi menjauhi dirinya beberapa meter.

"Silahkan mulai duluan****." Wil menawarkan pada Liam. Ia spontan saja berkata demikian. Liam pun langsung memukul bagian perut Wil. Akting Wil dimulai.

Ia berpura-pura meringis kesakitan. Saat Liam bangga dengan dirinya sendiri. Wil langsung menendang sambil berputar. Lalu, menjambak rambut lelaki itu. "Selagi hatiku baik, tulangmu tak akan ku patahkan," ujarnya.

Wil mengangkat tubuh Liam dengan posisi tangan yang masih menjambaknya. Wil langsung nendang perut Liam dengan brutal dan memukul wajahnya sampai luka lebam dan darah menghiasi wajah siswa itu.

Tak ada yang berani melerainya. Wil membanting wajahnya dan langsung menginjak kepala Liam dengan sadis. Wil tertawa puas melihat lawannya tak berdaya. "Sayang sekali ya, aku tak bisa membunuhmu di lingkungan sekolah," ujar Wil dengan nada berat.

Rambut dan seragamnya berantakan. Ia berjongkok dan menghadap wajah lawanya yang sudah babak belur seperti bukan Liam diawal pertarungan. "Lain waktu kita begini lagi, ya?" Wil menepuk kencang punggung lawanya yang tersungkur lemas itu.

Mata merah Wil terfokus pada kantong celana Liam. Terdapat bungkus rokok serta pematik apinya. "Sok badboy menjijikan!" Wil melempar bungkus rokok itu ke wajah Liam.

"Ya sudah kalau kau tak mau menjadi lawan bicaraku." Wil menendang kencang perut Liam berkali-kali. "Mungkin kau akan kritis setelah ini. Sampai jumpa****." Wil melambaikan tangan dengan santai dan melemparkan pematik api yang ia ambil dari saku Liam.

Si rambut putih itu menuju kamar mandi dan merapihkan rambut serta seragamnya. Ia tak mau berdebat dengan guru lagi. Ia bercermin dan melihat ada darah di dekat pipinya. Ia segera mencuci wajahnya.

Setelah selesai urusannya dengan kamar mandi. Ia keluar dan menuju kantin lalu makan makanan favoritnya, mi instan yang berkuah.

Sampai kantin suasana sangat suram. Sebelum Wil datang, kantin sangat ramai banyak canda dan tawa yang menyelimutinya. Tiba-tiba mood-nya menurun, jadi ia membeli minuman teh dingin kemasan botol. Ia membayarnya dan membuka tutup botolnya. Dari luar terdegar kantin seketika ramai.

Karena sifat buruk Wil, dia tak punya teman satupun. Jika ada, itu hanya saat mereka butuh bantuanya. Namun, Wil tak peduli dimanfaatkan begitu.

Tiba-tiba seseorang dari belakang merangkulnya dengan akrab. "Singkirkan tanganmu, atau mau ku patahkan," ucapnya ketus.

"Santai dong. Oia, gue minta jawaban ya nanti saat ulangan. Makasih bro," ujarnya dan langsung berjalan cepat meninggalkan Wil. Ia tidak tau, Wil sedang tersenyum jahat.

"Akan ku bantu, dengan baik dan benar," ujar Wil. Membuang kemasan botol yang sudah habis, ketika ia ingin membuang itu. Siswa yang meminta bantuan denganya datang kembali.

"Ingat ya, gue gak takut sama lo. Jadi kalo nilai gue jelek, siap-siap lo." Mendengar hal itu Wil memukul kepala orang di sebelahnya itu dengan botol pada bagian tutupnya yang keras. Siswa itu mengerang kesakitan sambil memegang kepalanya yang terasa sangat sakit itu.

"Berani, huh?" Tanya Wil dengan nada suara yang berat. Ia mengangkat tanganya dan berkata, "Mau dipukul lagi?" Tanyanya. Lawan bicaranya itu menggelengkan kepala dengan cepat dan langsung lari tunggang langgang menjauhi Wil.

"Tatah~" Ucap Wil dengan ceria sambil melambaikan tangan. Lalu, ia membuang botolnya yang sudah tak berguna itu.

Laura yang tetap saja geram dengan kelakuan kasar Wil, dia tak mempedulikan soal rumor yang dibicarakan semua orang. Tentang, dia lelaki itu orang yang sangat kejam dan disegani.

Ia menemukan manusia setengah beruang itu di dekat kantin. "Hey, kau!" Teriak Laura kepada Wil yang sedang dalam mood yang baik.

"Aku punya nama," balas Wil tanpa menengok kebelakang.

"Aku tak peduli siapapun namamu yang jelas, kelakukanmu sudah di luar batas!" Tegas Laura lalu berpindah ke hadapan Wil. Laura menatap mata merah milik Wil.

"Oh, emang kau tau apa? Udang kecil****." Wil menatap mata ungu tua milik Laura. Terlihat kekesalan yang memuncak di sana.

"Jangan panggil aku seperti itu! Aku tau karena aku lihat kau hampir menghabisi nyawa seseorang!" Jelas Laura sambil berkacak pinggang. Mata merah Wil menyala, terlihat pada sela-sela rambutnya.

"Kau juga mau seperti itu atau diam?" Tangan Wil mengepalkan tanganya. Ia tak tahan mendengar komentar negatif tentang dirinya.

"Aku tak mungkin diam saja, kau mau kau sa--" Ucapan Laura terpotong, karena Wil menghempaskan tubuhnya ke tembok di sebelah kirinya.

Pelipis Laura menghantam tembok cukup keras hingga menimbulkan bunyi dentuman. Siswa yang menghempasnya tadi pergi begitu saja untuk memperbaiki mood-nya.

"Sudahlah, aku ke kelas aja," ujar batin Wil. Kakinya melangkah menaiki anak tangga menuju kelasnya. Tiba-tiba seseorang berlari dari arah berlawanan dan menabrak tubuh Wil.

Lelaki itu terjatuh, berguling ke bawah dan tersungkur di lantai. "Maaf! Maaf, saya gak sengaja. Kamu gak apa-apa?" Siswi itu berlari mendekati Wil dengan panik. Ia mengira Wil pingsan namun, ia terkejut siswa itu bangkit dan berdiri dengan tegak.

"Maaf ya," ujar siswi itu lagi. Wil menyentuh tepi dahinya. Terdapat cairan merah di jarinya itu. Cairan itu pun menetes ke lantai persekian detik.

"Kau terluka! Sini aku obati****." Siswi itu mengenggam tangan Wil. Namun, Wil langsung mencengkramnya dengan sangat kuat. Matanya merahnya menyala, hal itu membuat siswi ini kesakitan dan ketakutan.

"Coba jelaskan kepadaku. Siapa yang suruh kau berlari-lari di tangga?" Tanyanya. Siswi itu terlalu takut. Ia menjawab dengan terbata-bata.

"Tidak, tidak ada!" Karena saking takutnya. Siswi itu jatuh pingsan dan kulitnya memucat. Wil melepaskan cengkramannya lalu melanjutkan perjalanannya, menuju ruang UKS.

Cermin di UKS memantulkan bayanganya. Rambutnya kini dihiasi dengan warna merah gelap darahnya. Ia mencuci lukanya dan rambutnya. Lalu, mengobati dirinya sendiri.

Tiba-tiba pintu terbuka di tengah kesibukanya. Orang yang membuka pintu itu terus bergumam, "Aduh kepalaku, aduh... Akh! Sakit," gumamnya.

"Berisik banget," ujar Wil yang melanjutkan kegiatanya. Laura langsung menengok ke sumber suara. Lagi-lagi ia bertemu dengan beruang liar. Seakan tak peduli dengan keadaannya, Laura menuju tempat tidur dan merebahkan dirinya.

"Kau tidak bisa membedakan orang kesakitan dan mengoceh kah!?" Tanya Laura dengan nada bicara yang meninggi.

"Jaga nada bicaramu," ujar Wil. Lukanya sudah tertutup oleh plester. Ia mengembalikan obat merah dan membuang kapas yang terdapat darah.

"Aku pusing kau jangan berisik!" Laura membalikan tubuh membelakangi Wil.

"Terserahmu," balas Wil.

Seketika terdengar suara sirine ambulans yang nyaring dan juga terdengar suara wanita yang histeris dan memanggil-manggil nama Liam.

Senyum puas tercetak jelas diwajah Wil. "Mari kita lihat bagaimana kau bertahan Liam," ujar Wil.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!