Pergi

Setelah mengucapkan salam dan berdo'a, Rindi segera menghapus air matanya, ia sudah memantapkan hati akan selalu tegar, demi janin yang ada dalam rahimnya, walau kelak ia akan membesarkan buah cintanya itu sendirian.

"Maafkan Mama ya, Nak, seharusnya Mama bersyukur dan bahagia menyambut kehadiranmu di rahim Mama, Mama akan menjaga dan merawatmu sepenuh hati. Sehat-sehat ya, Sayang." Rindi membawa calon anaknya bicara sembari mengusap perutnya dengan lembut.

Rindi kembali bersemangat menjalani kehidupannya, ia tidak akan memikirkan omongan orang, yang penting ia berjuang demi masa depan anaknya kelak.

Pagi ini Rindi sudah bersiap untuk berangkat kerja, meskipun tubuhnya masih kurang fit. Tapi, ia harus tetap semangat untuk bekerja agar bisa mencukupi kebutuhannya dan juga janinnya.

Sesampainya di apotik, Rindi bertugas seperti biasa, yaitu tugasnya meracik obat dari resep yang diberikan oleh pengunjung.

Dijam istirahat Rindi memilih untuk tidur sejenak, ia tidak selera makan, Rindi hanya makan roti tawar tanpa selai untuk mengganjal perut, karena kehamilannya agak berbeda, ia tidak suka makanan yang namanya manis.

Saat Rindi tidur di jam istirahat, Dr Fikri datang menyambangi apotiknya. Pria itu melihat Rindi tertidur pulas di Sofa yang ada di ruang yang dikhususkan untuk pegawainya istirahat secara bergantian.

"Tumben Rindi tertidur?" Tanya Dr Fikri pada Sisie.

"Iya, Dok, biasalah bawaan orang hamil muda," jawab Sisie yang memang sudah tahu tentang kehamilan Rindi, karena Rindi tak ingin menutup-nutupi kehamilannya, sebab lambat laun mereka juga akan mengetahui.

Rindi masih bersyukur Arfan pernah datang mengaku sebagai suaminya, jadi ia tidak terlalu sulit untuk menjelaskan pada teman-temannya.

"Hamil?" Tanya Dr Fikri kembali mengulang pertanyaannya

"Iya, Dok."

Seketika wajah Pria itu berubah. Memang selama ini Fikri belum mengetahui tentang hal pribadi Rindi, karena dia yang terlalu sibuk di RS. jadi, membuatnya mengurungkan niat untuk bertanya.

Setelah mendengar pernyataan dari pegawainya tentang kehamilan Rindi, mendadak Pria itu galau. Apakah dia kecewa?

Rindi yang masih terlena dalam tidurnya, tak menyadari bahwa Fikri telah duduk di sofa yang ada di hadapannya. Pria itu mengamati wajah cantik yang dulu begitu ia dambakan untuk menjadi kekasih hatinya.

Kini mereka bertemu kembali dengan status yang sama-sama telah berbeda, ternyata Rindi sudah menikah, dan dia juga sudah menikah dengan pilihan orangtuanya. Namun, pernikahannya tak pernah ada kebahagiaan.

Fikri masih larut dalam lamunannya. Tanpa ia sadari wanita itu telah membuka mata, dan menatap dirinya begitu kaget. "Dokter Fikri! Maaf, Dok, aku ketiduran," ujar Rindi segera bangkit dan meminta maaf.

"Tidak apa-apa Rindi, Jika kamu tidak enak badan, pulang saja, jangan di paksakan," ucap dr Fikri memberi solusi.

"Ah tidak, Dok, aku baik-baik saja."

"Apakah kamu hamil?" Tanya Fikri ingin mendengar pengakuan dari Rindi.

"I-iya, Dok." Jawab Rindi sedikit gugup.

"Jadi kamu sudah menikah, Rin?"

"Su-sudah, Dok," Lagi-lagi wanita itu gugup, karena iapun tidak tahu status dirinya saat ini. Apakah masih menjadi seorang istri atau sudah janda.

"Suami kamu kerja dimana? Kenapa dia membiarkan kamu bekerja dalam keadaan hamil muda begini?" Pria itu masih mengorek hal pribadi Rindi.

"Suamiku, bekerja di luar kota, Dok, sebenarnya dia sudah melarang, tapi aku merasa bosan dirumah, tak ada kegiatan." Rindi masih berusaha menutupi yang sebenarnya.

Saat Rindi dan Dr Fikri sedang ngobrol, tiba-tiba seorang wanita masuk dan menghampiri mereka. Wanita itu menatap Rindi dengan sorot menyala.

"Oh, jadi ini alasan kamu menghindari aku dirumah? Ternyata wanita ini yang membuat kamu betah berlama-lama disini! Iya?"

Rindi terkesiap mendengar ucapan Nyonya Mira, yang sudah lama dia tahu istri dari Dr Fikri.

"Maaf Nyonya, sepertinya anda salah paham. Saya dan dokter Fikri tidak ada hubungan apa-apa." Rindi mencoba membantah.

"Bagaimana aku percaya dengan semua ucapanmu! Jika aku melihat kalian duduk berduaan di ruang tertutup seperti ini! Aku sudah lama curiga melihat kedekatan kalian. Dasar pelakor!"

"Cukup Mira! Hentikan omong kosongmu itu! Aku dan Rindi tidak mempunyai hubungan apapun! Rindi hanya pegawaiku!" Sanggah Fikri tak kalah emosi.

Pria itu segera membawa paksa istrinya untuk pergi dari sana. Setelah mereka pergi, Rindi kembali meneruskan pekerjaannya, tetapi ia melihat semua temannya menatap dengan aneh dan penuh kecurigaan.

"Tadi, yang kalian dengar tidak benar. Nyonya Mira hanya salah paham." Rindi mencoba meluruskan kepada teman-temannya, ia tidak ingin mereka beranggapan yang bukan-bukan.

"Tapi kami juga sudah lama curiga dengan kamu! Karena Dokter Fikri terlalu mengistimewakan kamu. Jika benar kamu tidak ada hubungan dengan Dr Fikri, mana mungkin kamu bisa bekerja disini tanpa ada surat lamaran."

Rindi terkesiap mendengar ucapan Sisie, teman yang dia anggap baik selama ini. Ternyata dia baru tahu bahwa tidak ada yang tulus di dunia ini, bahkan teman yang telah ia percaya hanya topeng belaka.

"Kami juga curiga, jangan-jangan Dokter yang datang waktu itu juga suami orang!" Timpal salah seorang temannya yang lain.

"Apakah incaranmu memang para dokter? Mungkin kalau dokter sudah pasti kaya dan banyak uang. Kami juga curiga anak yang kamu kandung itu. Apakah benar dia mempunyai ayah biologis, atau jangan-jangan...."

"Cukup!"

Plaakkk!

Rindi menampar pipi Sisie dengan geram. "Dengar! Kamu boleh menghinaku, tapi jangan pernah menghina anak yang ada dirahimku. Karena dia bukan anak haram seperti yang ada dalam pikiran kotormu itu! Anakku mempunyai ayah biologis!!" Pekik Rindi dengan mata berkaca-kaca dan raut wajah emosi.

Rindi meraih tas selempangnya dan segera beranjak meninggalkan apotik itu.

"Dasar pelakor!"

Rindi masih bisa mendengar ucapan para wanita bermuka topeng yang ada disana, tetapi sudah tak menghiraukan lagi, secepat mungkin ia ayunkan langkah agar terlepas dari teman munafiknya.

Di tengah perjalanan pulang, Rindi kembali menangis terisak-isak, ia sudah mencoba menahan diri agar air matanya tidak jatuh. Namun, ternyata ia tak mampu. Cairan itu menetes tanpa diminta.

Setibanya diruamah, Rindi menghempaskan tubuh di atas ranjang, ia menumpahkan tangisnya dan menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya.

Setelah merasa cukup lega, Rindi menghapus air matanya. "Tidak, aku tidak boleh menangis. Ini adalah serangkaian cobaan yang harus aku lalui."

Wanita itu segera beranjak mengambil sebuah tas dan memasukkan beberapa pakaiannya. Rindi harus pergi dari kota itu. Ia tidak ingin menjadi bahan gunjingan.

Sedangkan teman kerjanya saja mencurigai dirinya, apalagi nanti para tetangga saat tahu bahwa dia hamil tanpa suami. Rindi tidak ingin anak yang tak berdosa itu menjadi sasaran fitnah dari orang-orang.

setelah selesai berkemas, Rindi segera mengembalikan kunci rumah kontrakan pada pemiliknya.

Dengan langkah pasti dan tekat yang kuat, Rindi meninggalkan kota itu. Kota yang menyisakan banyak kenangan bagi dirinya.

Sebelum pergi ke terminal, Rindi kembali mampir ke rumah yang pernah ia tempati bersama kekasih halalnya yang kini telah menghilang entah kemana. Wanita itu berharap bisa bertemu untuk terakhir kalinya dengan Pria itu. Entah kenapa rasa rindu begitu dalam ia rasakan. Rindi ingin sekali memeluk tubuh lelaki itu untuk mencari kenyamanan.

Bersambung.....

Happy reading 🥰

Terpopuler

Comments

Yunerty Blessa

Yunerty Blessa

terlalu banyak penderitaan yang dialami oleh Rindi

2024-02-20

0

Iga Wahyusari

Iga Wahyusari

yang kuat ya rindi ❤

2023-07-05

0

Susana

Susana

Go, Rindi! Go!
Kau harus kuat! ❤❤❤

2023-07-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!