Kematian Feri

Perawakan besar, pandai berkelahi dengan senjata ataupun tidak, penembak yang tak pernah gagal. Sosok tangan kanan Zidane memang bukan manusia biasa.

Namun aku tak menyangka jika Boby mempunyai rasa takut yang amat sangat pada Zidane.

Apa Boby pernah disiksa oleh Zidane atau semacamnya. Bukankah harusnya Boby lebih punya keahlian bela diri yang mematikan dibanding Zidane.

Entahlah mungkin mereka berdua punya rahasia terpendam yang sulit dijelaskan.

Boby masih berlagak seperti baru pertama melihat kapitalis Zidane, dengan lagaknya yang sok baik itu dia mengambil beberapa botol air mineral dari dalam kulkas.

Tak ada tanda-tanda Boby akan menuruti perintahku untuk menyampaikan pesanku pada Zidane, membuatku berdiri dari tempat duduk--ku dan segera keluar dari rumah yang kutempati.

Langkah kakiku cukup tergesa, namun ada perasaan takut yang masih menyelimuti hatiku.

"Sebaiknya kau di dalam saja!" Boby menghalangi langkahku dengan menarik salah satu pergelangan tanganku.

"Akan kusampaikan pada Tuan Zidane! Tapi jangan keluar dari rumah sebelum semua ini selesai!" ucap Boby.

Aku hanya bisa memandang ke arah Boby dengan perasaan yang campur aduk.

"Jangan sok kuat, jika merasa sakit kau bisa menangis dan mengutuknya!" lanjut Boby.

Bibirku diam seribu bahasa, bola mataku sudah bergetar dan basah. Aku memang ingin menangis dan mengutuk Zidane sepuas hatiku, tapi siapa yang bisa ku--pinjami bahunya untuk bersandar di kala berat seperti ini.

Orang di depanku ini adalah tangan kanan Zidane, aku tak boleh keliatan lemah di hadapannya. Karena jika aku menunjukkan kelemahanku, orang ini pasti akan menusuk--ku dari belakang nantinya.

Belum sempat aku mengatakan apa pun, aku mendengar sebuah suara pintu besi terbuka dari arah Ruang Labirin milik Zidane.

Samar-samar aku bisa melihat sosok Zidane yang gagah perkasa, dengan tubuh penuh percikan darah. Kemeja putih yang Zidane kenakan pagi tadi sudah berubah berwarna merah, hanya sedikit bagian yang masih putih.

Lelaki itu keluar dari sana tak hanya sendiri, dia membawa salah satu tubuh buruannya malam ini dengan cara ia seret, seperti bangkai anjing.

Tubuhku langsung bergetar hebat karena aku mengenali pakaian yang dikenakan oleh seseorang yang diseret Zidane dari dalam Ruang Labirin--nya.

Di tengah gejolak hatiku, karena pemandangan yang kulihat. Dengan sigap Boby menarik--ku ke dalam dekapan dadanya yang amat bidang.

"Kau tak perlu melihat ini," bisik Boby.

Kenapa Feri harus mati dengan cara paling mengerikan?

Feri bukanlah lelaki jahat, dia malah terlalu baik. Tetapi kebaikannya selama ini malah membawanya pada Zidane sang Mafia kejam.

"Jane! Kemari--lah!" Zidane memanggilku dengan suara parau.

Pasti capek, menghajar dua manusia dalam waktu singkat.

"Harusnya kau tetap di dalam, seperti ucapanku tadi!" Boby sedikit menekan suaranya, sehingga nada penyesalan terdengar jelas dari kalimat yang dikatakan Boby barusan. Seolah dia tau apa yang kini berkecamuk di hati dan pikiranku.

Entah keberanian dari mana, aku akhirnya membalikkan tubuhku meski Boby menghalangiku.

"Kau tak perlu memaksakan dirimu, Jane!" ucap Boby kedua tangannya mencengkram bahuku, memintaku untuk tak membalikan tubuhku ke arah Zidane.

Aku tak menjawab, dan aku tetap memberontak. Aku akan mengahadapi ini semua. Jika aku bajingan, Feri harus tau sebelum kematiannya. Jika teman yang dia percaya selama ini, hanyalah seorang bajingan yang tak tau malu.

Langkah kakiku terasa amat berat ketika aku melangkah ke arah Zidane dan Feri. Aku terus memaksa hati dan pikiranku untuk fokus dan tenang.

Jika aku ingin balas dendam pada orang itu aku harus menjadi lebih kejam dari pada orang itu.

Gambaran-gambaran kekejaman orang itu mulai berputar di dalam otakku. Penyiksaan dan pelecehan yang kualamai, sampai aku harus menjalani setahun perawatan di rumah sakit. Semua itu berputar jelas di benakku sekarang.

Semua hal itu membuatku sadar. Jika aku bisa melepaskan apa pun didunia ini, tapi aku tak bisa melepaskan dendamku pada orang itu.

Aku pasti akan membunuh orang itu, aku akan membuat orang itu merasakan apa yang pernah dia perbuat padaku.

Langkahku semakin kuat, aku bisa berdiri tegak di hadapan Zidane yang tersenyum menyeringai kepadaku.

"Dia bilang, ada yang ingin dia ucapkan padamu!" kata Zidane, dia menunjuk Feri yang tersandar di dekatnya.

Dari ujung kaki hingga ujung kepala Feri basah oleh darah. Nafasnya sudah melambat. Tubuhnya yang biasa lincah terlihat sangat lemas. Matanya berbinarnya, menyurut menjadi abu-abu.

Feri berusaha berbicara padaku, tapi suaranya sangat lemah.

Aku segera berjongkok di depan Feri, ku dekatkan wajahku ke arah sahabatku itu.

"Iniiii bukan salahmu!" suara Feri amat lemah dan bergetar. "Ini adalah pilihanku sendiri!".

"Tolong jaga Mayang dan putraku!" kata Feri, dan ini kata-kata terakhirnya.

Aku termenung tak bisa bergerak, ucapan Feri sama sekali tak menyalahkanku atas kematiannya hari ini.

Apa aku memang tak bersalah, atau Feri yang selalu menganggapku sebagai teman terbaiknya.

"Bodoh!" bisikku pada Feri.

Tapi penyesalanku sudah amat terlambat.

"Jane! Apa kau ingin mencobanya?" Zidane membuyarkan kesedihanku.

Aku langsung mendongak, kupandang wajah tampan Zidane yang berlumuran darah segar.

"Tidak!" ucapku sarkas.

Aku segera berbalik ingin meninggalkan Zidane. Tak mungkin aku bisa menahan emosiku di depan pembunuh sahabatku.

"Apa kau tak mau membalasnya?" tanya Zidane padaku.

Langkahku terhenti sejenak.

"Pria yang satunya!" kata Zidane. "Ternyata dia amat sangat ingin hidup, sampai-sampai menghabisi temanmu dengan cara mengenaskan seperti ini!" ucap Zidane dengan senyum yang membuatku mengila.

"Dia memukuli sekujur tubuh sahabatmu dengan palu kecil yang ia bawa! Semua tulangnya pasti sudah hancur!" lanjut Zidane.

Orang ini sedang berusaha memprovokasiku.

"Tolong jangan terlalu menghancurkan mayatnya, karena akan susah bagiku untuk membuat alibi!" kataku.

"Bunuh dia!" perintah Zidane padaku.

Aku memutar tubuhku, kembali kulihat sosok psychopath yang sedang tersenyum menyeringai.

Zidane perlahan berjalan ke arahku, dia meraih tangan kananku lalu dia memberiku sebuah pistol yang berlumuran darah segar.

"Balaskan dendam temanmu!" ucap Zidane dengan sorot mata yang berbinar.

Aku memandang pistol di gengamanku dengan pikiran yang berkecamuk.

Apa aku bisa membunuh seseorang?

Apa aku sanggup membunuh?

Aku harus bisa membunuh!

Dan ini adalah sebuah kesempatan bagiku,

Aku bisa menguji kemampuanku...

Dinan aku harus bisa membunuhnya!!!

"Masuklah!" ucap Zidane.

Psychopath itu menyuruhku memasuki ruang labirin, sebab di dalam sana Dinan pembunuh sahabatku, berada.

Ada beberapa hal yang selalu kupikirkan akhir-akhir ini, membunuh seseorang adalah salah satunya.

Aku berharap punya seseorang selain orang itu, yang dapat kubunuh. Setidaknya aku harus membunuh satu manusia dengan tanganku sendiri, sebelum bertemu dengan orang itu. Tapi sepertinya aku belum siap, aku belum siap menjadi pembunuh.

Dosa Dinan memang tak bisa dimanfaatkan karena telah menyeret Sandiana dan Feri ke kematian. Tetapi lelaki itu tak bisa kuhakimi begitu saja, Dinan melakukan semua itu karena dia orang yang baik.

Dinan ingin menghukum Jendral Arkana, tapi dia lupa. Sebuah batu yang ia lempar itu, tak akan membunuh seekor Harimau.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!