Disaat-saat apartemen masih dalam situasi panas, karena perdebatan panjang Arini dan Abdi, dua pembantu yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri dengan keluarga gadis kepala batu itu. Lagi-lagi menguping anak majikannya tengah berperang, atas perintah Emi sang majikan yang ternyata datang secara tiba-tiba, kemudian mendengar perdebatan anak menantunya tersebut.
Ya, Emi sengaja datang dari Bandung hanya untuk sekedar memastikan kondisi Arini, dan berniat untuk membawa putri kesayangannya itu kembali ke kota kembang.
Emi memilih duduk di sofa ruang keluarga, sambil bertanya dengan nada pelan kepala Inem, "Bagaimana Bik? Sudah tenang belum mereka berdua? Kalau sudah tenang biarkan dulu, jangan kasih tahu saya ada di sini. Papa-nya Arini masih di parkiran, karena melihat mobil anaknya baret dan yang satu ada bekas darah. Siapa yang membawa mobil Arini yang berwarna putih itu, Bik?"
Inem meletakkan jemarinya di dagu, kemudian memikirkan siapa yang baru datang tadi mengembalikan mobil sport milik anak majikannya tersebut, "Hmm ... kayaknya tadi Mr. Stevie yang datang, Nyonya. Tapi saya tidak tahu persis. Karena Non marah-marah saja sejak tadi pagi. Saya rasa Non Arini lagi sensitif banget, Nyonya."
Emi menghela nafas berat, dia tidak menyangka bahwa putrinya masih belum bisa menerima takdir tentang pernikahannya, bergumam dalam hati, "Bagaimana mungkin aku harus bicara dengan Aa Aldo. Sementara Aa selalu marah-marah kalau sudah membahas tentang anak semata wayangnya itu ..."
Perlahan wanita berusia 47 tahun itu merebahkan tubuhnya di sofa ruang keluarga, hanya untuk melepaskan penat sesaat. Benar saja, ketika Emi tengah menikmati secangkir teh manis hangat sambil menonton siaran televisi, pintu apartemen terbuka lebar.
Aldo masuk ke apartemen sang putri, sambil bertanya dimana keberadaan putri kesayangan mereka, "Mana Arini?"
Emi menunjuk ke arah kamar, kembali bertanya pada sang suami dengan penuh lemah lembut, "Lagi di kamar sama Nak Abdi. Papa mau minum apa, kopi atau teh?"
Tampak dari raut wajah Aldo ketidaksukaannya terhadap putri kesayangannya kali ini, "Arini lagi sakit, kan? Kita bawa pulang dulu. Sekalian bawa menantu ku! Aku tidak ingin mereka menjadi bulan-bulanan orang yang ingin melukai Abdi. Ternyata tadi malam ada penyusup masuk ke apartemen. Dan satu lagi, kita harus menjaga perasaan menantu kita. Bagaimanapun Arini itu sudah menikah, dan tidak boleh seenaknya saja dia mengundang laki-laki datang kesini. Dan seenaknya saja meminjamkan mobil mewah ku untuk pria keparat itu!"
Tak banyak bicara, Emi selaku istri hanya mengikuti semua keputusan sang suami, karena tidak ingin berdebat lagi.
Cukup lama Inem dan Susi melaporkan semua kegiatan Arini, sebelum membawa Abdi tinggal di apartemen mereka.
"Malam itu ada penyerangan di lantai 20, Tuan. Tapi untung ada Aa Abdi, jadi kami berhasil menyelamatkan diri untuk kabur ke sini. Setelah itu, kami tidak tahu Non Arini. Karena kami berdua sudah lari pontang-panting menuju apartemen ini," jelas Inem sambil menundukkan kepalanya.
Aldo hanya bisa membasahi bibir bawahnya, ketika mendengar semua penjelasan Inem dan Susi yang membuat dadanya benar-benar ingin meledak, karena menahan amarah. "Anak tidak tahu diri, pantas saja dia tidak pernah pulang ke Bandung. Ternyata dia juga yang telah memberikan mobil mahal ku pada Stevie ..." sesalnya dengan wajah menggeram kesal.
"Sudah Bik, kamu balik kerja lagi. Panggil Arini, bilang kalau kami ada di luar!"
Inem menundukkan kepalanya, dan langsung mengalihkan pandangannya kearah pintu, kemudian melangkahkan kakinya menuju pintu kamar pribadi anak majikannya.
Cukup dua kali Inem mengetuk pintu kamar dengan sangat pelan, sambil menempelkan daun telinga kanannya, hanya untuk memastikan bahwa kondisi didalam sudah aman.
Tapi Inem, justru tengah tertawa kecil, karena mendengar suara dessahan dan errangan dari balik pintu, membuat ia menghentikan ketukannya.
Inem langsung menundukkan kepalanya, ketika bersitatap dengan Emi, kemudian berkata perlahan, "Hmm, a-a-a-anu Nyonya. Eee i-i-itu ... kayaknya Non Arini bakal keluar kalau sudah selesai ehem. Bibik permisi dulu, Nyonya, Tuan!"
Aldo hanya bisa menahan tawa, mendengar penuturan Inem, yang membuat dirinya bisa bernafas lega. Menoleh kearah Emi, sambil berkata, "Bagaimana? Masih mau bawa Arini pulang ke Bandung? Dia lagi bahagia, kok. Malah kamu bilang dia sakit demam. Buat khawatir aku saja, laporan kamu sama Inem itu!"
Emi menganggukkan kepalanya, "Iya, kalau di sini Mama pusing. Bagus dia tinggal di Bandung sama besan kita. Toh Nak Abdi juga masih bisa bolak-balik Jakarta-Bandung. Biar ada yang nasehatin Arini, Pa. Kalau di sini, dia masih suka-suka banget hidupnya. Kalau di Bandung masih dalam pengawasan kita. Arini walau umurnya sudah 24 tahun, tapi sifatnya masih kekanak-kanakan, masih suka kasar, arogan, dan agh ...!"
Aldo mengerlingkan kedua bola mata, hanya mengusap lembut wajah tampannya, sambil berkata pelan, "Ya sudah terserah kamu saja. Papa lapar, tolong siapin makanan ya. Mau istirahat dulu, tadi malam pulang jam 04.00."
Melihat suaminya beranjak ke kamar mereka, yang telah dipersiapkan Susi, Emi langsung melakukan tugasnya, menyediakan masakan sesuai keinginan sang suami.
Namun, betapa terkejutnya Emi, ketika melihat sop buntut yang masih tersedia dalam panci presto dengan porsi yang cukup banyak.
Emi menunjuk kearah panci, menoleh kearah Inem yang tengah membersihkan cabe untuk di blender sesuai perintah majikan, "Bik, ini sop iga atau sop buntut?"
"Sop buntut, Nyonya."
Emi teringat akan sesuatu, karena dia selalu melakukan hal yang sama jika sang suami tercinta baru selesai melayani beberapa tamu untuk menikmati malam panjangnya sebagai pemilik club' malam ternama.
Lagi-lagi Emi menaikkan kedua alisnya, "Emang setiap malam Arini sering menghabiskan malam di club', Bik?"
Dengan cepat Inem menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan Emi dengan mengalihkan perhatian sang majikan karena tidak ingin Nona Arini mendapatkan pertanyaan bertubi-tubi dari Tuan Aldo nantinya.
"Enggak Nyonya. Tadi itu Aa Abdi yang minta buatkan, karena Neng Arini kurang enak badan. Jadi kalau kurang enak badan, biasanya pengen yang seger-seger. Ini Bibik mau buatin bakso ikan, karena Neng pengen banget bakso ikan, Nyonya." Bohongnya, tapi hanya di senyumin oleh Emi.
"Ingat ya, Bik. Kalau sekali saja kamu ketahuan berbohong sama, saya. Demi melindungi Arini, maka saya yang jamin kamu akan dipecat oleh Papa-nya. Jangan pernah berbohong, apalagi melindungi yang salah!"
Mendengar ancaman dari sang majikan, Inem hanya bisa tersenyum lirih, sambil melanjutkan aktivitasnya, mempersiapkan makan sore sesuai permintaan Emi juga Aldo.
Sementara di dalam kamar yang luas itu, dua insan yang saling mengucapkan kata benci dengan penuh amarah bahkan lebih menyeramkan, kini justru tengah terlelap, dalam satu selimut tebal setelah Abdi berhasil menenangkan Arini.
Perlahan tangan Abdi mengusap lembut punggung Arini yang sudah terlelap, "Aku tidak paham bagaimana perasaan ku saat ini, yang pasti aku sangat menyukai sentuhan mu, Rin ..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Tari Gan
jadi pen makan SOP buntut euy,mengbucin seketika euyy
2022-12-23
1
G-Dragon
ngomong-ngomong SOP buntut, emang enak seh 🤭🤭
2022-12-16
3
Chay-in27
sop buntut emang enak memulihkan stamina yang habis on 🤭🤭🤭🙄🙄🙄
2022-12-16
4