“Kenapa Kakak selalu ingin makan siang denganku? Apa Kakak tidak punya teman?”
Gadis itu berkata dengan ketus sambil menaruh nampan berisi makan siangnya di atas meja. Sementara pemuda di depannya melakukan hal yang sama dengan senyum lembut yang tidak pernah meninggalkan wajahnya.
“Apa salahnya seorang kakak ingin menghabiskan waktu bersama adik kandungnya?” tanya pemuda itu tenang.
“Tapi Kak Adnan, kan, selalu bertemu denganku di rumah! Jangan membuatku terlihat seperti adik yang dingin yang terus menghindari kakaknya.” Bibir Adira mengerucut sebelum akhirnya ia menyeruput jus jambu menggunakan sedotan plastik berwarna senada dengan warna jus itu.
Kedua mata gadis itu melihat sekeliling. Keramaian di antara mereka yang begitu bising di telinga seharusnya membuatnya tidak nyaman. Namun, Adira merasa lebih baik karena berada di dekat kakaknya. Meskipun tidak sedikit pun bibirnya menyampaikan hal itu pada yang bersangkutan.
Adnan selalu begitu. Pembawaan pemuda itu yang tenang menular pada orang di sekitarnya. Tidak terkecuali Adira. Hanya saja, mereka tidak biasa bersama saat di sekolah. Terlanjur terbiasa sibuk dengan urusan masing-masing. Oleh karena itu, Adira merasa sedikit tidak tenang saat tiba-tiba sang kakak menghampirinya ke kelas tepat saat bel tanda waktu istirahat berbunyi.
Melihat Adira terus menolak menatapnya, Adnan mengulurkan tangannya untuk menepuk pelan puncak kepala sang adik. “Iya, iya. Kali ini aja, kok. Besok kamu boleh makan siang bareng teman-temanmu lagi, ya.” Adnan tertawa saat Adira menepis tangannya dengan kasar. “Lagipula siapa yang minta kamu buat makan terpisah dari teman-teman? Kakak gak keberatan berkenalan dengan mereka.”
“Ih, aku yang keberatan! Nanti kejadian di SMP dulu keulang lagi. Aku capek harus jadi pengantar surat cinta teman-temanku untuk Kakak!” amuk Adira sedikit melebih-lebihkan.
Gadis itu memang tidak suka menjadi tukang pos pribadi kakaknya, tapi ia lebih benci jika suatu saat memang benar-benar ada gadis yang akan mengalihkan perhatian sang kakak darinya.
Posesif? Entahlah. Sampai saat ini Adira tidak merasa ingin mengikat sang kakak, tetapi rasa takut kehilangan pasti akan terus ada di benaknya.
Tiba-tiba Adnan tertawa keras hingga raut wajah Adira semakin merengut. Kedua alis tebal gadis itu terlihat menukik ke tengah, mengingatkan Adnan akan posisi burung saat bersiap untuk terbang. Pipi Adira juga terlihat sedikit mengembung saat bibirnya cemberut. Membuat sang pemuda harus bersusah payah untuk menghentikan tawa hingga air menggenang di kedua sudut matanya.
Sungguh, adik perempuan satu-satunya ini terlihat sangat menggemaskan saat sedang marah.
“Oke, Kakak mengerti. Kalau soal itu Kakak gak bisa berbuat apa-apa. Bukan salah Kakak terlahir terlalu tampan,” ucap Adnan penuh kebanggaan. Meskipun jari-jarinya terus mengusap hidungnya karena merasa canggung.
Di permukaan, Adnan memang terlihat percaya diri. Sama sekali berbeda dengan identitas aslinya sebagai remaja yang mudah salah tingkah.
Adira yang baru saja akan menyantap nasi goreng mendadak menyimpan sendok di tangannya dengan kasar. “Kalau Kakak terus seperti ini, aku pergi!”
“Eh, jangan!” Tangan Adnan menahan Adira pergi selagi matanya menatap penuh penyesalan. Meskipun sudut bibirnya masih saja berkedut menahan tawa. “Diam dulu sebentar. Sebenarnya, Kakak ada permintaan.”
Tentu saja ucapan Adnan itu sukses membuat Adira kembali terdiam. Kedua mata gadis itu membulat penuh rasa ingin tahu. Tanpa sadar, ia juga mencondongkan tubuh agar lebih dekat dengan sang kakak yang duduk di seberangnya. Namun, ukuran meja yang cukup lebar mencegahnya untuk banyak mengurangi jarak di antara mereka.
“Tumben. Kakak tidak pernah meminta apa pun padaku.” Kedua mata Adira tampak mengerjap kebingungan.
Adnan tersenyum melihat ekspresi adiknya. Ia lalu mengeluarkan sebuah selebaran yang ia lipat sedemikian rupa dari dalam saku celana panjang abu-abu yang dikenakannya.
Dalam prosesnya, ia memukul seekor semut yang berjalan di atas meja, dan meniupnya pergi.
Adira bergidik jijik melihat kelakuan kakaknya sebelum ia menatap dengan saksama kertas tebal penuh warna yang kakaknya bentangkan di hadapannya. Kertas itu tampaknya hanya memiliki panjang dan lebar yang tidak lebih dari lima belas sentimeter. Namun, halamannya memuat begitu banyak informasi, terlihat dari padatnya tulisan serta
gambar yang berada di sana.
Hanya melihat sekilas Adira tahu kertas apa itu. Sebab ia dapat melihat dengan jelas berbagai foto yang terpampang di sana.
“Kenapa Kakak memperlihatkan ini padaku?”
Adnan merapatkan bibirnya sekilas sebelum menjawab pertanyaan Adira. “Kakak mau kamu ikut acara wisata yang diadakan sekolah kali ini, Dir,” pinta Adnan lembut. "Pihak OSIS sudah mengusahakan liburan ini khusus untuk angkatan kalian."
Adira mengambil selebaran itu dari tangan kakaknya. Matanya melebar melihat warna-warna terang mewarnai berbagai bentuk yang terpajang. Salah satu hal yang paling mencolok adalah kumpulan patung kuda yang saling terhubung dengan tiang dalam posisi melingkar.
Sebuah korsel yang menjadi ciri khas taman bermain.
Sontak gadis itu menggelengkan kepala. “Tidak. Untuk apa? Hanya membuang-buang waktu.”
Sesungguhnya Adnan sudah menduga Adira akan menolaknya dengan tegas. Namun, tetap saja pemuda itu merasakan perih di hatinya. Ia menghela napas panjang sebelum kembali menatap sang adik. “Dir, tidak ada salahnya untuk bersantai sesekali. Jangan terus memaksakan dirimu untuk menjalani hidup sesuai jadwal dan rencanamu akan masa depan,” ucapnya dengan ekspresi sendu.
Adnan tidak tahu dengan pasti, kapan adiknya berubah menjadi seseorang yang ‘gila’ belajar hingga tidak lagi banyak menghabiskan waktu untuk bermain dan berjalan-jalan, layaknya gadis seusianya. Dan hal itu membuat Adnan sedih sekaligus khawatir. Ia tidak mau kelak adiknya menyesal telah membuang masa remajanya yang sangat berharga.
Karena itulah, kali ini, Adnan tidak akan mengalah. Ia akan membuat Adira mengikuti permintaannya, tidak peduli sekeras apa pun gadis itu menolak.
“Aku santai, kok. Kakak sendiri tahu, aku tidak punya ambisi untuk menjadi yang terbaik atau semacamnya. Aku hanya ingin membuat orang tua kita bangga. Apa tujuan seperti itu berbahaya untukku?”
“Bukan santai namanya kalau kamu sampai tidak sempat bersenang-senang bersama teman-teman seusiamu.
Ayolah, Dir. Perjalanan kali ini tidak akan memakan waktu lama. Semua akan berakhir sebelum kamu menyadarinya.”
Tiba-tiba Adira tertawa. “Kalau tiba-tiba berakhir tanpa terasa begitu, apa gunanya? Lebih baik aku gunakan waktunya untuk belajar dan mengerjakan latihan soal.”
“Adira! Kamu tahu maksud Kakak bukan seperti itu.”
Sejenak Adira terdiam. Terkejut mendengar sang kakak yang membentaknya. Meskipun suara Adnan tidak cukup keras untuk mengalahkan keramaian di kantin, tetapi tetap saja membuat Adira tersentak. Sebelumnya sang kakak sama sekali tidak pernah meninggikan suara saat berbicara padanya.
Keterkejutan Adira mungkin terpampang jelas di wajahnya, sebab detik berikutnya Adnan mengusap wajahnya dengan gusar dan kembali menatap Adira dengan tatapan lembut. “Kakak tidak ingin memaksa, tapi-“
“Apa bersenang-senang sebegitu pentingnya untukku?” tanya Adira tanpa menunggu kakaknya menyelesaikan
ucapannya.
Adnan mengangguk dengan pasti. “Tentu. Tidak mungkin Kakak menyarankan sesuatu yang tidak baik untukmu.”
“Tapi sekarang Kakak sudah kelas 12, jadi Kakak tidak akan ikut acara apa pun selain perayaan kelulusan nanti, bukan?”
Adnan menghela napas kencang. “Benar.”
Tiba-tiba Adira memukul meja dengan tangannya yang masih mencengkeram selebaran itu. “Bagaimana aku mau
ikut kalau Kakak tidak ada? Nanti kalau ada apa-apa, siapa yang akan menjagaku?”
Tampaknya perdebatan mereka sudah terlalu intens hingga mulai menarik perhatian orang-orang di sekitar. Beberapa siswi bahkan secara terang-terangan menatap ke arah mereka berdua.
Sebagian menatap Adnan dengan penuh kekaguman, sementara sebagian lainnya menatap Adira dengan iri.
Tentu saja Adnan dan Adira bukanlah orang yang peduli akan pandangan orang lain. Mereka tetap meneruskan pembicaraan tanpa merasa terganggu.
Senyum kembali terukir di bibir Adnan, kali ini tanpa dilengkapi dengan ekspresi mengejek. “Adira, kamu cuma akan pergi jalan-jalan, bukannya berperang! Memangnya akan ada bahaya apa yang menimpamu?”
Adira membuang wajahnya sambil bersedekap dada. Ia tahu ia bersikap tidak rasional, tetapi ia merasa begitu kesal dengan sikap sang kakak hingga mengatakan apa pun yang muncul di kepalanya.
“Siapa yang tahu? Dunia ini penuh oleh orang jahat, Kak.”
Adnan terdiam sejenak. Membiarkan Adira larut dalam emosinya, selama ia mencari cara untuk menenangkan sang adik.
Akhirnya, ia menunjuk ke arah ponsel Adira yang tergeletak di atas meja.
“Dunia saat ini sudah sangat canggih, Adira. Jika terjadi sesuatu, kamu selalu bisa menghubungi Kakak.”
Ucapannya sepertinya cukup ampuh. Sebab Adira kembali mau menatap sang kakak. Meski cemberut masih menghiasi wajahnya.
“Kakak selalu siap untuk mendatangimu kapan pun kamu butuh,” lanjut Adnan. “Kamu bisa pegang janji Kakak.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments