Pesan Singkat

Aku mengambil kedua ponsel yang disodorkan oleh Boby. Memangnya aku bisa apa selain menuruti perintah Zidane.

Ternyata aku lebih penakut dari Feri, aku bahkan tak berani melawan Arkana yang jahat.

.

.

.

.

Langit malam yang cerah karena bulan purnama masih menghiasi langit malam ini. Tak bisakah wahai sang bulan, kau membaca suasana hatiku.

Paling tidak buatlah sedikit awan menutupi cahayamu, agar mataku tak begitu jelas melihat kenyataan ini. 

Apa ini sebuah lelucon bagimu, kau menertawakan--ku, mencemooh--ku. Aku memang pantas kau tertawakan dan kau cemooh, tapi jangan sekarang---jangan malam ini.

Berulang kali aku mengalami kegagalan, tetapi ini adalah kegagalan terburukku. Aku tak bisa melindungi orang yang kuanggap penting.

Aku seperti sedang naik ke tangga yang benar, namun tangga itu terbuat dari kayu yang penuh dengan paku. Mau-tak mau aku harus melewati tangga ini, aku harus bisa menahan rasa sakit tertusuk paku jika ingin sampai di atas.

Ini memang tidak adil. Sebuah keterpaksaan yang dipaksakan.

.

.

.

.

Semburat cahaya lampu menerangiku, aku duduk di salah satu kursi meja makan berhadapan dengan dua laptop. Aku tak sempat berganti baju ataupun sekedar membersihkan diri. Aroma keringat di tubuhku bahkan bisa kucium sendiri.

Mataku menelisik, merangkai rencana. Gemeratak tombol laptop berdesir nyaring karena 10 jemariku menari dengan indah di atasnya.

Apa pun, suasana hatiku, keadaan bumi, orbit, asteroid, aku harus melindungi nama baik Arkana. Jiwa dan ragaku, seolah sudah menjadi tawanan mereka.

Sangat mengagumkan, ternyata aku menikmati setiap kejahatan yang kulakukan untuk Arkana.

Sebenarnya aku adalah orang jahat dan Arkana hanya kujadikan tameng. Mungkin lebih baik disebut begitu.

Aku tak ingin jadi orang yang munafik di hadapan kalian. Yappp aku penjahat juga, karena itu aku bisa bertahan di Tim Alpha milik Arkana sampai selama ini.

Julukan--ku adalah Anjing pelacak Arkana, karena aku pandai mencari celah agar Arkana lolos dari hukuman atas kejahatan yang keluarga Arkana lakukan.

..........

Mataku sudah amat perih tapi aku harus menyelesaikan hal ini, malam ini juga. Aku tak ingin ada waktu terbuang, karena terlambat sedikit saja bisa mempengaruhi hasil.

Beberapa pesan obrolan dan lokasi di kedua ponsel milik Feri dan Dinan telah ku--ubah sedemikian rupa. Kalau hanya hal semacam itu bisa kulakukan sendiri, meski dengan bantuan laptop khusus yang dibuat oleh mantan anggota Tim Alpha bernama  Xia.

Xia adalah peretas handal yang pernah dimiliki oleh Tim Alpha.

Mengubah beberapa data di sebuah ponsel tanpa jejak sedikit pun, bukan masalah besar jika ada laptop rakitan peretas terhebat di dunia.

Tak lupa aku juga memberikan sebuah *******, agar pembunuhan yang dilakukan Zidane malam ini tak bisa dicium oleh siapa pun.

Bahwasanya Dinan bukan orang bodoh yang hanya bermodalkan kenekatan. Sekertaris Jendral Arkana itu cukup pintar, dari beberapa pesan singkat dan riwayat panggilan di ponselnya. Aku menemukan jika Dinan berkerja sama juga dengan pihak kepolisian.

Angota kepolisian mempunyai intuisi yang lebih tajam dari pada rakyat biasa, karena hal ini aku harus sedikit hati-hati. Aku tak mau pihak kepolisian mencium pembantaian yang dilakukan Zidane malam ini.

Satu-satunya cara agar polisi tak dapat mengusut pembantaian malam ini, hanyalah dengan memalsukan pembunuhan malam ini. Feri dan Dinan harus terlihat, seperti bunuh diri karena tekanan mental atas kematian Sandiana.

Menghilangkan beberapa bukti yang mengarah ada Arkana dan mengiring opini Polisi dan publik, agar mereka percaya jika Dinan dan Feri bunuh diri.

Paling tidak, aku harus menyediakan bukti jika keduanya bunuh diri. Dan kematian meraka tak ada hubungannya dengan Arkana.

Setelah memanipulasi ponsel Dinan dan Feri, selanjutnya aku membuat surat bunuh diri untuk mereka.

Aku memikirkan sebuah sajak dengan nuansa putus asa yang kental. Aku harus membuat, seolah Dinan bunuh diri karena Dinan adalah pembunuh Sandiana.

Setelah berpikir cukup lama, aku menemukan sajak yang tepat.

Setiap manusia menyimpan luka masing-masing dalam dirinya, dan terkadang ada beberapa orang yang memilih pura-pura menjadi kuat dan tegar agar tidak terlihat lemah.

Kupikir aku seperti itu.

Maaf jika aku sudah tak bisa pura-pura kuat dan tegar.

Aku sudah tidak bisa disebut manusia lagi.

Karena cintaku padanya, membuat ku bodoh dan buta.

Sehingga aku telah membunuh Sandiana karena tak bisa memilikinya, lalu aku melempar kesalahanku itu pada orang lain.

Maafkan aku Sandiana, aku akan menyusulmu.

Aku akan menepati janjiku, aku akan menemanimu di sana dan tak akan ada lagi yang memisahkan kita.

Aku memposting tulisan itu di akun instagram milik Dinan, agar semua orang bisa melihat.

Khasus Pak Jendral juga bisa ikut terselesaikan karena hal ini.

Sementara di ponsel Feri, aku hanya mengirim pesan singkat pada Mayang.

Tanganku gemetar karena aku masih merasa bersalah, meski sebenarnya aku tak punya salah. Feri yang memutuskan menyerahkan diri pada Zidane, bukan aku yang mendesaknya.

Ingat saat kali pertama kita bertemu???

Aku mengetik tulisan itu sambil mengingat kembali, bagaimana Mayang dan Feri bertemu. Aku memang tak melihat secara langsung, tapi Feri langsung cerita padaku setelah dia melihat Mayang dan jatuh cinta.

Aku langsung jatuh cinta padamu!

Tapi aku tak punya keberanian untuk menyapamu...

Seperti hari ini, aku masih pengecut seperti waktu itu...

Aku hanya bisa minta maaf padamu, karena jatuh cinta padamu...

Jaga dirimu baik-baik, dan anak kita.

Air mataku hampir menetes dari kelopak mataku, saat aku menulis pesan singkat Feri untuk Mayang.

Mental baja yang kumiliki ternyata masih punya celah, jika terus begini aku tak akan bisa mencapai tujuanku.

Bagaimanapun aku harus tetap berdiri dengan teguh, aku harus hidup dengan hati yang mati. Jika ingin membunuh orang itu.

Aku tak bisa terus dikendalikan oleh emosi sesaat. Karena aku dendam pada seseorang yang bahkan tak bisa disentuh oleh pihak berwajib.

Orang itu pasti bukan manusia biasa, orang itu pasti punya cukup amunisi. Jika tidak, usahaku selama ini untuk membalaskan dendamku tak akan sia-sia begini.

Aku harus siap dengan jutaan kemungkinan yang mengerikan jika ingin menghadapi orang itu.

Menangani Feri memang menguras emosiku, tapi aku yakin ini hanya hal kecil jika dibandingkan dengan dendamku pada orang itu.

. ......

"Kau belum tidur?" tanya Boby.

Lelaki gagah berambut pirang itu baru saja memasuki rumah kami. Aku menyebutnya begitu saja, kami juga hanya tinggal berdua saja di satu atap ini.

"Apa Pak Zidane sudah selesai?" tanyaku pada Boby.

Boby mengelengkan kepalanya, pertanda pembantaian itu belum ada tanda-tanda akan selesai dalam waktu cepat.

"Apa yang dilakukan Pak Zidane pada mereka? Jika tubuh mereka hancur, akan susah membuat alibi jika kematian mereka bukan bunuh diri!" ucapku kesal.

Boby yang awalnya akan duduk di depanku, membeku sebentar lalu dia menghala nafas untuk menyetabilkan diri.

Lelaki ini sepertinya kaget dengan perkataanku barusan.

"Biasanya Tuan Zidane akan selesai menjelang subuh!" ucap Boby dengan nada bicara yang sedikit kesal.

"Bilang padanya, jangan terlalu merusak tubuh keduanya!" perintahku pada Boby.

"Kalau kau tak takut! Masuk saja ke Ruang Labirin dan katakan sendiri pada Tuan Zidane!" Boby menantangku.

Wajahnya yang biasa tegas, berubah bergidik karena merasa ngeri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!