Teriakan terus terdengar dari berbagai arah, hingga Adira tidak mampu lagi menentukan ke mana kakinya harus melangkah. Rambutnya sudah lama terlihat kacau seiring tangannya terus menyugarnya dengan gusar. Seragam yang melekat di tubuhnya kini tidak lagi tampak putih bersih. Berbagai noda mewarnai hingga label nama yang tertera di bagian dada hampir tidak lagi dapat terbaca. Gadis itu menyingkirkan debu yang menutupi tulisan di sana: “Adira Marwa B.”
Entah sampai kapan Adira akan mempertahankan nama itu melekat pada seragamnya. Karena tampaknya, ia tidak akan memerlukannya lagi setelah hari ini.
Tidak akan ada yang peduli dengan nama untuk dipanggil. Bahkan Adira tidak yakin, apakah masih akan ada makhluk yang paham apa itu nama setelah semua yang terjadi.
“Dir, apa yang harus kita lakukan? Aku tidak melihat satu pun teman kita maupun Bu Danita di sekitar.” Firda terus mengguncangkan pundak Adira sambil berlari di sampingnya. Kedua bola matanya bergetar melihat pemandangan yang menyambut mereka berdua.
Adira menggigit bawah bibirnya dengan gelisah. Menyesali keputusan guru dan teman-temannya yang terlalu terburu-buru hingga membuat mereka semua terpisah sesaat setelah melangkah keluar dari tempat persembunyian.
Sebisa mungkin gadis itu melihat situasi di sekitar. Belum lama sejak kekacauan terjadi, tetapi Adira sama sekali tidak lagi dapat mengenali tempat di mana kini ia berada. Asap hitam mengepul di beberapa tempat, menyesakkan napas siapa pun yang terpaksa menghirupnya. Aspal yang semula terlihat bersih kini ternodai banyak cairan yang sebagian besar berwarna merah pekat. Aksesoris khas taman bermain yang seharusnya menampilkan keceriaan kini sama sekali tidak terlihat menyenangkan, bergeletakan dengan warna-warna yang tidak lagi dapat dikenali. Adira sama sekali tidak ingin mengakui bahwa gundukan di atas jalanan sekitarnya adalah tubuh-tubuh tidak bernyawa.
Sebuah boneka gadis kecil yang sudah sangat lusuh tergeletak tidak jauh dari tempat Adira dan Firda berlari. Boneka itu terus mengeluarkan suara menyerupai tangisan yang terputus-putus.
Terdapat beberapa zombie bergerak mendekati kedua gadis itu dari berbagai arah. Beberapa dari mereka melangkah lambat dengan menyeret kaki, sementara sebagian besar di antaranya berjalan cepat meski terkadang oleng dan menabrak satu sama lain sambil terus meraung. Kengerian yang Adira rasakan tidak bisa digambarkan lagi. Refleks tangan bergetarnya meraih Firda, memaksa temannya itu untuk meningkatkan kecepatan.
Kedua gadis itu berlari dan berlari secepat yang mereka bisa. Mengabaikan rasa lelah dan sakit dari tubuh mereka. Terutama bagian punggung yang terus terantuk oleh ransel yang bergerak seiring mereka berlari. Deru napas mereka sangat kencang hingga mereka tidak dapat mendengar suara lainnya dengan jelas. Namun, satu hal yang pasti, para makhluk yang tengah mengejar mereka terus menggeram dan menjerit dengan mengerikan. Sekilas melihat saja Adira tahu benar, bahwa semua zombie itu telah bersiap untuk melahap mereka dengan mulut menganga.
Dari kejauhan, terlihat sebuah lingkaran besar berjeruji raksasa. Sontak Adira berdecak kesal menyadari bahwa mereka kembali berada di arena bianglala.
“Kita tersesat, bukan?” tanya Firda di sela napasnya yang terengah-engah.
“Tidak apa-apa. Kita hanya harus terus berlari. Kecepatan para makhluk itu ternyata tidak secepat yang Abian ceritakan.”
“Tapi … aduh!” Firda tersandung kakinya sendiri hingga jatuh tersungkur ke atas tanah. Beruntung, rok abu-abu yang dikenakan Firda cukup panjang untuk menutupi bagian lututnya. Luka goresan yang timbul tidak begitu besar meski tetap saja gadis itu meringis dan harus berjalan dengan tertatih.
Tidak butuh waktu lama sampai para makhluk mengerikan itu berhasil mendekati mereka.
Dengan segala kekuatan yang mereka punya, para gadis itu terus berusaha untuk menghadang serangan. Adira mendorong keras zombie yang wajahnya tertutupi oleh rambut pirang panjang. Sementara Firda menendang kuat pria mengerikan yang menyeret tubuhnya sendiri ke arah dua gadis itu.
Adira dan Firda saling melindungi dengan punggung menempel satu sama lain.
“Mereka terlalu kuat!” teriak Firda.
Meski tidak menanggapi apa pun, Firda tahu benar bahwa Adira juga merasakannya. Sebab, setengah mati Firda menahan tubuhnya agar tidak terdorong oleh tubuh Adira yang terus menekannya dari belakang.
Tidak tahan lagi, Adira melepas ranselnya. Memukulkannya ke arah zombie di depannya, dan melemparnya pada zombie yang menyerang Firda.
Ransel yang terisi penuh oleh buku-buku pengusir kebosanan selama di perjalanan itu membuat kedua zombie terjatuh sambil terus meraung.
Terburu-buru Adira menarik sahabatnya untuk berbelok ke arah semak belukar. Duri tanaman tersebut menggores kulit putih mereka berdua, tetapi mereka terlalu panik untuk sekadar meringis meratapi perih yang tidak seberapa.
Terdiam kedua sahabat itu dalam posisi berjongkok. Memanfaatkan tebalnya semak-semak untuk menutupi sosok mungil mereka. Firda mengusap dadanya pelan sambil berusaha mengatur napasnya untuk kembali tenang. Sementara Adira memasang kedua matanya untuk mengawasi pergerakan makhluk-makhluk mengerikan di luar sana.
Para ‘manusia’ berlumur darah itu tampak tidak lagi memaksakan tubuh mereka untuk berlari. Seorang perempuan dengan rambut berantakan yang tadi sempat mengejar Adira dengan tubuh miring ke samping kini tampak hanya berputar di tempat. Sesekali tubuhnya terlihat mengejang dan suara melengking keluar dari bibirnya yang meneteskan banyak cairan merah.
Kedua mata Adira membelalak melihat itu. Ia kemudian kembali memperhatikan zombie lainnya. Tidak jauh berbeda, para makhluk yang semula mengejar mereka dengan ekspresi menampakkan kebengisan kini tampak sibuk sendiri dan berjalan ke sana kemari dengan jauh lebih tenang.
Adira melihat situasi tersebut sebagai kesempatan. Tanpa pikir panjang gadis itu menarik temannya untuk kembali berdiri.
“Eh, mau kemana?” bisik Firda panik.
Namun, Adira dengan tidak acuh bersiap pergi. Hingga tanpa sengaja ia menyenggol tiang kayu ramping penunjuk jalan di dekatnya.
Tiang yang telah berkali-kali menjadi sasaran kekerasan saat serangan dimulai itu tidak cukup mampu untuk tetap berdiri setelah bertubrukan dengan Adira.
Brak!
Suara jatuhnya tiang tersebut ke atas tanah membuat Adira dan Firda kembali menjadi sasaran empuk semua zombie di sekitar.
Waktu seakan berhenti sejenak saat seluruh kepala menoleh pada mereka.
“Sembunyi di balik reruntuhan dekat korsel!” Adira berteriak dengan seluruh tenaganya.
Kompak kedua sahabat itu berlari. Sekuat tenaga Firda mengabaikan seluruh rasa sakit agar tidak menyusahkan Adira. Namun, tiba-tiba Firda melebarkan matanya saat tidak mendapati Adira di sampingnya.
“Korsel di sebelah kanan sana! Kamu mau ke mana?!” Dengan kesal Firda menyusul Adira yang terus berlari ke arah yang berlawanan dari tujuan mereka.
“Aku tidak tahan hanya diam dan sembunyi. Aku harus mencari sesuatu untuk membela diri di pusat pertokoan.”
“Baiklah, aku akan ikut denganmu,” ucap Firda sambil menarik Adira yang hampir saja tersandung oleh tubuh-tubuh kaku yang tergeletak.
Adira menahan jeritannya. Mendadak perutnya terasa mual saat indera penciumannya kembali merasakan bebauan yang amis dan menusuk. Sebisa mungkin ia memfokuskan diri pada sahabatnya yang terus memegang tangannya. “Tapi … ini berbahaya,” ucapnya pelan.
Susah payah Firda menatap sahabatnya dengan senyum tipis. Meskipun seluruh bulu kuduknya meremang saat ia merasakan sepatunya basah oleh genangan cairan yang diinjaknya. “Tidak apa-apa. Berdua lebih baik daripada sendirian, Ra.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments