Didikan Aldo terhadap Arini yang sejak usia sepuluh tahun memang sangat keras, membuat Emi lebih banyak mengalah ketika mendengar Anggoro akan membawa putri kesayangan mereka untuk menetap lebih lama di Swiss. Membuat gadis itu tumbuh dalam ketidaksukaannya pada sang Papa, walau sesungguhnya mereka saling menyayangi.
Perkembangan Arini yang tumbuh dalam didikan keras seorang Aldo, di suport dengan Anggoro yang memiliki kepemimpinan militer. Sangat berbanding terbalik dengan Abdi yang tumbuh ditangan Sugondo dan Ningsih yang penuh kesabaran dan kelembutan.
Wanita cantik itu masih tertidur pulas dalam dekapan hangat Abdi, yang membelai lembut kepala sang istri, walau masih terasa sedikit hangat, tapi sudah mulai berkurang setelah mendapatkan perhatian dari pria yang lebih muda darinya itu.
Senyuman ketenangan tampak jelas dari raut wajah Abdi, ketika mengecup lembut punggung telanjang Arini agar tetap merasa nyaman dan tidak terjaga. Perlahan ia beringsut untuk beranjak dari ranjang menuju kamar mandi, setelah lelah melayani Arini yang ternyata lebih agresif dari pikirannya.
"Ternyata benar kata Komandan Joko, kalau wanita sudah mendapatkan belaian dari pria, maka sepenuhnya dia akan ketagihan dan menyerah dengan sendirinya, walaupun wanita itu kasar dan acap kali menolak bahkan mengatakan tidak mencintai mu. Tapi aku yakin, setelah ini Arini benar-benar tidak bisa jauh dari ku ..."
Abdi bersiul-siul setelah melakukan ritualnya membersihkan diri. Mengambil pakaiannya dan mengenakan tanpa perasaan malu, kemudian berkata lagi didalam hati, "Kalau sudah dapat, pasti tidurnya kayak kebo. Yang penting malam ini aku harus membawa Arini pulang ke Bandung, biar tidak di ganggu lagi oleh DJ itu. Dasar laki-laki mesum, pasti dia memiliki niat yang buruk pada Arini, makanya dia meminta dua anak ayam itu menyusup untuk menculik wanita ku!"
Bergegas Abdi keluar dari kamarnya, untuk mengambil mempersiapkan makan malamnya bersama Arini, akan tetapi ia dikejutkan dengan kehadiran kedua mertuanya.
Susah payah Abdi menelan ludahnya sendiri, karena merasa sungkan telah berlama-lama di dalam kamar mewah milik putri kesayangan mereka.
Aldo yang melihat menantunya keluar dari kamar, tersenyum sumringah, menatap wajah Abdi yang tampak segar setelah membahagiakan putri semata wayangnya. "Apa kabar anak muda? Apakah kamu sudah makan? Jangan terlalu di porsir, tenaga itu harus di hemat karena badan ini mau dipake lama," godanya, membuat Abdi tampak salah tingkah dan menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal.
Abdi bergegas menghampiri Aldo dan Emi yang langsung memeluk tubuh gagahnya, "Ehm, Papa kapan datang? Kok enggak kasih tahu bahwa Papa sama Mama sudah berada di sini?"
Emi mengusap lembut punggung menantunya, hanya menjawab dengan candaan, "Kami tidak mau mengganggu kebahagiaan menantu. Kan, sudah dibilang kami kesini hanya untuk melihat Arini. Mana dia? Masih tidur, ya?"
Abdi mengangguk, kemudian menggelengkan kepalanya, "Ee, a-a-a-anu Ma. Hmm masih demam, ya ... Arini masih demam," lagi-lagi ia hanya bisa tersenyum garing karena tidak menyangka bahwa mertuanya akan tahu secepat ini.
Abdi menggigit bibir bawahnya, karena tidak ingin mendengar rengekan Arini ketika istrinya terjaga, "Ma, Pa ... Abdi siapkan makan malam dulu buat Arini. Karena dia masih pusing. Mungkin malam ini kalau enggak besok pagi Abdi akan membawa Arini ke Bandung. Sepertinya untuk saat ini, biar Arini di rumah Mama Nancy dulu. Karena kalau disini dia tidak bisa istirahat," jelasnya langsung mencicit menuju dapur.
Aldo hanya tertawa kecil, melihat tingkah sang menantu yang benar-benar sungkan dihadapannya, karena kepergok baru keluar kamar sejak pukul 16.00 hingga 21.45. Tentu benak Aldo dan Emi menjadi traveling karena pernah merasakan indahnya kebersamaan setelah menikah, walau sesungguhnya seperti kucing dan anjing.
Ketika Aldo bersitatap dengan Abdi yang bergegas menuju kamar, membawa satu nampan berisikan makan malam untuk putri kesayangannya, pria paruh baya itu kembali menyindir sang menantu, "Sepertinya menu kalian malam ini puding habis on, Abdi?"
Dengan susah payah Abdi mengalihkan pikiran Aldo, agar tidak menjadi bahan sindiran jika berhadapan dengan Arini nanti, "Ehm ... Abdi yang pengen Pa. Jadi tadi sebelum berangkat kerja minta buatin sama Bik Inem. Karena kebetulan juga Arini sedang sakit," jelasnya.
Aldo hanya tertawa kecil, mengangguk pelan, walau sesungguhnya bergumam dalam hati, "Mana mungkin sih kalian bisa bohongin Papa dan Mama, karena pengalaman kami sudah cukup untuk hal-hal seperti itu. Dasar anak-anak, tidak tahu apa ...!"
Emi yang sangat memahami bagaimana Aldo, hanya mengusap lembut lengan sang suami, agar tidak terlihat menaruh curiga pada anak menantunya, "Pa ... jangan seperti itu pada Abdi dan Arini. Biarkan saja dulu, toh mereka baik-baik saja, kan? Arini demam juga karena kelelahan. Tadi juga Mama sudah bertanya pada Bik Inem, dia bilang Arini juga sudah tidak ada masuk club' lagi. Jadi jangan marah-marah lagi atuh, besok pagi kita pulang. Sama anak-anak ya? Biar mereka istirahat dulu."
Aldo mendengus dingin, berlalu meninggalkan apartemen untuk menemui salah satu kerabatnya.
"Aku pergi dulu ya? Kamu mau ikut? Kita masuk club' di Jakarta, sambil menikmati malam di lantai tertinggi?" godanya pada puncak hidung sang istri.
Emi menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju, karena tidak ingin mendengar suaminya di temani wanita lain.
.
Sangat berbeda dengan Abdi yang tengah menyuapkan Arini, setelah mengusap lembut punggung istrinya agar mengisi lambung tengah terlebih dahulu.
"Satu lagi," ucap Abdi, menyodorkan satu sendok nasi beserta daging yang telah ia potongkan kecil-kecil kemulut mungil sang istri.
Arini mengikuti saja, setelah dibantu oleh Abdi membersihkan diri, serta mengenakan pakaian hangat beserta kaos kaki bercorak loreng.
"Kepala gue masih berat banget, Aa," rengeknya di bahu Abdi, membuat pria bertubuh atletis itu terpaku.
Seumur hidupnya, baru kali ini merawat wanita yang tengah sakit, dan manjanya luar biasa. Emosi yang meledak-ledak dapat ditaklukkan oleh Abdi, walau harus bersusah payah meyakinkan hati wanita yang benar-benar keras seperti batu tersebut
"Kamu makan yang kenyang, dan minum obat penurun panas ini. Tadi aku beli di apotik, dan kami selalu menggunakannya jika kondisi tubuh menurun. Semoga besok sudah badan kamu sudah segeran, dan kita bisa pulang ke Bandung sama Mama dan Papa juga," jelasnya pelan.
Terdengar helaan nafas berat dari Arini, yang langsung berkata pelan, "Kita pulang berdua saja ya, Aa. Gue enggak mau satu mobil sama Mama dan Papa. Ujung-ujungnya pasti ngomel melulu, dan gue malas ribut sama Papa," sungutnya.
Abdi mengusap lembut kepala Arini dengan penuh kelembutan sambil menatap iris mata yang sangat indah tersebut, "Jangan seperti itu. Bagaimanapun Papa itu orang tua kamu. Sudah sekarang kamu minum obat, dan lanjut istirahat lagi. Aku masih ada pekerjaan sedikit. Jadi kamu tidur deluan ya?"
Arini mengangguk manja, "Tapi lo enggak menghubungi cewek abege itu, kan?"
Abdi hanya bisa tersenyum tipis, sedikit mengerenyitkan keningnya, kembali bertanya dalam hati, "Kok, aku tiba-tiba lupa sama Sonya, karena lebih fokus pada Arini ..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Tari Gan
emang semestinya kamu.lupakan saja abdi anak nya si markonah gak usah di hubungi lagi,,
2022-12-23
1
Chm1327
yah lupa dia🤣🤣🤣
2022-12-16
2
G-Dragon
biasa kalau udah dapat enak, pasti lupa sama yang namanya ayang 🤭😬
2022-12-16
4