Sepulangnya Zahra dari makam pamannya yang tidak lain adalah Kiai Saleh, Zahra termenung di dalam kamar yang terlihat sangat sunyi.
"Mungkin sekarang sudah saatnya aku menghapus rasa ini, karena sudah tidak ada lagi yang mungkin bisa diharapkan," lirih Zahra di dalam keheningan yang dilandasi dengan perasaan yang tidak baik-baik saja.
Zahra nampak begitu sedih dan hatinya begitu rapuh, mau dikatakan kuat saja tidak mungkin karena sekuat apa pun manusia, pasti ada titik lemahnya. Di luar bisa terlihat kuat, tapi hatinya tidak sekuat itu.
Maka dari itu, Zahra hanya bisa menerima semua yang terjadi kepadanya dan cintanya. Memang menerima adalah sebuah kata yang sangat mudah untuk diucapkan, tapi kadang kala kata itu butuh tekad yang kuat. Dan jika iman Zahra rendah, maka mudah saja baginya untuk mendapatkan semua yang ia mau. Namun, Zahra tidak seperti itu karena pada dasarnya. Zahra adalah seorang wanita yang mempunyai sifat rendah hati dan berpendidikan sehingga tidak bisa baginya untuk berbuat nekad.
***
Pada saat ini Alisha beserta suami dan ibunya sedang berada di ruang tamu dan nampak membicarakan sesuatu, perihal pesantren yang ditinggalkan oleh Kiai Saleh.
"Ilham, bila Ibu menyerahkan Pesantren Darussalam ini kepadamu. Apa kamu bersedia?" tanya Ibu Rahma yang kini membuat Ilham sangat bingung.
"Ilham tidak tahu, Bu. Mungkin nanti Ilham bicarakan dulu sama Abi, karena tidak mungkin Ilham langsung mengambil keputusan dengan begitu saja," jawab Ilham dan ia baru tahu bahwa Kiai Saleh hanya mempunyai satu anak, yakni Alisha—wanita yang telah menjadi istrinya itu.
"Baiklah, Ibu tahu Nak Ilham masih menjadi guru pengajar di Pesantren Ar-Rasyid. Akan tetapi, jika diperbolehkan Ibu akan dengan senang hati menyerahkannya karena sangat tidak mungkin kalau Ibu sendiri yang mengutusnya."
Ilham hanya menganggukkan kepalanya, mengerti dan tidak lagi memperpanjang pembicaraan. Namun, tiba-tiba saja Alisha mengatakan sesuatu.
"Ibu, kalau aku pergi bersama Ustaz Ilham ke Bandung dan di sana juga ada Zahra. Apa boleh?"
Ibu Rahma terdiam, dia tidak tahu harus mengatakan apa.
"Alisha, kalau kamu dan aku pergi ke Bandung, nanti siapa yang akan menjaga Ibu di sini, sedangkan hanya kamu harapan Ibu," tegur Ilham karena ia tidak menerima dengan semua yang dikatakan oleh istrinya itu.
Alisha terdiam, ia baru menyadari bahwa ibunya juga membutuhkan dirinya. Dulu masih ada Kiai Saleh yang menemani ibunya, tapi sekarang sudah tidak ada lagi yang menemaninya, dan ia juga berpikir bahwa ibunya juga sudah pasti merindukan dirinya karena Alisha sudah lama menempuh ilmu di Pesantren Ar-Rasyid, sampai baru sekarang ia kembali lagi dengan orangtuanya.
"Baiklah, aku akan tetap berada di sini bersama Ibu," ucap Alisha dan membuat Ibu Rahma tersenyum kembali, sembari memeluk tubuh putrinya itu dengan penuh kasih sayang.
Untuk itu, Ilham hanya tersenyum saja melihat pemandangan yang menurutnya sangat berarti. Namun, sesaat kemudian Ilham dan Alisha kembali masuk ke dalam kamarnya.
Di saat keduanya saling terdiam, tiba-tiba saja Alisha menanyakan sesuatu yang sangat mengejutkan Ilham.
"Mas, apa pernikahan ini sangat memberatkan sehingga membuat Mas selalu terdiam dan tidak pernah mengatakan apa pun itu kepadaku?"
Ilham terpaku oleh pertanyaan istrinya sehingga membuatnya diam sejenak. "Tidak ada yang memberatkanku, tapi aku belum terbiasa dengan keadaan yang seperti ini," jawab Ilham soraya tertunduk.
"Apa ada suatu hal yang membuat Mas belum bisa menerimanya?"
"Aku tidak tahu itu, tapi yang pasti aku akan selalu menjalankan kewajiban seorang suami dengan semestinya," jawab Ilham dan kali ini Alisha tidak lagi mengatakan sesuatu.
Keadaan menjadi kembali hening dan Ilham juga tidak berani mengatakan apa pun lagi, karena ia juga sedang bergelut dengan pikirannya yang masih berkelana.
"Bagaimanapun aku telah berkewajiban untuk menjadi seorang suami yang baik bagi Alisha—istruku, tapi keadaan ini sangat menyulitkanku dalam bersikap selayaknya sebagai seorang suami, sedangkan aku hanyalah laki-laki yang sedang berpikir keras untuk tetap tabah dalam menjalani takdir ini," gumam Ilham di dalam hatinya.
Di sisi lain, Ilham mempunyai kewajiban atas istrinya, sedangkan ia masih sangat mencintai Zahra. Akan tetapi, Ilham sudah terikat dengan kewajiban dan sangat tidak mungkin bagi Ilham untuk kembali mendapatkan Zahra.
Maka dari itu, Ilham nampak bingung dan Alisha juga sangat memerhatikannya sehingga apa pun yang dilakukannya akan sangat berpengaruh kepada pola pemikiran Alisha yang masih belum stabil. Untuk itu, Ilham sangat menyayangkan dirinya yang harus menghadapi ujian ini sendirian, sedangkan di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih terdapat nama seorang gadis yang sudah sangat menanti kehadiranya.
***
Dalam sebuah ruangan yang di depannya terdapat sebuah kaca, dan di sana bisa melihat dengan jelas pemandangan luar. Di sana terlihat seorang gadis cantik, sedang menuliskan kisahnya yang diombang-ambingkan oleh kesadaran, dan kenyataan yang bergitu membuat dirinya sangat merasa terpuruk. Dia adalah Zahra—wanita yang sangat Ilham cintai.
"Dalam hidupku belum pernah ada satu kata cinta pun yang keluar dari mulutku, tapi bukan karena aku tidak bisa mengatakannya. Akan tetapi, aku tidak mau dengan keterbukaanku membuat diriku ini terjerumus dalam sebuah alur cerita yang amat menyakitkan. Biarlah, alur ceritaku sendiri yang dapat mewakili rasa cintaku kepadamu. Walaupun demikian, cinta kita tidak dapat bersatu, tapi hati ini selalu terpaku kepadamu. Dan jika memang kita ditakdirkan untuk bersama, maka Allah akan mempermudah jalan kita untuk bisa bersatu kembali."
Coretan pena tertulis di sebuah kertas yang mempunyai garis sejajar. Dalam buku itu, sudah banyak kisah yang Zahra tulis dengan isi hatinya saat ini.
Di tatapnya buku itu dengan sendu, bukan kata indah yang bisa Zahra ungkapan dalam sebuah cerita. Namun, perasaannya yang bisa dia rangkai sedemikian rupa untuk menjadi penguat bagi dirinya sendiri. Walaupun demikian, hatinya tidak sekuat itu.
Zahra tahu, dalam cinta kita harus bisa menerima dua pilihan. Mendapatkan atau mengiklankan, dan jika kita berada diopsi mendapatkan, maka ia akan sangat bahagia. Namun, jika berada di posisi yang harus mengiklankan, maka ia harus siap untuk menerima kenyataan bahwa itu adalah jalan yang terbaik untuknya.
Sebelum itu, Zahra tidak pernah mengeluh karena semua yang ia lakukan atas kemauan sendiri. Maka dari itu, tidak perlu menyalahkan takdir karena tidak bersikap adil. Takdir tidak pernah salah, tapi kita yang salah mengartikan bahwa semua yang sudah terjadi adalah sebuah kenyataan yang perlu diterima. Mau sekuat apa pun kita melawan takdir Allah, itu sudah sangat menentang dan tidak mungkin bisa. Maka dari itu, terimalah semua yang terjadi dengan hati yang lapang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Maulana ya_Rohman
mengiklaskan jln terbaik....🤧😢
2022-12-29
2
mudahlia
rumit nya
2022-12-10
1