Perjalanan yang semula bertujuan untuk menemukan pusat pertokoan kini berubah. Setiap zombie yang Adira dan Firda temui terus memaksa mereka untuk menempuh jalur di luar rencana. Meski tidak mengatakannya, Adira yakin, Firda sudang sangat lelah dan ingin menyerah. Apalagi kini mereka kesulitan untuk melihat sekitar karena malam sudah lama datang. Namun, temannya itu tetap mengikutinya karena memang tidak ada pilihan yang lebih baik bagi mereka saat ini.
Adira sendiri tidak terlalu yakin dengan dirinya sendiri, tetapi sama seperti saat ia mengerjakan ujian sekolah, ia hanya akan menyelesaikan semua persoalan secara perlahan dan hati-hati. Mengerjakannya satu per satu dengan mendahulukan persoalan yang lebih mudah terlebih dahulu.
Bukan. Dalam hal ini, Adira mengerjakan tugas yang paling penting lebih dulu, yaitu bertahan hidup dengan sebisa mungkin menghindari kontak dengan zombie.
Sebab tidak ada gunanya mereka sampai di tempat tujuan jika mereka sampai terluka dan berubah menjadi salah satu mayat hidup tersebut.
‘Tapi Firda terluka. Aku harus terus waspada dan memperhatikannya diam-diam,’ gumam Adira dalam hati. Perasaan cemas terhadap sahabatnya tertutupi oleh rasa takut. Walaupun ia tidak mungkin tega menyakiti Firda, tetapi ia telah bertekad untuk bertindak jika sampai gadis itu berubah. ‘Karena aku yakin dia juga tidak ingin hidup tanpa akal seperti zombie.’
Sebenarnya, Adira sendiri sadar bahwa ia hanya sedang mencari pembenaran atas sikapnya. Tidak seharusnya seseorang berniat untuk mengorbankan sahabatnya demi menyelamatkan dirinya sendiri. Tidak seharusnya Adira memandang Firda secara berbeda hanya karena Firda sedikit terluka saat bertarung dengan zombie. Dan yang paling tidak seharusnya Adira lakukan adalah sengaja mempercepat pergerakannya hingga Firda kesulitan untuk menyeimbanginya.
Dari segi kemanusiaan pun, tindakan Adira akan dianggap sangat tidak terpuji.
Namun, Adira berusaha tidak memedulikan semua itu. Karena yang saat ini ia pikirkan hanya satu hal, yaitu bagaimana caranya ia bisa keluar dari sini, dan pulang menemui kakaknya.
Adnan pasti sedang sangat mencemaskannya.
Mendadak Adira berhenti merangkak dan berbalik. Memandang Firda yang kini telah berada tepat di belakangnya. Cahaya temaram dari lampu taman yang berdiri sekitar membantunya untuk melihat dengan cukup jelas. Meskipun beberapa di antaranya telah rusak diserang zombie maupun diterjang para manusia yang sibuk menyelamatkan diri.
Tunggu. Lampu-lampu itu tidak menyala saat siang, maka seharusnya ada orang yang menyalakannya.
“Apa menurutmu masih banyak orang yang selamat? Apa semua ini juga terjadi di luar sana?” tanya Adira dengan berbisik.
Kedua mata Firda tampak melebar sebelum ia menjawab. “Kalau banyak yang masih bertahan, seharusnya kita sudah bertemu dengan mereka sejak tadi.” Suaranya terdengar pelan dan lemah. “Kuharap tidak ada zombie selain di tempat ini. Aku masih ingin bertemu dengan keluargaku dalam suasana yang normal.”
Adira menganggukkan kepala, tetapi wajahnya masih merengut. Sejenak ia menyembulkan kepala keluar dari wilayah kumpulan replika ‘UFO’ tempat mereka bersembunyi sebelum kembali bertanya. “Kalau seandainya keadaan di luar baik-baik saja, apa mereka kini sedang menyusun rencana untuk menyelamatkan kita? Mereka tidak mungkin mengirim bom untuk membunuh semua zombie, kan? Kenapa sampai saat ini tidak ada tanda-tanda penyelamat datang?”
Dengan sangat perlahan, Firda mengubah posisinya menjadi duduk bersilang kaki. Tatapannya tampak berkaca-kaca saat ia menjawab. “Aku juga tidak tahu jawaban dari semua pertanyaanmu itu, Dir. Tapi aku ingin berharap bahwa mungkin beberapa dari teman kita sudah ada yang bertemu dengan petugas penyelamat. Dan mereka tengah menunggu kita untuk datang.”
Seketika Adira terdiam mendengarnya. Harapan yang tersirat dari ucapan Firda seharusnya membuat mereka lebih bersemangat untuk bertahan. Namun, Adira tidak bisa pungkiri bahwa hatinya sakit mendengarkan semua itu. Situasi mereka saat ini membuatnya merasa bahwa keinginan untuk berkumpul kembali bersama teman-teman terlalu sulit untuk menjadi nyata.
Ia telah menyaksikan dan mengalami sendiri bagaimana sulitnya bertarung dengan para zombie itu. Sebab meskipun para mayat hidup itu tidak sekuat maupun semengerikan yang Abian katakan, tetap saja tenaga remaja biasa tidak cukup untuk bertarung terus menerus.
Adira dan Firda tidak lagi berbicara maupun kembali merangkak untuk beberapa saat. Tanpa perlu mengatakan apa pun, mereka mengerti bahwa mereka berdua butuh beristirahat sejenak. Merasa aman untuk bersembunyi di balik bayangan.
Hingga mendadak Adira mengubah posisinya menjadi berlutut. Dengan waspada ia mencoba mengintip ke luar. Memperhatikan beberapa zombie yang masih ada di sekitar.
“Apa yang kamu lakukan?” bisik Firda sambil memegang tangan Adira. Bersiap untuk menariknya jika sampai ada zombie yang menyadari keberadaan mereka.
“Sebentar,” jawab Adira tanpa menoleh ke arah Firda. “Sepertinya ada yang kita lewatkan.”
Adira mengerjapkan matanya beberapa kali. Berusaha memperjelas pandangannya agar dapat melihat para zombie dengan baik. Sempat ia tersentak saat mendengar beberapa zombie mengerang bersamaan.
Perlahan-lahan, ia mulai mendapatkan hasil dari pengamatannya. Mata gadis itu melebar saat ia melihat bagaimana zombie-zombie tetap bergerak-gerak tanpa kendali di tempat masing-masing meskipun mereka tidak sedang mengejar mangsa. Suara derak halus dari sendi-sendi yang dipaksa melipat ke sudut yang tidak masuk akal menambah ngeri suasana. Adira menggigit bibirnya saat salah satu zombie menabrakkan diri ke tiang salah satu lampu taman beberapa kali. Entah sampai kapan tiang itu akan tetap berdiri tegap.
Sementara itu, beberapa zombie lainnya juga tidak kalah aneh. Adira melihat bagaimana zombie yang berada paling dekat dengan posisinya saat ini terus mengayunkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Dengan bola mata terputar ke belakang. Sekilas makhluk itu tampak seperti orang yang sedang mabuk. Jika saja tidak terdapat darah dan luka mengerikan di sekujur tubuhnya.
“Aku butuh sesuatu untuk dilempar,” ucap Adira setelah ia berjongkok menghadap Firda.
Dengan cekatan Firda merogoh kantong paling luar di tasnya dan menyerahkan satu buah botol cairan pembersih tangan. “Seandainya kita punya api mungkin kita bisa membuat bom dengan ini.”
“Sayangnya kita tidak punya,” jawab Adira tidak acuh sebelum kembali berlutut untuk mengamati.
Saat merasa situasi aman, Adira melemparkan benda di tangannya ke salah satu tiang lampu. Suaranya yang keras mengundang gerombolan zombie di sekitar lampu malang itu menyerang secara membabi buta. Namun, satu hal yang tidak pernah Adira sangka kini terjadi di depan matanya.
Zombie-zombie yang berada cukup jauh dari sumber suara tampak berbalik dan berjalan cepat ke arah tiang itu. Hanya saja, sebelum mereka sampai, mereka telah terlebih dahulu jatuh sendiri. Mereka memang berhasil berdiri kembali, tetapi lantas terjatuh lagi dengan tubuh yang menggelinjang.
Dan suara yang keluar dari mulut mereka hampir terdengar seperti manusia biasa yang tengah mengomel. Dengan suara yang lebih melengking tentunya.
“Kamu menemukan sesuatu?” Firda menarik seragam kumal Adira pelan untuk membuat sang gadis kembali merunduk.
Adira mengangguk dengan semangat. Susah payah ia menahan diri agar tidak berjingkrak kegirangan. “Mereka itu makhluk bodoh dan cukup payah.”
“Apa?”
“Mereka tidak mampu mengendalikan tubuh mereka sendiri dengan baik,” jelas Adira. “Seharusnya aku sadar, bahwa setiap kali mereka menyerang, mereka lebih banyak terluka daripada kita. Setidaknya saat mereka menyerang dalam jumlah sedikit.”
“Oke,” Firda mengangguk ragu-ragu. “Lalu, apa gunanya informasi itu untuk kita?”
Adira tampak mengulum bibirnya sebelum menjawab. “Aku belum tahu. Tapi mengenal musuh adalah langkah awal persiapan untuk memenangkan peperangan.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments