“Bukankah kita bisa jaga bergantian? Apa tidak bosan hanya diam menunggu?”
Danita menoleh ke arah sumber suara. Mendapati seorang perempuan usia 40 tahunan menatapnya penuh harap. Danita lantas meremat jari-jarinya dengan salah tingkah, ia sungguh tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan dari seniornya.
Memang akan sangat disayangkan jika mereka menempuh perjalanan jauh hanya untuk duduk dan mengawasi. Memastikan kabar dari para siswa yang tengah berpencar menaiki berbagai wahana melalui grup obrolan di aplikasi berwarna hijau. Namun, seharusnya mereka sudah bersiap, karena sesungguhnya tujuan mereka ikut memang untuk menjadi pengawas. Bahkan biaya perjalanan mereka berasal dari sumbangan orang tua murid.
Bukan berarti mereka sama sekali tidak ada kesempatan untuk bersenang-senang. Seperti yang disarankan oleh guru senior, mereka bisa saja pergi bergantian. Hanya saja, Danita sama sekali tidak berniat untuk meninggalkan tempatnya saat ini.
“Tentu saja bisa,” jawab Danita akhirnya. Ia melirik sekilas ke arah gerbang keluar yang berada di dekatnya sebelum kembali menatap seniornya. “Tapi saya di sini saja. Siapa tahu anak-anak ada yang mencari saya.”
Padahal sampai beberapa menit lalu, saat Danita mengecek grup obrolan kelasnya, sama sekali tidak ada siswa yang mengirimkan pesan. Tampaknya mereka semua benar-benar menikmati hari tanpa mengkhawatirkan apa pun. Namun, tetap saja Danita merasa gelisah. Seolah jika ia lengah sedikit saja, akan terjadi sesuatu yang buruk kepada anak muridnya.
Oleh karena itu, meski harus menekan keinginannya sendiri, Danita akan mendedikasikan waktunya untuk tetap berjaga, dan hanya membeli beberapa minuman dan camilan untuknya mengisi energi.
Lima dari sepuluh guru akhirnya pergi. Kebanyakan dari mereka adalah guru muda yang masih memiliki semangat serta tenaga yang besar. Hanya Danita satu-satunya guru muda yang tetap tinggal, tetapi ia sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Ia tetap duduk menyamankan diri di gazebo samping pusat pertokoan. Di mana ia bisa memandangi patung maskot Taman Bermain dengan sangat jelas.
“Panas sekali hari ini,” gumamnya pelan sambil menyeruput satu botol minuman jeruk dingin yang baru saja ia beli. Kedua matanya menyipit saat ia mencoba melihat ke arah langit. Hari yang tampak begitu cerah seharusnya membuat hatinya menjadi lebih tenang. Karena semua rencana akan kacau jika sampai hujan turun.
“Masa muda memang menyenangkan. Para siswa pasti sama sekali tidak merasa kepanasan dan terus berlarian ke sana kemari,” sahut Guru lain di sampingnya.
Danita hanya menganggukkan kepala sambil memperlihatkan senyum tipis. Ia benar-benar sedang tidak ingin banyak berbincang hari ini.
Ia baru saja akan kembali memeriksa ponselnya saat tiba-tiba ia mendengar keributan. Banyak pengunjung tampak menunjuk ke satu arah yang sama, membuat sang guru muda refleks menolehkan kepalanya. Kedua matanya membelalak setelah mengetahui apa yang tengah menjadi pusat perhatian saat ini.
Sebuah asap tebal tampak mengepul ke udara. Membentuk bayangan yang cukup gelap ke sekitarnya. Jaraknya tidak terlalu jauh, tetapi juga tidak terlalu dekat dengan posisi Danita saat ini. Entah karena tipuan matanya atau tidak, Danita seolah bisa merasakan hawa di sekitarnya semakin panas setelah melihat betapa tebal dan pekatnya asap itu.
“Itu Taman Bunga. Sepertinya terjadi kebakaran di sana.” Danita mendengar salah satu pengunjung berkata dengan yakin. “Aku baru mengunjungi tempat itu. Melihat keadaannya yang gersang dan tidak terurus, kurasa bukan hal yang aneh jika api dengan mudah tersulut.”
Sontak Danita berdiri dan mulai berjalan mendekati lokasi kebakaran. Namun, para guru senior yang berada bersamanya menahannya sambil mengatakan kalimat-kalimat penenang. Sama sekali tidak membantu. Danita kini justru semakin gelisah. Kedua tangannya bahkan terlalu bergetar untuknya mengeluarkan ponsel dari dalam saku. Butuh beberapa detik sampai akhirnya ia berhasil.
Tidak ada pesan berarti kabar baik. Anak-anak pasti tidak sedang berada di lokasi kejadian, sehingga tidak tahu soal kebakaran itu.
Tunggu. Bisa saja para siswa justru terjebak di sana hingga tidak bisa mengirimkan kabar melalui ponsel. Ingin rasanya Danita menampar dirinya sendiri yang telah berpikiran buruk.
“Tenang saja,” ujar Gunawan yang tiba-tiba berada di sampingnya. “Bagi kita orang awam, mungkin asap itu terlihat sangat mengerikan. Tapi sebetulnya warna asap itu jauh lebih cerah dibandingkan dengan asap dari kebakaran besar. Lagipula pergerakannya lambat, pasti hanya kebakaran kecil biasa.”
Danita menarik dan menghembuskan napas panjang. Merasakan hatinya berangsur-angsur menjadi lebih tenang. Namun, kedua matanya masih enggan meninggalkan penampakan berbagai tingkat warna abu yang merangkak naik ke langit. “Asapnya menyebar. Bisa-bisa para pengunjung sesak napas.”
“Betul. Sangat disayangkan pihak Taman Bermain begitu lalai hingga membiarkan ini terjadi,” jawab Gunawan sambil menyipitkan mata. Masih melihat ke arah yang sama dengan Danita. “Kita beruntung. Arah anginnya bergerak menjauh dari kita. Jadi, setidaknya kita tidak perlu banyak menghirup asap itu.”
“Tapi bagaimana dengan anak-anak?”
“Berdoa saja semoga mereka sedang berada di wahana yang jauh. Sepertinya berbagai wahana ekstrem berkumpul di wilayah Taman Bermain paling belakang. Para siswa pasti ke sana.”
Danita hanya bisa terdiam dan melirihkan doanya di dalam hati. Namun, beberapa menit kemudian ia tiba-tiba bangkit. “Maaf sekali, boleh saya pergi sebentar? Saya ingin berkeliling dan mengecek keadaan anak-anak.”
Gunawan tampak menghela napas lelah. “Saya yakin mereka baik-baik saja. Tapi tidak apa, kamu boleh pergi.”
Danita mengekspresikan rasa terima kasih dengan membungkuk sebelum akhirnya pergi.
Sementara itu, sesuai dugaan Gunawan, banyak siswa kini tengah berada di depan wahana Mania. Termasuk Adira dan kawan-kawan. Para remaja itu masih berdiri dan melihat asap yang sama, dengan ekspresi yang berbeda-beda. Sebagian besar dari mereka tampak cuek, sedangkan yang lainnya sedikit khawatir.
“Katanya ada kebakaran di Taman Bunga,” ujar Karsa yang baru saja berkeliling untuk mencari informasi. “Tenang saja, semuanya sudah ditangani dengan baik.”
“Taman Bunga? Wah! Kita beruntung, Dir,” seru Firda heboh. Kedua tangannya menutup mulutnya yang menganga. “Kalau kita masih berada di sana, bisa gawat. Meskipun tidak parah, itu akan menjadi kenangan yang cukup buruk.”
“Kalian sempat ke sana? Tempat itu berada di kiri dari gerbang masuk, kan?” Karsa tampak mengernyitkan kening.
Firda mengangguk. Perhatiannya yang sedang banyak terbagi membuatnya lupa untuk bersikap ketus di hadapan Karsa. “Tadinya kami ingin mengambil foto berlatarkan bunga warna-warni. Tapi tidak jadi.”
“Pantas saja aku kesulitan mencarimu, Dir.” Karsa kembali berbicara. Sama sekali tidak memedulikan ucapan Firda. “Aku pergi ke arah kanan dari gerbang. Melewati Arung Jeram dan Roller Coaster.”
Adira yang sedari tadi masih tenggelam dalam pikirannya sendiri tampak tertarik mendengar penuturan Karsa. Kepalanya yang sempat menunduk kini menengadah, menatap pemuda yang memiliki tinggi tubuh jauh lebih tinggi darinya. Kedua matanya membulat penuh ingin tahu.
“Bagaimana Roller Coasternya? Apa seru? Antre tidak?” Ia bertanya dengan bertubi-tubi, membuat Karsa merasa sangat gemas.
Tidak banyak yang tahu bahwa wahana ekstrem itu merupakan wahana favorit Adira. Sang gadis tidak pernah membahasnya karena merasa hal itu tidak penting. Namun, setelah pertanyaannya tadi, mungkin semua orang sudah tahu tentang kesukaannya kepada Roller Coaster tanpa harus ia beri tahu.
“Penuh sekali,” jawab Karsa cepat. “Aku hampir tidak bisa melihat penampakan kereta cepat itu. Dan saat aku berhasil melihatnya ….”
Mendadak Karsa terdiam. Kedua alisnya menukik ke dalam, membentuk banyak kerutan di keningnya.
“Kenapa berhenti? Lanjutkan ceritamu!” Adira mulai merasa gusar melihat perilaku Karsa yang aneh.
Jika biasanya Karsa akan selalu melakukan apa pun yang Adira perintahkan kepadanya hanya dalam hitungan detik, kali ini tidak. Pemuda itu sibuk mengingat kembali apa yang tidak sengaja ia lihat di wahana kereta cepat.
Awalnya, ia menganggap semuanya terlihat biasa. Namun, saat kini ia akan menceritakannya kepada Adira, barulah ia merasa ada sesuatu yang janggal.
“Seumur hidup, aku tidak pernah melihat seseorang naik Roller Coaster menggunakan kaca mata, masker, dan topi serba hitam,” gumamnya di dalam hati.
Hingga terdengar suara berdebum dari kejauhan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments