Beberapa minggu sebelumnya ….
“Raawrr!”
“Aaaah! Astaga!”
“Abian! Gak lucu, tahu!”
Suara tawa Abian yang terus diteriaki oleh para siswi menggema ke seluruh sudut ruang kelas bernuansa biru tua itu. Beberapa siswi bahkan tidak segan-segan memukul Abian, baik dengan tangan kosong maupun menggunakan benda-benda yang ada di sekitar. Seperti tempat pensil, penggaris besar milik guru, hingga tas penuh buku. Namun, seakan berbagai serangan yang dilancarkan padanya hanyalah sebuah gigitan semut, Abian terus meneruskan aksinya menakuti teman-teman sekelas dengan topeng yang baru saja dibelinya.
Topeng tersebut hanyalah sebuah tiruan bentuk wajah yang terbuat dari plastik tipis dan diikat dengan rangkaian karet gelang. Begitu sederhana, tetapi terlihat cukup mengerikan dengan cat warna kulit gelap dan bercak kemerahan di bagian mata dan mulut yang sengaja dilubangi agar pemakai dapat leluasa melihat dan berbicara. Abian yang jahil menambahkan tinta merah gelap ke dekat mulutnya sendiri hingga tinta itu menetes setiap kali ia bergerak. Entah dari mana ia mendapatkan tinta mengerikan itu.
Dilengkapi dengan geraman yang Abian keluarkan dari tenggorokan, setiap orang terutama siswi yang berada di sana menjerit ketakutan bahkan berlari ke luar kelas. Beruntung, tidak ada guru di seluruh kelas yang berada di kawasan yang sama. Jika ada, mungkin Abian akan tertangkap basah telah mengacaukan kedamaian sekitarnya.
“Abian! Letakkan topeng jelek itu! Kamu dapat dari mana, sih?” tegur Adira yang sudah tidak tahan hanya duduk berdiam di sudut kelas. Ia melemparkan penghapus karet besarnya hingga telak mengenai kepala Abian. Kening gadis itu berkerut, menemani bibirnya yang juga sedikit melengkuh ke bawah. Wajahnya sedikit merona oleh amarah, sebab kegiatan belajarnya telah terusik.
Abian hanya mengusap pelan bagian kepalanya yang terkena penghapus. Ia tidak merasakan sakit sama sekali. Siswa tersebut malah kembali tersenyum dengan angkuh.
“Oh, ini? Tadi di jalan aku lihat ada kelompok teater SMA sebelah yang sedang berjualan berbagai aksesoris. Kalau tidak salah, di spanduk mereka ada tulisan ‘Teater Pancarona’, gitu. Karena sepertinya menarik, jadi kubeli saja,” jawab Abian panjang lebar. Ia melepas topeng yang dikenakan dan mengelap noda merah yang masih tersisa di mulut dan dagunya. Tentu saja setelah berusaha menakuti para siswi yang masih berada di dekatnya.
“Bisakah kamu fokus saja pada ujian kenaikan kelas yang akan datang? Dari pada terus bermain-main dengan benda tidak penting seperti itu!” Adira menghela napas berat sambil membanting buku-bukunya ke atas meja. Buku dengan angka 10 tertera di setiap sudut sampulnya itu tampak sudah kumal dan kusut.
Abian malah semakin tertawa jahil. “Santai saja, Dir. Kita hanya akan naik ke kelas 11, bukannya bakal ujian masuk perguruan tinggi. Main-main sedikit bagus untuk mentalmu,” ucapnya sambil terkekeh. “Lagipula, kalian harusnya berterima kasih padaku.”
“Terima kasih untuk apa?” tanya Karsa yang baru saja datang dengan dua gelas minuman dalam kemasan plastik di tangannya. Dengan santai pemuda tampan itu berjalan melewati Abian dan meletakan salah satu minumannya di meja Adira. Setelah itu ia mendudukkan diri di bangku samping gadis itu.
Firda yang melihat itu hanya memutar bola matanya sendiri dengan sebal. Tanpa mengucapkan apa pun, ia mengambil minuman itu untuk ia minum sendiri. Mengabaikan tatapan Karsa yang seolah siap untuk memukulnya saat itu juga.
Namun, satu senyuman dari Adira membuat pemuda tampan itu kembali terdiam.
“Terima kasih minumannya, Karsa. Tapi aku sedang tidak ingin minuman manis, takutnya nanti aku mengantuk.”
Mendengar ucapan Adira, terpaksa Karsa terdiam dan menyeruput jus buah di tangannya.
“Sudah pendekatannya? Kalian kapan jadiannya, sih?” Abian yang merasa tidak lagi menjadi pusat perhatian berdecak kesal.
Padahal ia telah susah payah membuat riuh suasana, tetapi hanya dalam beberapa detik, Karsa kembali menjadi sorotan terutama di mata para siswi.
“Mereka gak lagi pendekatan, jadi gak akan jadian.” Firda yang menjawab. Bersikap bagaikan seorang manajer yang mewakili artis yang bekerja dengannya. “Sudah, teruskan saja ucapan konyolmu tadi. Soal … apa? Aku sampai lupa.”
Binar kembali terlihat di kedua mata Abian. “Apa kalian tidak penasaran apa makhluk-makhluk mengerikan seperti vampir, zombie, dan makhluk abadi lainnya itu benar ada di dunia nyata?”
“Tidak, tuh. Karena semua itu hanyalah khayalan. Kisah fiksi! Ya, kan, Dir?”
Adira menatap Firda yang bertanya padanya. Ia terlihat berpikir sebentar sebelum akhirnya menjawab. “Iya, sepertinya begitu. Sebab aku belum pernah membaca tentang makhluk seperti itu dari semua ensiklopedia yang telah kubaca.”
Abian yang sedari tadi masih duduk di meja barisan paling depan mendadak berdiri dengan mata membelalak. Tangannya menyugar rambutnya dengan kasar selagi ia melangkah mendekati bangku Adira. “Ya, ampun. Tentu saja kamu tidak akan menemukannya di buku seperti itu! Sebab keberadaan mereka itu rahasia yang paling rahasia di dunia ini!” Abian terus meracau dengan suara keras.
Siswa lain yang telah kembali duduk di bangku masing-masing terlihat menampakkan berbagai reaksi berbeda. Beberapa orang tampak merengut, memperlihatkan dengan jelas ketidaksukaannya pada sikap Abian yang berisik. Namun, kebanyakan dari mereka malah duduk menghadap Abian dengan binar mata yang sama dengan pemuda itu. Sepertinya, topik makhluk asing cukup membangkitkan keingintahuan mereka semua.
“Dengarkan aku, kalian semua!” teriak Abian, memanfaatkan situasi di mana ia kembali menjadi pusat perhatian. “Apa kalian tidak ingin tahu mengapa banyak film mengangkat tema zombie? Bahkan ditayangkan juga di TV lokal yang pasti bisa diakses siapa saja.”
Kening Adira kembali berkerut. Sebisa mungkin ia berusaha untuk menggali memorinya tentang berbagai film yang pernah ditontonnya. Tidak ada film tentang zombie, vampir, atau semacamnya.
“Coba pikirkan lagi! Selain untuk tujuan hiburan, media seperti televisi itu juga berfungsi untuk edukasi, kan?”
Teman-teman yang lain mengangguk. Sementara Karsa menggebrak meja di depannya dengan cukup keras. “Lalu apa? Jangan bertele-tele! Katakan langsung ke intinya!” ucapnya kesal.
Abian ikut berdecak kesal. “Ah, kalian gak peka! Maksudku, berarti mereka sengaja menayangkan film tentang berbagai makhluk mengerikan, agar kita waspada dan tahu harus berbuat apa jika suatu saat berhadapan dengan mereka di dunia nyata!”
Kali ini Adira malah tertawa. “Sudah cukup, Abian. Kamu terlalu mengada-ada!”
“Aku serius! Aku ingin berbagi semua pengetahuanku tentang para makhluk itu dengan kalian! Makanya aku membawa topeng ini untuk melakukan simulasi!”
“Simulasi apa, Bian?”
Mendadak semua siswa di kelas itu terdiam. Tidak berani bahkan untuk sekadar mengubah posisi duduk mereka yang masih menghadap Abian. Sementara sang pemuda perlahan berputar di posisinya. Bukan hanya untuk melihat siapa yang telah bertanya padanya, melainkan juga untuk mengetahui jari siapa yang kini menjewer telinganya.
Di sana, tepat di belakang Abian, berdiri guru mereka yang masih berusia muda dan selalu bersikap tegas dalam menghadapi murid yang tidak berperilaku baik. Seperti saat ini, sang guru tampak berkacak pinggang dengan ekspresi mengeras. Menatap tajam Abian yang akhirnya menghadap ke arahnya.
“Eh, B-Bu Danita,” ucap Abian gagap. Tidak menyangka bahwa rapat guru berakhir lebih cepat sehingga kini sang guru telah kembali ke kelas.
“Kenapa mendadak diam semua? Ayo, coba ceritakan hal apa yang sedang kalian bicarakan tadi. Ibu penasaran.” Bu Danita bertanya sambil melepaskan telinga Abian. Dengan sedikit menariknya kencang hingga Abian meringis.
“Bukan apa-apa, Bu.” Adira yang menjawab sambil tetap duduk di bangkunya. Gadis itu hanya mengangkat tangannya sebelum berbicara sebagai tanda memohon izin untuk bicara. “Abian hanya sedang bercanda seperti biasa.”
Danita hanya mengangkat sebelah alisnya sambil merapatkan bibir sekilas. “Hmm … bukan apa-apa, ya. Kalau begitu, bisa kita mulai pelajaran hari ini?”
“Bisa, Bu!” jawab seluruh siswa kompak. Terburu-buru Abian duduk di bangkunya sendiri agar tidak lagi mendapat teguran.
“Baik. Apa di pertemuan kemarin Ibu memberi kalian tugas yang harus dikumpulkan hari ini?”
Suasana kelas kembali sunyi. Tidak ada suara selain langkah kaki Danita yang mengenakan sepatu berhak tinggi. Semua siswa merapatkan bibir, sambil mengarahkan pandangannya ke mana pun selain ke arah sang guru.
Lagi-lagi hanya Adira yang mengangkat tangan. “Ada, Bu. Ibu memberi kami tugas untuk mengerjakan soal dari Buku Paket Matematika halaman 105.”
Hari itu seluruh kelas melempar tatapan sinis pada sang gadis penggila belajar.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments