Arga malam ini akan tidur dengan tenang, dia akhirnya bisa ke Jakarta dan kali ini langkahnya untuk membalas perbuatan ibu serta kakak tirinya akan lebih mudah.
Setidaknya Arga punya Fras yang bisa memfasilitasi dirinya untuk masuk ke golongan kelas atas.
Sesuai janji, walaupun Arga berangkat dengan Fras dan ibunya, tapi Dirta dan Artha tetap berangkat bersama mereka.
Fras telah menjual lahan beserta usahanya dan dia akan fokus di Jakarta dengan mengelola bisnis keluarga yang selama dia pergi di kelola oleh keluarga adik sepupu ibunya.
"Hore, kita berangkat!" seru Dirta.
"Terimakasih Om, telah memberi kami tumpangan, ongkos bisa buat makan beberapa hari," ucap Artha.
"Kalian bisa saja, benar kalian nggak mau kuliah, biar Om bantu."
"Nggak Om, otak kami nggak seencer Arga. Kami mau cari kerja saja, biar bisa bantu menyekolahkan adik-adik."
"Tapi, kalau cuma lulusan SMA mau kerja apa kalian di Jakarta. Om yang lulusan sarjana saja minggir ke kampung, memilih membuka usaha di kampung."
"Itu kan memang maunya Om menghindar dari kehidupan kota, buktinya sekarang Om akan mengelola perusahaan raksasa," timpal Artha.
"Bisa saja kalian menjawab."
"Memang kenyataan 'kan Om? Om anak orang kaya, tapi maunya hidup sederhana dan malah membaur dengan orang miskin seperti kami. Benar kan Ga?"
Arga hanya tersenyum, dia tahu bagaimana sifat Papa Fras, yang tidak mau membanggakan harta keluarganya.
"Jika tidak begitu, mana mungkin Om bisa bertemu dengan Arga dan kalian!"
"Benar juga ya. Pokoknya Om Fras is the best. Panutan yang patut di tiru. Orang kaya tapi tidak sombong. Berpuluh tahun, kami hanya mengenal Om sebagai orang biasa ternyata anak Sultan," ucap Dirta.
Mereka pun tertawa, sementara Mirna sejak tadi hanya diam mendengarkan celotehan kedua teman anaknya yang sudah dia anggap putra sendiri.
"Kalian ribut saja, coba perhatikan Ibu Mirna, kepalanya pusing mendengar celotehan kalian sejak berangkat tadi."
"Iya Bu? Maaf ya Bu, habisnya kami senang banget bisa melihat dan akan tinggal di ibu kota," jawab Dirta.
"Kalian melihat sisi enaknya saja dan kalian belum tahu bagaimana kerasnya kehidupan di ibu kota!"
"Doakan saja Mir, mereka tidak akan pernah mengalami kepahitan selama tinggal di sana."
"Nah itu, terimakasih doanya Om," ucap Artha.
"Nanti di sana, kalian bantu Om saja ya? Kalau Arga belum bisa bantu, dia harus fokus kuliah dulu."
"Serius Om! Kami kerja apa Om? Kami tidak tahu berbisnis, tahunya cuma mulung!" ucap Dirta malu.
"Yang penting mau belajar, pasti bisa!"
"Iya ya Om, ajari kami ya Om!"
"Beres, yang penting bantu Om. Om, juga sudah lama tidak berkecimpung di bisnis keluarga, pastinya seperti awal lagi. Harus banyak belajar."
"Om, apa Om tidak punya saudara? Adik gitu?" tanya Dirta.
"Ada, 3 perempuan. Mereka tinggal di luar negeri. Suami dari ketiganya juga pebisnis dan satu merangkap duta besar Indonesia di sana."
"Jadi apa alasan Om, memilih tinggal jauh dari keluarga? Kami pikir, Om dulu memang hidup sebatang kara," tanya Dirta lagi.
"Ceritanya sangat panjang, untuk saat ini Om belum bisa cerita. Terlalu sakit jika di ingat."
"Oh, maaf Om."
"Sudah jangan ngobrol saja, ini di makan rotinya dan ini juga ada tempe mendoan. Tadi ibu menggorengnya sebelum berangkat, untuk pengganjal perut kita sementara, daripada berhenti dan makan di restoran, mahal."
"Nggak apa-apa Mir, jika anak-anak ingin makan, nanti kita berhenti di rumah makan langganan Om. Rasa masakannya cukup enak, tapi masih kalah dengan rasa masakan Bu Mirna."
"Mas Fras bisa saja, masakan mereka jelas lebih enak, buktinya laris."
"Bagiku, tidak ada masakan yang bisa menyamai masakanmu. Masakanmu paling lezat Mir. Jika tidak percaya, nanti kamu masak makanan kesukaan ibu dan kita bawa ke rumah sakit. Ibuku pasti akan mengatakan hal yang sama."
"Mas Fras terlalu melebih-lebihkan, jadi naik nih, kuping saya."
Anak-anak kembali tertawa dan mereka mengiyakan perkataan Fras.
Mirna pun menjadi malu, tapi dia senang, suasana kekeluargaan membuat perjalanan mereka jadi lebih menyenangkan.
Akhirnya mereka pun sampai di rumah keluarga Fras. Rumah itu sangat besar dengan fasilitas yang lengkap.
Tapi sayang, penghuninya tidak ada. Ibu Fras masih di rawat. Rumah sebesar itu, hanya satu orang yang tinggal bersama para pembantu.
"Ayo masuk!" ajak Fras.
"ini rumah atau istana Om?"
"Wow Ga, coba lihat ada kolam renang juga. Besok kita berenang ya!" ucap Artha.
"Kalian jangan sembarangan, Nyonya rumah sedang tidak ada," ucap Mirna.
"Nggak apa-apa Mir, jika ibuku ada di sini, beliau pasti bakal senang. Rumah jadi ramai."
"Ayo kita istirahat dulu. Ga, Dirta dan Artha, mari Om tunjukkan kamar kalian masing-masing!"
"Kami tinggal satu kamar saja Om! lebih asyik bisa ngobrol," ucap Artha.
"Boleh, Om akan pilihkan kamar yang paling besar. Ayo ikut Om ke atas. Mir, kamu mau kamar di atas atau di bawah saja?"
"Sepertinya di bawah saja Mas, kaki ku nggak kuat jika harus naik turun tangga."
"Ada lift lho Mir, itu di sebelah sana, spesial digunakan oleh ibu."
"Nggak ah, di bawah saja Mas."
"Baiklah, kamu tunggu di sini dulu ya, aku antar anak-anak."
"Iya Mas."
"Mbak?" panggil Fras kepada salah satu pembantunya.
"Iya Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"
"Tolong, buatkan jus jeruk ya Mbak."
"Baik Tuan."
"Kami ke atas dulu ya Mir."
Mirna pun mengangguk, lalu diapun duduk di sofa yang begitu empuk. Mirna tidak pernah menyangka jika Fras berasal dari keluarga yang sangat kaya.
Selama ini Fras memilih hidup sederhana, menjadi penampung barang-barang bekas di kampung hingga bertemu dirinya dan juga Arga.
"Nya, silahkan di minum," ucap pembantu yang menyuguhkan jus.
"Mbak, panggil saja aku Mirna."
"Tidak Nya."
"Atau ibu saja kedengarannya lebih enak Mbak."
"Baiklah Bu, saya kebelakang dulu, mau menyiapkan pekerjaan."
"Silakan Mbak."
Mata Mirna menyapu area dinding, dia melihat foto-foto Fras saat muda dan juga foto keluarga.
Di situ terlihat seorang wanita anggun, berwibawa dan Mirna yakin, itu adalah ibu dari Fras.
Sedang asyik memandangi satu persatu foto-foto tersebut, Mirna dikejutkan oleh kedatangan Fras.
"Itu aku, gagah saat seusia Arga 'kan Mir?"
"Heemm, saat ini Mas Fras juga masih gagah," jawab Mirna.
"Sudah mulai beruban."
"Pasti, saat muda banyak gadis yang naksir Mas Pras?"
"Banyak, tapi nggak ada yang sehati."
"Maksud Mas Fras?"
"Wanita yang kucintai meninggal sebelum aku sempat mengungkapkan perasaanku," ucap Fras sedih. Dia jadi teringat akan masa lalu.
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments