“Semua teman sekelas kita ikut?” tanya Adira dengan kening berkerut. Ia memandang para siswa yang kini tengah memasuki bus yang berlainan. Jumlah mereka yang tampak cukup banyak hampir membuat Adira mengurungkan niat dan meminta Adnan untuk segera menjemputnya.
“Tidak semua, tapi, kan, yang berwisata hari ini bukan cuma kelas kita, tapi juga seluruh kelas 10, dari 10-1 sampai 10-10,” jawab Firda santai. Rambut pendeknya yang hampir mencapai bahu tampak terus terayun selagi ia menoleh ke sana kemari. Senyum tidak pernah menghilang dari wajahnya. Tampaknya ia benar-benar merasa bahagia hari ini.
Firda bahkan menyapa Abian, pemuda yang biasanya selalu ia marahi karena berperilaku jahil. Adira hanya bisa menggelengkan kepala melihat perilaku tidak biasa sahabatnya.
“Ngomong-ngomong, di mana Kak Adnan? Apa dia ikut wisata kali ini?” tanya Firda sambil berjalan menuju bus pertama.
Adira yang sibuk memasukkan kopernya ke dalam bagasi lantas mendengkus. “Mana mungkin! Kakakku itu siswa kelas 12, tentu saja dia lebih memilih belajar daripada ikut," ujarnya ketus. Menyembunyikan fakta bahwa ia sempat menginginkan Ardan untuk ikut pergi bersamanya.
“Wah, kalian berdua memang benar-benar bersaudara,” ucap Firda kagum sambil menepuk tangannya pelan.
Tanpa menanggapi, Adira hanya beranjak memasuki bus. Kedua matanya sibuk memindai suasana di dalam guna memilih kursi terbaik untuk dirinya dan Firda. Tidak terlalu depan, tetapi juga tidak terlalu belakang. Dan akan sangat menyenangkan jika mereka bisa duduk di dekat para siswa yang tidak banyak berbicara atau bergurau.
Namun, tentu saja tidak semua keinginannya bisa terwujud. Adira dan Firda memang mendapatkan kursi di barisan tengah, hanya saja, Abian dan kawan-kawan yang seringkali berisik duduk di dekat mereka. Sejak menyandarkan diri di kursi empuk bus, Abian sudah menceritakan bagaimana ia akan menikmati liburan mereka kali ini.
Adira memejamkan mata sejenak. Menarik napas dalam agar merasa lebih relaks, meskipun perasaannya masih tetap terasa buruk seperti saat pertama kali Adnan memintanya untuk pergi.
‘Sudah tidak ada waktu untuk mundur. Sebaiknya aku mulai mencoba untuk bersenang-senang,’ pikirnya.
“Baiklah. Anak-anak, sekarang duduk yang tenang, ya.” Danita, guru muda yang pada hari ini ditugaskan untuk menjadi pengawas sekaligus pendamping para siswa berdiri di bagian depan, bersama sopir bus yang tengah duduk bersiap di tempatnya. “Sebelum berangkat, Ibu cek kehadiran kalian dulu, ya.”
Semua siswa yang berada di dalam bus satu menjawab secara serempak. Mambuat Danita mengangguk puas dan mulai membacakan satu per satu nama yang tercantum di dalam daftar di tangannya. Tidak butuh lama untuknya memeriksa daftar kehadiran. Danita mengangguk puas setelah memastikan bahwa siswa-siswi peserta wisata yang harus naik bus nomor satu telah hadir semuanya.
“Tunggu, Bu!” Abian mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Sepertinya di bus ini ada orang yang nyasar. Dia tidak ada dalam daftar.”
Sama seperti Danita, Adira dan Firda lantas mengerutkan kening dan melihat ke arah yang ditunjuk oleh Abian. Di salah satu kursi yang berjajar di bagian belakang bus, seorang gadis cantik dengan riasan tipis di wajah tampak mengerutkan kening. Ia merangkul siswa di sampingnya dengan erat sambil memelototi orang-orang yang tengah menatap aneh kepadanya.
“Apa?” tanya Trisha ketus. “Apa aku tidak boleh di sini? Bus ini masih punya kursi kosong yang cukup!”
“Tapi kamu seharusnya bergabung dengan rombongan kelas 10-2,” celetuk Karsa.
Perlahan, ia mencoba membebaskan tangannya yang masih saja ditahan oleh Trisha. Nihil. Sang gadis sama sekali tidak berniat untuk melepasnya.
“Seharusnya kamu memanggilku ‘Kakak’! Aku ini lebih tua beberapa bulan darimu. Berapa kali harus kuingatkan?” Bibir Trisha semakin mengerucut. “Tapi gak apa-apa. Akan kubuat pengecualian hanya untukmu.”
Danita berdeham keras dengan sengaja. Berusaha untuk membuat perhatian seluruh siswa kembali fokus kepadanya. “Tidak apa-apa, Trisha. Kamu boleh di sini. Ibu yang akan memberitahu guru pengawas kelas 10-2 bahwa kamu ikut rombongan ini.”
Trisha lantas mengangguk senang sementara seluruh siswa lainnya bersorak menggodanya. Sebagian memberikan dukungan untuknya yang terus mengejar Karsa secara terang-terangan. Gadis itu menikmati semua perhatian layaknya seorang artis terkenal yang tengah menunjukkan diri di hadapan ribuan penggemar. Sama sekali tidak memedulikan Karsa yang merasa tidak nyaman.
Adira mengeluarkan ponselnya untuk mencari kegiatan lain yang mampu mengalihkan perhatiannya dari situasi konyol saat ini. Ia sungguh tidak merasa bahwa apa pun yang sedang terjadi cukup menarik perhatiannya. Alhasil, Adira memilih untuk membuka berkas materi pembelajaran yang ia simpan di dalam memori ponselnya.
Sementara Firda terus berdecak di sampingnya. “Apa-apaan itu? Cewek gak tahu malu!” omelnya. “Semua orang tahu kalau Karsa menyukaimu, sungguh berani sekali untuknya mendekati Karsa sampai seperti itu.”
“Biarkan saja. Dia berhak melakukan apa pun yang dia inginkan,” jawab Adira tidak acuh. Secara tidak langsung meminta Firda untuk diam dan membiarkannya membaca dengan tenang.
Merasa materi yang ia miliki di dalam ponsel tidak cukup, Adira lantas meraih ransel yang ia letakkan di belakang punggung. Membukanya untuk mengeluarkan salah satu buku secara acak. Terdengar Firda mendengkus di sampingnya, tetapi Adira sama sekali tidak memedulikan itu.
“Siapa yang belajar di perjalanan menuju taman wisata?” sindir Firda sambil bersedekap dada.
“Aku,” jawab Adira cuek. “Suatu saat buku-buku ini akan menyelamatkan hidupku, dan kamu akan terkejut karenanya.”
“Terserah sajalah.” Firda akhirnya menyerah dan tidak lagi berusaha untuk membuat Adira lebih menikmati perjalanan mereka kali ini. Adira dan buku memang sangat sulit dipisahkan, terutama di saat waktu luang.
Lagipula, setelah dipikir-pikir, Firda akhirnya memahami bahwa cara bersantai setiap orang berbeda. Siapa yang tahu? Mungkin Adira memang benar-benar menemukan ketenangan dari membaca buku pelajaran.
Meskipun terdengar tidak masuk akal, Firda mencoba memercayai pikiran itu.
“Baiklah, anak-anak. Kalau perjalanan kita terus mulus seperti ini, kemungkinan besar kita akan sampai dalam waktu kurang dari tiga jam.” Suara Danita kembali terdengar ke seluruh sudut bus. Meskipun sosoknya masih terduduk di kursi paling depan. Ia tidak bisa berdiri karena bus tengah melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi. “Ibu akan memberikan sedikit gambaran tentang Taman Bermain Cakrabuana yang menjadi tujuan kita kali ini. Untuk kalian yang pernah mengunjungi taman bermain, tempat ini juga tidak jauh berbeda dengan taman bermain lainnya.”
Padahal Danita hanya mengumumkan hal yang biasa, tetapi sorak gembira terdengar dari para siswa, membuat sang guru tersenyum ceria. Danita menoleh ke belakang agar bisa melihat sekilas ekspresi anak-anak muridnya. “Taman Bermain Cakrabuana ini memiliki wilayah yang luas, dengan jumlah wahana yang cukup banyak. Mereka menyediakan bus antar wahana untuk mengantarkan para pengunjung ke mana pun. Tapi tetaplah berhati-hati. Kalian harus bepergian dalam kelompok. Dilarang pergi sendiri!”
“Siap, Bu!” sahut para siswa dengan semangat. Bahkan Adira yang masih fokus membaca juga ikut menjawab dengan nyaring.
Tiba-tiba ia merasakan ponsel dalam sakunya bergetar. Adira mengeluarkan benda pipih itu dan melihat pesan masuk.
“Hati-hati di jalan, dan selamat bersenang-senang! Jangan terus-terusan membaca buku!” Gadis itu membaca pesan di ponselnya dengan suara pelan.
Ia lantas memutar bola matanya sendiri dengan malas. “Bagaimana bisa Kak Adnan tahu segalanya tentangku? Mungkin sebenarnya ia juga bisa meramal masa depan.”
Seandainya Adira tahu, bahwa Adnan akan benar-benar berharap ia bisa melakukan ramalan. Mungkin dengan begitu ia tidak akan mengirim sang adik pergi seorang diri.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments