Malam Panas

Hari itu, pemakaman Feri berjalan dengan baik tanpa kendala suatu apa pun. Mayang termasuk wanita yang tangguh, dia tidak pingsan meski banyak menangis.

Dia bahkan bisa menghibur hati ibunya Feri, mereka saling menguatkan bagaikan ibu dan anak kandung.

Selesai pemakaman aku masih menemani Mayang mengadakan tahlilan dan yasinan di kediaman sahabatku itu. Selesai acara tahlilan dan yasinan aku membawa Mayang ke kamarnya dengan sangat hati-hati.

"Jane," Mayang memanggilku dengan nada suara yang amat lemah.

"Iya, May?" aku segera mendekatkan tubuhku ke arah Mayang yang sedang duduk di pinggiran ranjang tidurnya. dia lekatkan pandangannya ke arah mataku.

"Jangan berakhir seperti Feri, yaaaa!" mohon Mayang, nada bicaranya masih lirih sekali. "Aku nggak mungkin sanggup jika harus kehilangan kamu juga!"

Aku hanya menganggukkan kepalaku, meski aku tak bisa menjanjikan hal itu secara pasti. Melihat air mata Mayang menetes karena mengkhawatirkanku membuatku tak bisa menahan diri lagi.

Aku memeluk tubuh Mayang, mataku langsung berair dan aku menangis sekencang yang kubisa.

"Maafkan aku, Mayyyy!" kataku di sela isak tangis kami berdua. "Maafkan aku karena tak bisa melindungi Feri!".

Satu hal yang kupelajari dari kejadian Feri. Aku masih manusia biasa, aku masih bisa menangis jika sedih dan aku bukan wanita tanguh seperti yang orang lain pikir.

Aku tetap manusia biasa, hanya saja aku menjadi kejam karena merasakan rasa sakit yang amat mengerikan di masa lalu.

.

.

.

.

Aku langsung pulang ke kediaman Zidane setelah dari rumah Feri. Di parkiran aku bisa melihat jika Zidane sudah berada di rumah, karena mobilnya terparkir rapi di sana.

Aku malas berpikir banyak hari ini, jadi aku memutuskan segera masuk rumah, mandi lalu tidur.

"Astaga kau membuatku kaget!!!"

Aku dan Boby berpapasan di lorong antara kamar Boby dan kamarku.

"Kau yang membuatku kaget!" sahutku.

Mataku langsung tertuju pada tubuh Boby yang begitu kekar. Tubuh indah itu hanya terbalut handuk yang melilit pinggangnya.

"Wow!" ucapku tanpa sengaja.

Wanita mana yang tak tergiur melihat lelaki setinggi 180 CM dengan berat badan 75 kg dan semua berat itu hanya tulang dan otot.

Seketika Boby menutup dada bidangnya dengan kedua tangannya.

"Itu nggak berguna, aku sudah melihat semua!" ucapku, aku sengaja mengodanya.

Hari ini adalah hari terberat di hidupku, aku butuh humor agar moodku pulih lagi.

"Semua apa???" Boby terlihat syok.

Wajahnya yang terbingkai rambut pirang dan basah itu sangat tersipu, seperti baru kali ini ada wanita yang melihat tubuhnya.

"Paling tidak aku jadi tau! Untuk menjadi tangan kanan Pak Zidane, kau harus mengorbankan seindah ini juga!" ledekku sambil menatap tubuh Boby dengan tatapan penuh gairah.

"Maksud--mu???" Boby masih berusaha menutupi dadanya dengan kedua tangan kelarnya.

Aku melihat cukup banyak luka di tubuh kekar Boby, namun sepertinya luka itu sudah cukup lama.

"Selera Pak Zidane seperti ini yaaaa!? Ternyata dia suka main kasar, Nggak kaget sih! " aku masih meledek Boby.

"Nggak yaaaa... Pak Zidane nggak suka cowok, dia suka wanita!" Boby mencoba membela tuannya dengan sekuat tenaga.

"Kamu yakin???" aku masih ingin bercanda dengan Boby.

Wajah Boby seketika berubah menjadi kebingungan, tampaknya lima tahun mengabdi pada Mafia Itali itu, tak membuatnya tau orientasi seksual bosnya.

"Nggak--kan!" ternyata menyenangkan meledek Boby yang masih polos. "Mulai sekarang hati-hati memilih celana, jangan terlalu ketat!" kataku.

Aku mendekati tubuh Boby yang membeku, kutepuk salah satu pantatnya dua kali. Aku suka melakukan hal ini jika bercanda dengan siapa pun.

Boby juga masih membeku, meski aku melakukan hal itu. Apa lelaki ini benar-benar polos, atau memang nggak tau tentang hal-hal yang lagi boming.

Kurasa aku sudah cukup menghibur diri, melihat ekspresi di wajah Boby sudah bisa meredakan rasa sedih di hatiku. Jadi aku berjalan menuju kamarku dengan bahagia.

"Tidak... Tidak... Akkkkkkk!" gerutu Boby, lelaki pirang yang baru selesai mandi itu langsung berhambur masuk ke dalam kamarnya.

Aku hanya bisa tertawa tertahan melihat tingkah kekanakan Boby.

Apa sepanjang hidup Boby hanya belajar cara berkelahi, kenapa dia sampai tak bisa menilai kecenderungan seksual seseorang.

Setelah meletakkan tas dan jas di atas sofa satu-satunya di kamarku, aku berganti alas kaki lalu mengambil pakaian santai, aku ingin segera mandi.

Selesai mandi aku baru memeriksa ponselku, ternyata aku mendapatkan pesan singkat dari Zidane.

Aku menunggumu di kamarku

Aku melihat jam di dinding kamarku, angka menunjukkan jam 23:04. Apa yang akan dilakukan Mafia gila itu padaku, di tengah malam seperti ini. Kenapa isi pesannya sangat membuatku merasa merinding.

Apa aku kena karma karena menjailli Boby tadi. Wahhh ini tidak benar.

Aku terdiam beberapa saat, lalu berlari ke depan cermin. Aku mengenakan setelan baju tidur pendek, negara ini punya kelembaban yang cukup tinggi, bukan seleraku menghidupkan AC sepanjang malam. Aku lebih suka mengenakan pakaian minim tanpa menyalakan AC saat tidur.

"Apa aku harus ganti baju???" aku malah kebingungan sekarang.

"Enggak!!! Psychopath itu nggak akan bisa menyentuhku!" aku menguatkan diriku sebagai wanita lajang yang haus akan sentuhan.

"Tapi jika dia maksa! Gimana?!" otakku sudah tak berada di jalur yang lurus.

Keluntiangggggggg

Ponselku berbunyi dan membuatku kaget setengah mati.

Kubuka apa yang membuat ponselku menjerit lalu membautku hampir terjungkal karena kaget.

Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu

Ternyata Zidane masih menungguku. Apa yang harus kulakukan... Apa malam ini akan menjadi malam yang panas.

.

.

Udara di sekitarku terasa lebih panas dari biasanya, tubuhku seolah berada di fase kenaikan hormon padahal ini belum waktunya aku menstruasi.

Dadaku terus bergejolak sesak, serta tubuhku terasa sangat sensitif. Sedikit sentuhan saja membuatku merasa nyaman dan lengah.

Aku memaksakan mengetuk pintu kamar Zidane, setelah cukup lama mondar-mandir di depannya. Aku masih belum siap mempersembahkan tubuhku untuk Zidane, padahal aku sudah menyangka jika hal ini akan terjadi.

"Masuklah!" entah kenapa suara Zidane malam ini begitu seksi, padahal ada pintu kayu tebal yang menghalangi gemanya.

Dengan hati yang berdegup kencang aku membuka pintu kamar Zidane secara perlahan.

Mataku menelisik mencari bayangan sang empunya kamar, namun yang kudapati adalah keharuman. Bau harum mawar yang lembut membuat akal sehatku tak bekerja dengan benar.

Gila, ini benar-benar gila. Seharusnya aku berganti baju tadi, orang ini sudah mempersiapkan kamarnya dengan sedemikian rupa, sedangkan aku berpenampilan seadanya. Dia tak akan merasa terhina--kan???

Samar-samar aku mendengar langkah kaki dari arah kamar mandi, tak lama sosok itu sudah berada di hadapanku.

Dia masih mengenakan celana dan kemeja yang tadi pagi dia kenakan, aku faham karena kami bertemu sebentar di pemakaman Feri.

"Duduklah!" Zidane berjalan menuju sofa.

Dia duduk dengan sangat santai, dengan ekspresi datarnya yang menyeramkan tapi menawan.

Sebelum bergerak aku menghela nafasku panjang-panjang, aku tak ingin terjatuh karena gugup. Malam ini aku harus bisa memuaskan Zidane di ranjang, agar aku mendapatkan kepercayaannya.

Aku duduk di sofa untuk satu orang, agak jauh dari posisi duduk Zidane, karena aku tak mau terlalu mencolok. Sebenarnya aku juga sedang ketakutan, ketakutan jika aku tak bisa memaksakan diri melayaninya.

Sebab setelah kejadian itu, aku sama sekali tidak bisa bersentuhan intim dengan manusia mana pun.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!