Hasil buruan???
"Dua tikus busuk yang kita buru sudah ada di sini! Apa kau tak ingin melihat nafas terakhir mereka?!" lanjut Zidane.
Dua Tikus???
Apa usahaku sia-sia???
Zidane menyebutkan dua tikus, hal itu mengarah pada dua penghianat Arkana yang dia incar beberapa hari ini yaitu Dinan dan Feri.
Bagaimana Feri bisa berada di tangan Zidane, usahaku menyembunyikan dia ternyata sia-sia saja.
Pikiran dan juga rasa cemasku berkecamuk tak karuan, seketika aku bingung serta menjadi bodoh. Rasa khawatir sudah memenuhi seluruh otakku dan hatiku.
Jika salah satu diantara dua tikus yang disebut Zidane adalah Feri, maka Mafia gila itu pasti memburu Feri sendiri. Ternyata Zidane tak pernah mempercayaiku.
Satu hal yang harus menjadi pegangan dalam kehidupan ini 'Jangan pernah percaya pada siapa pun, bahkan dirimu sendiri'. Tapi aku melupakan istilah itu untuk sesaat, padahal tak sehari pun aku begitu mudah percaya pada seseorang. Namun Zidane membuatku mempercayainya, membuatku tunduk padanya dalam sekali pandangan.
Aku tak boleh menyerah begitu saja. Ini hidupku hanya aku yang bisa menentukan arah, kemana kakiku akan berjalan.
Aku langsung menginjak gas di mobilku, ku pacu kuda besiku untuk segera ke rumah Zidane.
Aku harus menghalangi, tirani itu melukai sahabat baikku.
.
.
.
.
Tak ada aturan yang ku--anut, jika aku dalam kondisi seperti ini. Kecepatan maksimal ku--kerahkan tanpa peduli, apa--kah yang kini kulalui adalah jalan untuk pengendara mobil atau bukan.
Aku harus sampai di kediaman Zidane, secepat yang kubisa. Jika tidak-- mungkin nyawa sahabatku itu akan berpindah alam, malam ini juga.
Bukan kali pertama aku berkendara ugal-ugalan di tengah kota yang sedang padat akan kendaraan. Jadi aku bisa mencari celah dengan mudah, apa lagi pengetahuanku tentang seluk-beluk jalanan di Jakarta sudah melebihi level Dewa.
Secepat yang kubisa, akhirnya aku sampai di rumah Zidane yang mirip sarang hantu.
Aku memarkirkan mobilku dengan serampangan, tanpa rasa takut aku langsung turun dari mobilku.
Di sana Boby sudah menungguku dengan senyuman yang amat manis.
"Kau hebat banget, Jane!" tegurnya dengan penuh antusias.
"Dimana mereka?" aku langsung mengajukan pertanyaan pada Boby.
Dadaku sudah tak bisa menampung, kobaran kegelisahan lagi.
"Mereka di Ruang Labirin!" kata Boby.
"Ruang Labirin?" aku bingung dengan jawaban Boby, jadi langkahku berhenti tepat di depan lelaki berambut kuning cerah itu.
"Di halaman belakang!" senyum Boby seketika menghilang dari wajahnya, karena melihat amarah di dalam diriku.
Otakku sudah tak bisa kugunakan untuk berpikir lagi. Jika itu halaman belakang, maka harusnya tempat itu berada di belakang rumah Zidane.
Langkahku segera menyerbu, menelusuri bangunan megah rumah Zidane. Melewati rumah yang kutempati dengan Boby.
Benar saja, aku bisa melihat sesuatu di kejauhan.
Halaman belakang rumah Zidane sangatlah lebar, dihiasi hamparan rumput Jepang yang indah. Beberapa lampu neon menerangi setiap sudut taman belakang itu.
Aku hanya fokus berlari menuju cahaya maram sebuah lampu di ujung halaman. Beberapa langkah saja aku maju, mataku bisa melihat lebih jelas. Siapa saja dan apa saja yang ada di depanku.
Dua orang pria dengan rambut lepek penuh keringat, wajah pucat yang tak ada harapan. Tubuh keduanya bersimpuh di depan lelaki gila yang bernama Zidane Arkana. Wakil Pimpinan Arkana Grup itu masih mengenakan kemeja putihnya, celana dan sepatu pagi tadi.
Zidane terlihat tak ada persiapan untuk menyiksa kedua mangsa di depannya. Namun di samping mereka bertiga ada sebuah meja dengan beberapa benda. Benda biasa, tapi tak lazim berada di sana dengan situasi semacam ini.
Palu dengan berbagai ukuran, lingis berukuran sedang, celurit tajam, berbagai jenis pisau yang tak bisa ku sebutkan jenisnya.
Membayangkan penganiayaan macam apa saja yang akan diterima oleh dia orang itu, membuatku mau muntah. Jika sampai Zidane menguliti mereka hidup-hidup, Zidane memang bukan manusia.
"Bagaimana jika, anda langsung bunuh mereka dengan sekali tembakan?!" nada bicaraku bergetar dan tergagap.
Wajahku sudah dingin karena keringat dan tubuhku kelu karena bayangan penyiksaan yang harus dihadapi oleh Feri dan Dinan.
"Itu tidak asik!" ucap Zidane santai.
Mata indah yang kini jadi menyeramkan itu menatapku dengan tajam. Seolah sedang mengancamku untuk 'diam saja, jangan melakukan apa pun atau kau yang akan mati'.
Siapa yang berani berkutik di situasi semacam ini. Apa lagi diriku ini adalah seorang yang egois, tak mungkin bisa aku menyerahkan diri untuk menggantikan hukuman mati sahabatku.
Aku bukan malaikat atau super hiro, apa lagi wanita gila yang penyabar seperti di banyak tulisan novel online. Aku hanya seorang wanita biasa yang hidup karena sebuah ambisi.
"Kalian berdirilah!" ucap Zidane.
Dengan berat dan tampak kesakitan, Dinan dan Feri berdiri dari jongkok mereka.
"Ambilah! Masing-masing satu!" Zidane menunjuk meja yang di samping yang penuh senjata tadi.
Aku masih tak mengerti, apa yang akan dilakukan Zidane pada kedua manusia di depannya.
Mau-tak mau Feri dan Dinan menuruti perintah Zidane.
Dinan maju duluan, sekertaris pribadi Pak Jendral itu tampak tergesa namun sangat percaya diri saat mengambil palu berukuran sedang di atas meja. Tak butuh waktu lama Feri juga mengikuti langkah Dinan tanpa melihatku sedikit pun, Feri dengan gegabah mengambil pisau.
Kenapa dia mengambil itu, dia bahkan belum pernah mengupas buah sekalipun dalam hidupnya. Kenapa mengambil benda yang bukan keahliannya.
Terlihat jelas jika Feri tak menginginkan bantuanku lagi, lelaki itu bahkan tak mau menoleh sejenak saja ke arahku.
"Temanmu datang sendiri ke sini" ucap Boby yang sedari tadi diam di sampingku.
Aku tak bisa berkata apa pun, ternyata Feri lebih memilih mati. Lelaki penuh perasaan itu pasti tak ingin aku atau keluarganya menanggung kesalahannya.
"Masuklah!" Zidane menyuruh Dinan dan Feri masuk ke sebuah pintu dengan begitu sopan.
Kupikir sudah tak ada apa pun di ujung taman belakang kediaman Zidane ini. Tapi tampaknya ada sesuatu di balik tembok besar yang mengelilingi rumah tirani ini.
"Itu Ruang Labirin!" ucap Boby. "Tak ada satu orang pun, yang bisa keluar dari sana dalam keadaan hidup kecuali Tuan Zidane!
"Biasnya setelah dikeluarkan, jasat mereka juga sudah hancur!" lanjut Boby.
Aku menoleh sejenak ke arah Boby, kupandang dia dengan tatapan sedih. Harusnya dia tak memperburuk suasana hatiku saat ini.
"Akhhhkk!" Zidane merenggangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. menggoyang-goyangkan pergelangan tangannya, seolah sedang melakukan pemanasan sebelum berolahraga.
Lalu lelaki itu masuk mengikuti Feri dan Dinan ke dalam ruang rahasia di belakang pagar halaman belakangnya.
Nyaliku ternyata sekecil noda hitam di ujung kuku jari kelingkingku, aku bahkan tak punya keberanian untuk menyusul mereka memasuki ruang labirin Zidane.
"Lakukan tugasmu!" ucap Boby.
Lelaki berambut kuning cerah itu tersenyum padaku, dia menyodorkan dua buah ponsel padaku.
Aku menghela nafasku dengan kasar, ku kibas-kibaskan kedua tanganku ke arah wajahku agar air mataku tak ada yang jatuh ke tanah.
"Paling tidak, kau bisa menenangkan keluarga sahabatmu!" ucap Boby.
Boby ada benarnya juga, aku tak mungkin tak menutupi penyebab kematian Feri. Karena jika tidak, keluarga Feri mungkin bernasib sama dengan Feri.
Aku harus meredam amarah keluarga Feri, agar mereka tak terkena imbas dari kesalahan yang sudah Feri perbuat pada Keluarga Arkana.
Aku yakin, Feri menginginkan hal itu.
Jika tidak, mana mungkin orang sepenakut Feri datang sendiri ke sarang harimau buas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
༄ᴳᵃცʳ𝔦εᒪ࿐
kebiasaan gonta-ganti judul 😌
ampir aja gue hapus dari favorit 🤣🤣🤣
2022-12-30
1