Rekayasa Kronologi Pembunuhan

Lelaki dengan bau tak sedap itu tersenyum menyeringai ke arahku.

"Pasti ada yang ingin kau bicarakan padaku, Nona Jane! Mau bicara di sini atau ditempat lain?" tanya Pak Jendral.

Lelaki paruh baya dengan tampang mesum ini adalah Presiden Direktur Arkana Grup. Entah kebaikan apa yang ia lakukan dikehidupan sebelumnya, sampai-sampai orang sepertinya menjadi anak pertama dari Sadewo Arkana.

"Saya akan menunggu di kantor anda!" ucapku.

Aku segera berlalu pergi, sebab aku tak tahan dengan aroma dari orang ini.

Anak pertama yang suka hura-hura dan menyiksa para bawahanya, alasan yang kuat untuk tak memilih Jendral Arkana menjadi pewaris perusahaan terbesar di Indonesia seperti Arkana Grup. Pasti ada alasan yang membuat Sadewo Arkana menempatkan anak sulungnya di posisi Presiden Direktur. Namun aku tak bisa memahami alasan itu, kenapa Sadewo Arkana memilih anak pertamanya menjadi pewarisnya.

Aku sudah berada di ruang kerja pribadi Jendral Arkana. Ruangan luas dengan gaya interior Victoria bercampur modern. Tak mungkin ruangan Presiden Direktur tak mewah, meski kantor ini terletak di rumah pribadinya.

Aku tak banyak memandangi ruangan ini, sebab aku sudah sangat hafal dengan ruangan berukuran 20×10 meter ini. Sebelum aku menjadi Asisten pribadi Zidane, aku sering ke rumah ini. Setidaknya dua kali dalam seminggu.

Kak Brian sangat akrab dengan Pak Jendral, padahal kepribadian mereka sangat bertolak belakang. Mungkin Kak Brian akrab dengan Pak Jendral, hanya karena urusan pekerjaan belaka.

Aku sadar, jika akrab dengan atasan adalah sesuatu yang harus kubangun. Karena jika tidak, akan terjadi kecanggungan sosial. Seperti aku dan Zidane.

Aku merasa ada jarak yang membuatku tak bisa percaya pada Zidane 100%. Aku merasa ketakutan dan lega secara bersamaan saat berdua saja dengan Zidane.

Aku mulai memikirkan cara, supaya bisa lebih akrab dengan Zidane.

Namun lamunanku terhenti saat Pak Jendral memasuki ruang kerjanya. Lelaki paruh baya itu sudah berganti pakaian dengan yang lebih rapi. sangat rapi malahan, Pak Jendral sudah mandi mengenakan setelan jas hitam pekat untuk menemuiku.

"Maaf jika membuatmu menunggu lama!" Pak Jendral langsung menyapaku.

Lelaki paruh baya itu duduk di sofa, tepat dihadapanku.

Ada satu set sofa di ruang kerja pribadi Pak Jendral, dan kami duduk di sana dengan tenang.

"Tidak papa, aku punya cukup waktu hari ini!" ucapku pada Pak Jendral.

"Trimakasih, aku berhutang banyak hal padamu Jane!" pria paruh baya itu pura-pura lembut.

"Tapi kurasa impas, karena penghianatanmu!" ucap Pak Jendral, membuatku melongo.

"Penghianatan???" tanyaku pada Pak Jendral karena bingung.

"Aku sangat sakit hati, karena kau lebih memilih Zidane dari pada aku!" ucap Pak Jendral dengan mimik wajah yang amat kecewa.

"Jangan terlalu sakit hati, Pak. Aku bukan menolak bapak! Tapi aku hanya ingin belajar pada Pak Zidane!" sanggahku.

Berbicara manis adalah keahlianku, aku tak ingin orang ini mempersulit usahaku untuk mendekati Zidane.

"Menurutku kau sudah cukup mahir, kau cantik dan hotttt!!!" ucap Pak Jendral dengan nada flamboyan.

Perkataan semacam ini sering kudengar dari mulut Jendral Arkana, jadi aku tak begitu tersinggung lagi sekarang. Tapi aku ini bukan wanita yang mudah digoda dengan pujian memuakkan semacam itu.

Aku tersenyum sarkas tanpa merasa takut pada Pak Jendral. "Saya bukan pel@cur di jalanan yang biasa anda gunakan untuk memuaskan anda! Tolong perhalus kata-kata anda jika ingin memuji hasil kerja saya!" ucapku tanpa berkedip.

Aku tak ingin berkedip, sebab aku ingin melihat reaksi Harimau yang sedang terpojok meminta tolong.

"Kau tersinggung?!" tanya Pak Jendral dengan senyuman manis.

Namun aku sama sekali tak menjawab dan bergeming, pandangan mataku malah semakin tajam ke arahnya.

"Maaf jika kau tersinggung! Dulu kau tak keberatan jika aku memujimu dengan kata-kata semacam itu!" Pak Jendral sedikit terbata.

Entah rasa takut atau rasa sungkan yang ia rasakan saat ini, tapi aku puas. Ternyata aku bisa mempunyai keberanian semacam ini.

"Kau jadi sangat kaku setelah tinggal dengan Zidane!" nada sungkan itu masih menyelimuti setiap kata yang dikeluarkan oleh Pak Jendral.

"Hehhh kamu baru sehari lho tinggal disana! Gimana kalau setahun?! Bisa-bisa kau jadi Elizabeth Bathory!" lelaki paruh baya itu masih ngedumel tak jelas.

"Saya akan jelaskan secara singkat!" sela-ku sebab aku tak ingin mendengar ocehan lelaki tua sepagi ini.

"Katakan!" Pak Jendral langsung memasang pose waspada.

Siapa yang menyangka jika orang ini bisa membunuh manusia lain. Awalnya aku juga tak menyangka, tapi inilah kenyataannya.

"Saya sudah mengatur Konfirmasi Pres untuk anda sore ini, dengan beberapa media massa. Anda hanya harus memasang wajah sedih dan meminta maaf-lah sebanyak yang anda bisa!" kataku, dan lelaki paruh baya itu memperhatikanku dengan antusias.

"Anda hanya harus bilang. Anda menyesal karena Sandiana harus tewas di kediaman anda!

"Lalu katakan apa yang saya tulis di kertas ini!" aku memberikan secarik kertas pada Pak Jendral.

Isinya adalah rekayaaa kronologi ditemukanya mayat Sandiana Munaf.

"Bravo!!!" Pak Jendral berteriak kegirangan. "Jane!!! Kau luar biasa! Kau sangat hebat!".

Pak Jendral tampak menyukai hasil kerja kerasku kemarin sore.

Dari dulu hanya satu hal ini yang membuatku tak menyukai Pak Jendral, selain otaknya yang susah bekerja. Setiap ada wanita, entah bagaimana bentuknya asal usianya kurang dari 30 tahun. Pasti menjadi sasaran kebiadaban lelaki ini.

Tak pandang bulu itu bagus, tapi jika tak pandang bulu ketika melakukan kejahatan. Entahlah aku tak ingin banyak berkomentar tentang Presiden Direktur Arkana Grup ini.

Setelah keluar dari kediaman Keluarga Arkana aku mencoba menghubungi Feri, namun ponsel kawan kerjaku itu sudah tak aktif lagi.

"Kemana sih kamu, Fer!!!" gerutuku.

Aku sangat khawatir terjadi apa-apa pada Feri, aku takut Zidane ikut campur. Aku tak bisa membayangkan jika tirani itu melakukan sesuatu yang kejam pada Feri.

Feri juga kenapa selalu menjadi duri dalam daging di Tim Alpha. Apa lagi saat ini Kak Brian sedang tak ada di Indonesia. Siapa yang bisa melindunginya, sedangkan aku tak bisa menolak perintah dari Zidane.

Entah kenapa hatiku terasa sudah hampir meledak karena mengkhawatirkan Feri.

Karena beberapa kali aku mencoba menghubungi Feri dan hasilnya tetap nihil. Aku segera menghubungi Meri yang pasti sedang berada di ruang Monitoring.

"Mer! Ada Feri?!" aku bertanya pada Meri dengan nada yang sangat khawatir.

"Nggak ada, keknya nggak masuk kerja deh tu anak!" jawab Meri santai.

"Tolong lacak keberadaannya, jika ketemu langsung kabari aku!" pintaku pada Meri.

"Ok!" Meri tampaknya sudah tau jika Feri sudah menjadi target Arkana.

Rencanaku untuk Feri adalah membawa lelaki itu menghadap langsung pada Zidane. Aku juga akan meminta Kak Brian untuk memohon pada Zidane, agar tirani itu mau memaafkan Feri.

Setahuku hanya pada Kak Brian saja, Zidane bisa luluh.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!