Mencoba Berlari Dari Kenyataan

Zahra berlari dan terus berlari entah ke mana kakinya melangkah pergi yang penting menjauhi rumah yang sudah tidak lagi ingin ada dirinya di sana. Dia tidak memperdulikan banyak pasang mata melihat ke arahnya karena penampilannya yang terlihat cukup aneh berlari di siang bolong begini dengan memakai kebaya pengantin.

Tak sedikit orang yang mencibirnya dan juga menatap jijik padanya. Tapi, tidak sedikit pula yang merasa kasihan kepada Zahra karena diusir begitu saja oleh orang tua kandungnya.

Bahkan air mata Zahra terus mengalir membasahi wajahnya hingga melunturkan make up yang ia kenakan. Riasan itu sudah tidak berbentuk lagi, eyeliner mulai belepotan di matanya, blush on luber ke mana-mana, rambut pun sudah mulai tidak rapi seperti tadi pagi. Dia bingung harus kemana lagi di saat semuanya dalam keadaan begini. Tidak ada sanak saudara lagi yang akan ia mintai bantuan karena hanya ayahnya yang ia punya.

Kaki polosnya tanpa alas kaki terus menapaki menyusuri jalan raya yang panas akibat terik matahari. Rasa sakit, kecewa dan malu membuatnya lupa mengenakan alas kaki. Rasa perih, sakit, dan panas di kaki yang menghinggapi telapak kakinya tidak ia hiraukan dan terus berlari kencang.

Sampai Zahra sudah berada di ujung pembatas desa jauh dari perkampungannya. Zahra mencari tempat istirahat dan membelokkan tubuhnya ke sungai yang tak jauh ada di sana.

Dan kini dirinya berdiri di dekat jembatan dan mulai duduk dengan tenang. Jembatan dekat sawah penghubung antar satu desa ke desa. Hati Zahra sedikit lebih tenang jauh dari perkampungan yang banyak orang. Dirinya masih belum percaya mendapatkan comoohan warga bahkan sebuah pengusiran dari orangtuanya.

Kakinya ia selonjorkan, punggungnya ia sandarkan ke pohon jambu yang ada di sana, matanya menatap lurus hamparan sawah. Angin sepoi-sepoi menerka wajahnya, untuk sesaat dia merasakan ketenangan namun, tak lama kemudian tak terasa dirinya meneteskan air mata dan terisak pilu meratapi apa yang terjadi.

"Akkhh... aku benci diriku sendiri, aku benci. Ya Tuhan, kenapa ini terjadi padaku? Kenapa aku harus mengalami hal seperti ini? Aku sudah membuat ayah marah dan sudah mempermalukan keluargaku. Apa yang harus kulakukan saat ini? Harus kemana kaki ini melangkah?" Zahra bergumam sendirian di tepi sungai.

Setelah puas menangis meratapi nasibnya, Zahra tersenyum terkekeh geli sendiri mendapati dirinya bagaikan orang gila gagal menikah sendirian di bawah pohon jambu, menangis terisak di dekat jembatan, dan di temani air sungai serta hamparan sawah.

Perlahan Zahra mulai berdiri melangkah turun ke bawah menghampiri air sungai yang mengalir jernih. Dia berjongkok membasuh riasan wajahnya guna membersihkan sisa makeup yang belepotan. Zahra juga sekalian berwudhu agar hatinya terasa lebih tenang lagi.

Air jernih, dan sentuhan wudhu yang ia lakukan membuat hatinya jauh lebih tenang dan lebih segar lagi. Dirinya terdiam berdoa untuk ketenangan hati.

"Ya Allah ya Tuhanku, jika ini jalan takdirmu aku ikhlas dan aku mohon berilah aku kekuatan untuk menghadapi semua ini. Aku percaya jika kehidupanku engkaulah yang mengaturnya." lalu, Zahra mengusapkan telapak tangannya ke wajah seraya memejamkan mata.

Dan Zahra kembali melanjutkan langkahnya tak tentu arah kemana langkah membawanya. Dia hanya ingin menjauhi dunia dan orang-orang yang mencemoohnya.

*****

Ilyas yang baru tiba di depan rumah Zahra segera turun dari motornya. Doa begitu tergesa menghampiri kediaman wanita yang ia cintai. Setibanya di depan pintu, Ilyas terus mengetuk pintu berharap Zahra masih ada di dalam tidak mendapatkan kemarahan.

Tok... tok... tok...

"Semoga Zahra ada dan Om Anton tidak menyakitinya." Tiada hentinya mengetuk-ngetuk pintu sampai pintu yang ia ketuk terbuka.

"Mau ngapain lagi kau kemari, Ilyas?" tanya Anton dingin seakan enggan menemui Ilyas.

"Om, apa Zahra ada di dalam? Saya ingin menemuinya, Om. Saya akan tetap menikahinya sekalipun dia sedang mengandung anak orang lain," tutur Ilyas mengungkapkan keinginan yang begitu besar bertanggung jawab atas kesalahan orang lain terhadap Zahra, wanita yang tidak tahu apa-apa dan hanyalah korban semata.

"Zahra sudah tidak ada di rumah ini. Dia sudah pergi. Mending kau pulang saja dan jangan lagi mencari Zahra!" balas Anton berwajah dingin bersuara tegas seakan enggan membahas lagi tentang Zahra di hadapannya.

Deg...

Ilyas tertegun menyadari penuturan Om Anton jika kemungkinan jahat sudah diperlakukan tidak adil.

"Maksud om apa? Om mengusir Zahra?" Ilyas malah memikirkan yang tidak-tidak tentang apa yang di katakan papanya Zahra.

Hatinya gelisah, jiwanya tidak karuan, ingin sekali Ilyas masuk ke dalam memanggil nama Zahra untuk mencari tahu sebuah kebenaran apakah benar Zahra telah di usir dari rumah nya sendiri atau hanya ucapan bohong saja.

"Jelas saya mengusir anak pembawa malu itu. Saya jelas malu dia tidak menuruti keinginan saja untuk menjaga kehormatannya. Apa kau pikir semua warga tidak menghina kita? semuanya menatap tidak suka dan mencibir kelakuan Zahra. Saya malu. Jadi, kamu tidak perlu lagi mencari Zahra!" Anton segera menutup pintunya enggan lagi berbicara panjang lebar di karenakan ada beberapa pasang mata yang memperhatikannya. Siapa lagi kalau bukan para tetangga.

"Om, kau tidak boleh melakukan itu pada Zahra. Dia tidak salah, Om. Zahra hanyalah korban pria bejat tak bertanggungjawab, Om." pekik Ilyas merasa sakit hati Zahra di perlakukan seperti itu.

"Nak Ilyas, Zahra sudah pergi sejak tadi gara-gara di usir ayahnya sendiri," ucap salah satu tetangga yang menyaksikan pengusiran Zahra dari rumahnya tanpa memberikan apapun. Hanya pakaian yang di kenakannya saja harta satu-satunya yang di bawa.

"Kemana Zahra perginya?" Ilyas berharap masih bisa menemukan Zahra di jalan.

"Ke arah Barat." Dan segera pria itu meninggalkan tempat.

******

Zahra berjalan kaki menyusuri setiap jalan. Bahkan dia tidak menyadari jika dirinya telah sampai di jalan raya banyak kendaraan cukup jauh dari kampung halamannya.

Rasanya ingin sekali dirinya berlari sejauh mungkin menghindari sebuah kenyataan yang membuatnya seperti ini. Penampilannya sudah terlihat berantakan, wajahnya kacau dan matanya pun masih sembab akibat kebanyakan menangis.

Banyak orang yang memperhatikan penampilannya namun Zahra tidak memperdulikan itu. Dia hanya bisa menatap kosong sambil terus berjalan dan meratapi nasibnya. Sekarang nasib hidupnya menjadi kacau dan bingung harus kemana dan harus berbuat apa.

Entah siapa yang harus di salahkan, dirinya yang tidak bisa menjaga kehormatan, atau pria itu yang tidak bisa menahan hawa nafsunya? Zahra tidak tahu. Apa ini takdirnya? Apa ini jalan hidup yang harus ia tempuh? Apa ini sudah menjadi suratan takdir dari sang ilahi? Hanya Tuhannya yang tahu.

Di siang hari di bawah paparan sinar matahari, kepala Zahra terasa pusing berputar-putar. Rasa itu semakin besar hingga tak terasa tubuhnya jatuh pingsan.

Bruk...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!