Hari menjelang malam, Arum dan beberapa karyawan diizinkan untuk pulang lebih awal. Gadis yang hanya tamatan SMA itu akhirnya bisa bernafas bebas menghirup udara segar di luar pabrik. "Ahhh... bisa pulang lebih awal rasanya menyenangkan juga, saya bisa ke rumah sakit mengunjungi Kamelia." Arum bergumam mulai ingin pergi.
"Aku duluan ya, Kakak!" lambai Arum pada teman-teman kerjanya.
"Hati-hati di jalan, Rum!" teriak mereka balas melambai gadis itu.
Arum hanya tersenyum membuat teman lelaki yang masih perjaka terpaku dengan manisnya Arum. Seketika salah satu dari mereka cepat-cepat menaiki motor second untuk menyusul Arum yang jalan kaki ingin ke persimpangan mencari angkot. Karyawan lain menyorakinya, mereka tahu ia mau mengantar Arum pulang bersama.
'Ciiittt'
"Hai, Arum! Mau pulang ya?"
Arum yang tengah memikirkan adiknya, ia kaget dihentikan oleh motor karyawan itu.
"Ya, Mas." Lagi-lagi Arum tersenyum. Karyawan itu pun turun dari motor dan dengan berlagak gentlemen di depan gadis bersyall biru itu, ia balas tersenyum.
"Saya boleh kan antar Arum pulang?"
Cepat-cepat Arum menolak. "Eh tidak perlu, Mas."
"Tidak usah takut dan berpikir negatif, aku tidak seperti karyawan yang dipecat itu," ucap Karyawan itu sedikit tertawa ditolak langsung.
"A-aku tidak berpikir Mas jahat, hanya saja aku sebenarnya tidak mau pulang dulu," jelas Arum agak gugup, karena karyawan itu lumayan tampan dan baik. Arum sudah tahu lelaki ini sering membonceng orang lain tanpa pamrih dan suka berbagi pada pengamen jalanan.
"Lantas kau mau ke mana?" tanya lelaki itu sedikit curiga.
Arum pun menjelaskan, bahwa ia memiliki adik tiri yang sedang dirawat di rumah sakit. Karyawan itu mengangguk paham-paham mendengarnya, kemudian ia pun menyentuh dagunya dan berpikir sejenak.
'Rupanya dia hanya memiliki satu anggota keluarga, kasian juga dia.' Karyawan itu pun tersadar ketika Arum membuyarkan pikirannya.
"Oh ya, Mas tahu dari mana namaku?" tanya Arum menatapnya.
Karyawan itu sedikit nyengir ditanya.
"Aku sudah dari dulu tahu nama kau, Arum."
"Dulu?" Arum cukup terkejut.
"Ya, Arum. Aku lebih awal bekerja di pabrik ini, saat pertama kali kau masuk kerja, kau cukup menghebohkan kami," jawab Karyawan itu jujur.
"Heboh? Kenapa aku sampai menghebohkan?" tanya Arum polos.
"Arum-arum... kau ini anggota yang sangat muda, apalagi kau ini baik dan utamanya kau good looking, salah satu incaran karyawan lelaki di pabrik. Pasti, umurmu masih 18 tahun, kan?" Lelaki itu menunjuk Arum.
"Hahahaha, aku ini tidak seperti yang Mas bayangkan." Arum tertawa geli mendengarnya. Ia memang sudah good looking dari bayi, hanya saja dia bukanlah orang baik, karena baginya Arum bukan lagi seorang gadis baik melainkan budak pemuas naf-su untuk Tuan Rayden.
"Dan umur aku memang 18 tahun, kenapa ya Mas bisa tahu?" tambah Arum bertanya.
"Itu aku tahu dari teman kerjamu," jawab lelaki itu.
"Oh ya, nama aku Wiransyah. Kau bisa panggil aku Wira." Lelaki itu mengulurkan tangannya.
"Aku Arum, senang dapat berkenalan sama Mas Wira." Arum hanya tersenyum dan menolak untuk salaman. Dengan malu-malu, Wira menarik kembali uluran tangannya. 'Arum sepertinya sangat menjaga diri, dia memang gadis langka.' Wira berpikir Arum tidak mudah untuk disentuh.
"Karena sudah berkenalan, Arum mau kan aku antar ke rumah sakit?" Sekali lagi Wira menawarkan tumpangan.
"Jika tidak merepotkan Mas Wira, aku nurut saja. Itung-itung bisa hemat ongkos, hehehe," cengir Arum. Wira menggelengkan kepala melihat tingkahnya, ia pun naik ke motor.
"Nih pakai helm, terus beri tahu saja pada ku di mana letak rumah sakitnya." Wira memberi helm, kemudian sudah bersiap melaju ke rumah sakit. Arum pun celingak-celinguk sebentar, lalu naik motor. Keduanya berangkat ke rumah sakit yang dikatakan Arum.
.
.
Dalam tengah perjalan, tiba-tiba saja Wira mengerem mendadak. Motor yang berhenti membuat Arum kaget dan tidak sengaja memeluk Wira dari belakang. Arum cepat-cepat melepaskan rangkulan tangannya, membuat Wira sedikit tersipu dengan tindakan Arum barusan.
"Ada apa ya tiba-tiba berhenti, Mas?" tanya Arum.
"Sepertinya ada kecelakaan di depan sana sehingga jalan diblokir, lihatlah jalan dari sini ke rumah sakit sudah mulai macet."
Arum menengok ke depan, dan mengamati. Nampak ada mobil hitam terbalik dan beberapa orang terkapar bersimbah darah. Mereka sepertinya tewas di tempat, dan familiar. Wira turun sebentar karena rasa penasarannya itu, ia ingin tahu awal kecelakaan maut ini.
"Itu kan bawahan Bos Rentenir yang mengejarku dulu, a-apa yang sudah terjadi sama mereka?" gumam Arum menutup mulutnya saking shock mengamati satu persatu tubuh mereka yang lumayan rusak. Sangat mengerikan untuk ditonton, membuat Arum agak mual.
"Arum, kita harus lewat jalan lain," sahut Wira kembali ke motornya.
"Sebentar, apa yang terjadi kepada mereka, Mas?"
"Kata polisi, rem mobil blong dan langsung menabrak pembatas jalan sehingga terlempar cukup keras, dan barusan ada yang bilang sama aku, katanya kabel remnya sengaja ada yang putuskan."
Arum makin kaget mengetahuinya. 'Ini ulah seseorang, apa mungkin perbuatan Tuan Rayden? Tapi ... mungkin saja orang lain yang dendam pada Rentenir tua cabul itu. Aku tidak usah mengalihkannya ke Tuan Rayden. Pasti bukan dia!' batin Arum.
Wira mengerutkan keningnya melihat Arum berpikir.
"Apa yang kau pikirkan, Arum?" tanya Wira kini naik ke motornya dan sudah siap mengambil jalur lain.
"Tidak ada apa-apa, Mas," jawab Arum tersenyum.
"Ya sudah, Mas ambil jalur kiri, kau jangan sampai bengong ya, takutnya nanti kau jatuh tanpa Mas sadari,"
"Baik, Mas."
Keduanya pun melewati jalur kiri, sehingga Arum makin jelas melihat Preman itu mati mengenaskan. Setelah memakan waktu cukup lama, mereka akhirnya sampai juga.
"Terima kasih, Mas Wira sudah mengantar ku," ucap Arum setelah turun dari motor.
"Sama-sama," balas Wira tersenyum.
"Oh ya, kau bermalam di sini?" tambah Wira ingin tahu. Arum pun mengangguk saja.
"Kalau begitu, kalau kau butuh bantuan, tinggal telepon Mas saja ya, Rum," ucap Wira menyodorkan salinan kartu identitasnya, di mana nomor telepon dan biodata Wira lengkap di sana.
"Baiklah, Mas,"
"Aku pulang dulu dan titip salam buat adikmu," ucap Wira mulai bersiap pergi.
"Baik, Mas. Hati-hati di jalan!" Arum melambai ke Wira yang berlalu pergi. Gadis itu pun masuk ke rumah sakit dan menuju ke ruangan adiknya. Kini Arum telah duduk di sebelah Kamelia, wajahnya lesu sudah capek dari kerja. Selanjutnya, ia memandang kartu milik Wira.
"Mas Wira baik banget, dia sudah berumur 27 tahun tapi statusnya belum nikah. Kenapa ya lelaki sepertinya tidak cari istri saja," gumam Arum sembari jalan ke sofa panjang. Arum menjatuhkan tubuhnya dan menikmati rebahannya.
"Kira-kira umur Tuan Rayden juga berapa ya? Kalau dibandingkan dengan Mas Wira, Tuan Rayden lebih gentlemen dan pastinya Tuan Rayden ini anak orang kaya, soalnya dia lebih tampan dan good looking dari Mas Wira. Pasti Tuan Rayden punya fasilitas yang dapat merawatnya sebagus itu. Terutama itunya." Arum bergumam memikirkan six pack Tuan Rayden yang hot dan bibir seexynya serta ular piton pria dewasa itu.
Seketika wajah Arum memerah, ia tersadar telah memikirkan Tuan Rayden.
"Uuuhh... kenapa tiba-tiba aku memikirkan dia!" Arum tidur dan memeluk tubuhnya.
"Ishh ini baru lima hari berlalu, tapi aku sudah ingin berjumpa lagi dengannya. Ada apa dengan ku malam ini?"
Arum menepuk dadanya setelah muncul perasaan aneh. Arum pun memejamkan mata mencoba menepis bayangan Tuan Rayden. Ia seperti istri yang sedang merindukan suaminya pulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Sumawita
Arumi mulai bucin SM rayden
2022-12-03
1
fifid dwi ariani
trus sukses
2022-12-03
0