"Pak Zidane nggak ke kantor?" tanyaku pada Boby.
Kami berpapasan dengannya di dapur saat aku akan ke kamar mandi.
Boby yang sedang merebus mie instan, terlihat terkejut karena kemunculanku yang tiba-tiba.
"Ehhhh Tuan Zidane..., ke kantor kok!" jawabnya. "Pagi tadi, dia berangkat sendiri!" lanjut Boby.
"Masih banyak pengawal lain, kenapa berangkat sendirian?" ucapku.
Aku bingung dengan tingkah Wakil Presiden Direktur Arkana Grup itu. Sepertinya hanya Boby yang bisa bebas berkeliaran di sekitar Zidane. Tapi pengawal yang lain tampaknya hanya dibuatnya sebagai pajanan, sementara Zidane punya puluhan pengawal yang handal.
"Tuan Zidane tak suka berada di sekitar orang yang tak ia kenal! Apa lagi orang baru! " jawab Boby.
Aku berjalan ke arah kulkas yang letaknya tepat di belakang tubuh Boby. Aku mengambil sebotol air mineral dingin dan segera menegaknya.
"Hanya kau yang dia percaya?" tanyaku pasa Boby setelah selesai meminum airku.
"Begitulah!" ucap Boby sangat bangga.
Bagaimana tidak membesar kepala Boby, dia hanya satu-satunya anak buah yang Zidane percaya di dunia ini. Dari sekian banyak anak buah yang Zidane punya, jadi dia boleh bangga karena hal itu.
"Lalu kenapa kau tak mengikutinya ke kantor?" tanyaku.
"Kau tak lihat aku juga baru bangun?!" Boby menunjukkan muka bantalnya.
Meski sudah harum karena mandi dan berganti dengan pakaian kerjanya, wajah Boby masih terlihat bengkak sedikit.
"Malas sekali kau!" seru--ku.
"Tuan Zidane tuh orang yang mandiri! Dia bisa kekantor sendirian tanpa pengawal! Nggak kayak kakaknya, ke kantor aja dikawal orang se RT!" kelakar Boby, pengawal kepercayaan Zidane ini mengejek Pak Jendral.
Memang benar ucapan Boby barusan, puluhan pengawal pasti akan berjaga kemanapun Jendral Arkana pergi. Untuk urusan keamanan Jendral Arkana memang sangat berlebihan.
Tapi Boby ini juga tipe manusia yang tak punya pendirian, kemarin dia Menjelek-jelekan Zidane sekarang dia memuji bosnya itu, benar-benar sangat labil.
"Ngomong-ngomong kamu nggak merasa demam atau pusing?" tanya Boby.
"Tidak!" jawabku. "Semalam bukan pertama kalinya, aku melihat bajingan gila itu membunuh manusia dengan amat leji!" gumamku sambil berjalan ke kamar mandi.
"Jika kau merasa tak enak badan, aku bisa mengantarmu ke dokter!"
Ternyata Boby lelaki yang penuh perhatian pada rekan kerjanya, tapi aku tak merasa jika tubuhku sakit. Aku memang punya kelainan mental, setelah kejadian kemarin saja badanku masih sehat walafiat.
,
.
.
.
.
Semua keluarga konglomerat pasti punya setidaknya satu tim sapu bersih seperti Tim Alpha.
Tak ada pengusaha besar yang bersih dari akar sampai kepala, karena salah satu kunci menjadi kaya itu adalah pura-pura buta.
Mereka tau tindakan mereka ilegal tetapi tetap harus dijalankan untuk mempertahankan perusahaan.
Menyuap angota pemerintahan adalah salah satu hal kecil yang menjadi budaya di negara ini. Jika tak disuap maka perjalanan kedepannya akan lebih susah dan rumit.
Apalagi perusahaan sebesar Arkana Grup ini, mereka melakukan penyelundupan barang-barang impor dan ekspor. Bahkan berberapa kali aku pernah ditugaskan mengawasi pengiriman senjata api ilegal.
Jika tak ada Tim Sapu Bersih yang selalu siaga untuk menutupi transaksi semacam itu, mungkin tak akan pernah ada perusahaan yang bisa berkembang menjadi besar.
Selain menutupi transaksi ilegal, ada satu lagi kegunaan Tim Sapu Bersih ini, yaitu sebagai kambing hitam dan tumbal kejahatan.
Para keluarga konglomerat harus mempunyai tangan suci yang bersih. Mereka tidak boleh diidentifikasi sebagai orang jahat. Meski kelakuan mereka melebihi iblis, tetapi masyarakat harus mengenal mereka seperti malaikat.
Semua itu tugas Tim Sapu Bersih yang tak bisa dihindari. Menjadi kambing hitam atau tumbal kejahatan seperti Feri, jika tak bisa menyelesaikan tugas. Atau menjadi seperti aku yang semakin patuh seperti seekor anak anjing.
Bertahan di Tim Alpha milik Arkana, bukan sebuah hal yang mudah. Karena kami punya alasan masing-masing yang tak biasa, jadi kami tetap di sini sampai sekarang.
Anggota inti Tim Alpha hanya ada empat orang. Diketuai oleh Kak Brian, aku sebagai Wakil menguasai Tim pengacara, Meri penguasa ruang Monitoring, Alan ketua Tim keamanan.
Kami berempat memang memegang masing-masing bagian yang berbeda-beda, tapi kami saling berkoordinasi.
Kak Brian mempunyai akses langsung dengan anggota keluarga Arkana serta memberi perintah mutlak pada anggota Tim Alpha serta bawahannya.
Aku bisa disejajarkan dengan direktur perencana, hampir semua khasus Keluarga Arkana selesai karena rencana busukku. Setelah itu Kak Brian akan akan membagi tugas pada Tim Pengacara, Monitoring dan Keamanan sesuai dengan rencana yang kubuat.
Tim Monitoring mendapatkan bagian sebagai pengumpulan informasi akurat. Tim keamanan akan menjaga kondisi dan rencana tetap stabil. Sementara Tim Pengacara akan mengeksekusi rencana secara hukum.
Semenjak Zidane datang ke Indonesia, orang itu merombak berbagai sistem di Arkana Grup. Namun lelaki tirani itu tak pernah menyentuh Tim Alpha.
Mungkin karena Kak Brian adalah sahabat Zidane sejak kecil, kabarnya mereka tumbuh dewasa bersama.
Zidane memang terlihat brutal, tak perhitungan dan gegabah. Tetapi dia lebih jeli dari siapa pun, aku baru menyadarinya sekarang.
Feri adalah sebuah ujian untukku darinya, aku yakin itu. Tirani itu pasti akan membuangku jika aku tak bisa membereskan masalah Feri.
Tugas pertamaku hanya membuat perencanaan tentang Anggota Pimpinan Arkana Tambang yang korup, tanpa dipercaya eksekusi secara langsung.
Lalu yang kedua adalah khasus pembunuh yang dilakukan oleh Pak Jendral. Tentu saja tugas ini tak punya hubungan langsung dengan Zidane.
Aku bisa membaca apa yang diinginkan Zidane terhadapku. Dia ingin aku mempunyai pemikiran seperti dia, dia ingin aku menjadi psychopath seperti dia.
Apa aku bisa melalui ujian ketiga darinya???
Kira-kira ujian apa yang akan dia berikan padaku, kali ini...
.
.
.
.
Setelan jas serba hitam, sepatu dan tas dengan warna yang sama sudah kukenakan. Aku tak merias wajahku secara berlebihan, sebab aku harus datang ke acara pemakaman Feri.
Mayang menghubungiku, setelah jenasah Feri tiba di rumah sakit. Wanita yang kurengut nyawa suaminya itu memintaku datang, karena keluarganya belum ada yang sampai di Jakarta.
Aku masih punya muka untuk datang... Tentu saja, aku sudah terbiasa dengan hal semacam ini. Berlagak bodoh adalah sebuah hal yang kupelajari dengan sangat baik, dari keluarga Arkana.
Berakting sedih di depan pemakaman orang yang kubunuh, adalah sebuah rutinitas yang tak bisa ku hindari.
.
.
Saat aku sampai di rumah sakit, ternyata jenasah Feri sudah selesai di Outopsi. Aku sekilas melihat salah satu pengawal Zidane keluar dari rumah sakit, tepat diparkiran rumah sakit.
Pengawal itu pasti ditugaskan untuk mengawasi proses evakuasi dan juga Outopsi para korban. Ternyata Zidane lebih pintar dan jeli dari dugaanku.
Kupikir kepintaran dan kejelianku bermanfaat untuknya, ternyata tidak. Orang itu bahkan lebih pintar dan jeli dari pada aku.
.
.
.
.
Aku menemani Mayang di mobil ambulans. Sangat tak tega melihat ibu hamil duduk di ambulans untuk mendampingi jenasah suaminya.
Rasanya aku ingin mengakui semuanya pada Mayang. Aku ingin bilang jika kematian Feri bukanlah kecelakaan. Tetapi aku takut, jika nanti Mayang malah tak bisa hidup tenang karena mengetahui kebenaran itu.
"Jane, apa Feri mengatakan sesuatu padamu sebelum dia meninggal?" tanya Mayang.
Deru lembut mobil ambulans yang berjalan kencang, di iringi sirine yang memekakan telinga, berbunyi tanpa henti.
"Tidak!" aku berbohong.
"Aku nggak tau Jane!" Mayang terisak lagi, padahal baru saja dia berhenti menangis.
"Aku binggung harus bagaimana tanpa Mas Feriiiii!" isakan tangis Mayang makin menjadi.
Aku tak bisa berkata apa-apa pada Mayang, aku hanya bisa memeluknya, memberi sedikit kehangatan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments