Saat tiba gilirannya, Fikram melangkahkan kaki melewati gerbang kecil pembatas rel Roller Coaster dengan tempat pengunjung menunggu giliran. Dengan santai ia berjalan meskipun penjaga wahana menatapnya dengan aneh. Tentu saja. Pengunjung Taman Bermain mana yang menggunakan baju serba hitam seperti dirinya? Apalagi saat ini wajahnya hampir tidak terlihat dengan semua aksesoris yang ia kenakan.
“Maaf, Pak. Boleh buka topi, kaca mata dan maskernya sebentar?” tanya salah satu pegawai di sana yang mengenakan kaus berkerah bergambar maskot Taman Bermain Cakrabuana.
Meski malas, Fikram menuruti perintah pegawai tersebut. Lagipula, ia memang tidak perlu berusaha keras menutupi identitasnya. ‘Orang besar’ yang mendukungnya dari belakang tidak akan membiarkannya tertangkap begitu saja. Dan tempat yang ia pilih sebagai lokasi transaksi kali ini sama sekali tidak akan mengundang kecurigaan orang lain.
Sejak awal, Fikram berpenampilan serba tertutup hanya karena ingin. Ia selalu membayangkan bagaimana rasanya jika ia menjadi mata-mata rahasia yang memiliki kesan misterius serta identitas rahasia pula. Oleh karena itu hari ini ia berdandan menyerupai penampilan mata-mata yang ia ketahui dari film layar lebar.
“Sudah cukup, Pak. Anda boleh pakai kembali maskernya, tapi tidak dengan topi serta kaca mata. Karena dikhawatirkan benda tersebut akan terbang tertiup angin nantinya.” Pegawai tersebut mengembalikan semua barang kepada Fikram yang hanya mengangguk sebelum menaiki salah satu tempat duduk yang masih kosong di atas Roller Coaster.
“Barisan ketiga dari depan.” Terburu-buru Fikram mengirimkan pesan menggunakan ponselnya. Ia menyimpan kembali telepon pintarnya itu ke dalam saku, tepat sebelum Roller Coaster melaju.
Wahana berkecepatan tinggi itu bukan apa-apa bagi Fikram yang sudah menaiki berbagai wahana ekstrem berkali-kali. Tidak peduli seberapa menakutkannya jalur yang dilewati, Fikram tetap tampak tenang dan menikmati perjalanannya. Memandang penampakan Taman Bermain yang dapat ia lihat saat kereta berjalan naik. Jalur wahana itu sendiri berada di tempat yang sedikit lebih tinggi dibandingkan yang lainnya, sehingga Fikram kini berada di ketinggian yang cukup untuknya melihat banyak wahana dan pengunjung lainnya.
“Sulit dibayangkan, dari ribuan orang yang berada di sini …,” gumam Fikram dalam hati. “Lebih dari setengahnya adalah pengguna. Memang pihak pengelola cerdas sekali. Di tempat seperti ini, pengguna tidak akan terlihat mencurigakan, karena hampir semua orang sering menggila saat bersenang-senang di Taman Bermain.”
Saat Roller Coaster melewati jalur menurun dengan kecepatan tinggi serta berputar 360 derajat, Fikram hanya menikmatinya sambil bersenandung pelan. Senyum tipisnya tertutupi masker hitam pekat yang terus ia betulkan letaknya.
Fikram pergi meninggalkan wahana setelah kereta cepat itu telah berhenti. Sekilas melirik ke arah kursi tempatnya tadi, melihat seorang pria tampak dengan santai mengambil benda yang ia tinggalkan di sana. Fikram mengepalkan tangannya ke udara. “Satu transaksi lagi beres.”
Fikram berjalan menuju wahana lainnya yang berada tidak terlalu jauh dari Roller Coaster. Ia berniat menaikinya hanya sebagai pengisi waktu luang sebelum ia harus kembali menaiki Roller Coaster guna meninggalkan dagangannya kembali untuk diambil pelanggannya yang lain.
Seluruh pembeli Fikram selalu mengirimkan pembayaran di awal, melalui perantara yang telah dikunci mulutnya menggunakan uang. Sehingga Fikram tidak perlu repot-repot memikirkan cara untuk menerima pembayaran dari pembelinya.
“Seandainya bukan hal ilegal, aku ingin melakoni profesi ini seumur hidupku,” ucapnya di sela-sela mulutnya menguap. Ia kini sedang berada di wahana yang terlihat seperti dikhususkan untuk anak-anak. Sebab meskipun ukurannya cukup besar, wahana tersebut membawanya terbang tinggi dengan sebuah kendaraan yang berbentuk pesawat kecil. Dengan gabungan warna putih dan biru, pesawat tersebut tampak persis seperti kapal terbang yang digambar oleh bocah berusia 5 tahun. Meskipun begitu, Fikram terus menahan rasa bosannya dan naik wahana tersebut berulang-ulang.
Setelah dirasa cukup, ia akhirnya berhenti dan kembali mengantre di depan wahana Roller Coaster. Sesekali ia memeriksa jam yang melingkar di tangannya, memastikan bahwa ia tidak terlambat. Kemudian ia mengulang semua langkah yang telah ia lakukan sebelumnya.
Sayangnya, kali ini semua tidak berjalan dengan mulus seperti seharusnya. Saat Fikram baru saja keluar dari kereta dan berbalik untuk memastikan pembelinya datang tepat waktu untuk mengambil barang, ia melihat seorang pemuda ditegur oleh petugas wahana. Pemuda yang sepertinya baru pertama kali melakukan transaksi itu lantas terlihat panik, mengangkat kedua tangannya ke atas hingga menjatuhkan barang berharga yang telah menguras tabungannya.
Fikram mendengkus dan mempercepat langkahnya. Tugasnya hanyalah mengantarkan barang ke tempat yang ia janjikan. Selebihnya, ia tidak mau lagi berurusan. Apakah pembeli berhasil menggunakan barang itu atau tidak, bukan urusan Fikram. Apalagi jika pembeli itu sendiri yang bertindak ceroboh.
Sementara itu, sang pembeli amatiran kini nekat mengambil kembali barang yang dibelinya dan melarikan diri dari kejaran petugas. Dengan cekatan ia melompati pagar pembatas dan menerjang para pengunjung yang telah mengantre. Tidak banyak yang tahu apa yang tengah terjadi, tetapi banyak wanita dan anak-anak menjerit karena tersenggol maupun terinjak orang lain yang pemuda itu dorong.
“Sial! Sial! Aku harus ke mana?”
Kini yang mengejarnya bukan hanya satu sampai dua orang. Beberapa petugas keamanan telah dipanggil untuk menangkapnya. Tentu saja semua petugas tetap berusaha untuk tidak menimbulkan keributan. Mereka berpencar agar tidak terlihat mencolok.
Kondisi Taman Bermain yang penuh membuat para petugas kehilangan jejak sang pemuda.
“Aku ambil ini! Ini uangnya! Ambil kembaliannya!” ucap sang pemuda. Terburu-buru menyerahkan beberapa lembar uang dan mengambil sebuah topi hitam yang langsung ia pakai.
Ia kembali berlari dan berlari. Hampir mengelilingi setengah dari seluruh wilayah Taman Bermain. Di balik topinya, kedua matanya terus melihat sekeliling dengan awas. Seluruh tubuhnya mulai bergetar ketakutan. Apa yang akan terjadi jika sampai ia tertangkap? Apa yang akan dikatakan oleh orang tuanya? Apakah ia akan menghabiskan sisa hidupnya terperangkap di dalam penjara? Semua pikiran buruk kini memenuhi benaknya.
Tepat setelah ia tidak lagi sanggup berlari, ia sampai ke sebuah tempat yang tampak memiliki pengunjung cukup banyak untuk menyembunyikan sosoknya. Di sekitarnya juga terdapat banyak semak serta tumbuhan yang meskipun terlihat kekeringan tetapi cukup untuk menutupi tubuhnya yang berjongkok di atas tanah. Pemuda itu terus meringkuk, membuat dirinya mengecil agar tidak mudah ditemukan.
Namun, nahas. Mungkin nasibnya memang tidak beruntung atau ia tidak cukup andal untuk bersembunyi. Saat ia menyembulkan sedikit kepalanya untuk memeriksa situasi, ia bertatapan dengan seorang satpam yang lantas berteriak dan berlari ke arahnya. Pemuda itu akhirnya kembali bangkit. Tanpa sengaja melepaskan pegangan dari benda yang menjadi pemicu masalahnya kini.
Bungkusan hitam itu terjatuh hingga pecah. Isinya berserakan, menyebarkan warna putih menyilaukan di atas tanah. Pemuda itu mengumpat dalam hati. Dan mencoba untuk memungut semuanya. Namun, tidak ada waktu. Akhirnya ia membawa sebagian dengan kedua tangannya dan membiarkan sisanya.
Ia kembali melarikan diri, tanpa menyadari bahwa kedua tangannya tidak cukup tertutup rapat untuk menahan serbuk-serbuk putih yang ia bawa. Sedikit demi sedikit, serbuk itu lolos dari genggamannya, menghiasi setiap jalan yang ia lewati.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments