“Perhatikan Ibu, anak-anak!” perintah Danita. Ia berusaha mengeraskan suaranya agar terdengar jelas di tengah keramaian yang terdengar dari berbagai wahana Taman Bermain. “Sebelum pergi, ambillah selebaran yang berisi peta Taman Bermain ini!”
Danita membagikan selebaran yang menumpuk di dekat plang yang menunjukkan lokasi berbagai wahana, jalur evakuasi, unit kesehatan, pusat perbelanjaan dan makanan, hingga kamar kecil yang tersebar di banyak tempat. Mereka bisa saja menghafalnya dari sana, tetapi akan terlalu berisiko. Siapa yang tahu? Mungkin mereka akan segera lupa setelah bersenang-senang menaiki berbagai permainan.
Oleh karena itu, sang guru memastikan para siswanya memegang bentuk peta yang lebih kecil agar tidak tersesat. Ia bahkan menegur beberapa pemuda yang membuang selebaran secara terang-terangan.
“Kalau bisa, Ibu tidak mau menerima telepon darurat hanya karena kalian tersesat,” ucap Danita sedikit ketus. Berpikir bahwa cara ini akan berhasil membuat para siswa lebih bertanggung jawab atas keselamatan diri mereka sendiri.
“Siap, Bu!” Tidak semua siswa menjawab. Suara yang paling terdengar keras adalah suara Adira dan Firda yang terus berdiri berdampingan sejak awal mereka menjejakkan kaki ke dalam gerbang Taman Bermain.
Adira mengamati selebaran di tangannya dan peta besar di hadapannya secara bergantian.
“Apa kamu sedang menghafalnya?” tanya Firda tidak percaya.
“Inginnya, sih, begitu. Sayang, memoriku tidak sehebat itu,” jawab Adira tanpa menoleh ke arah temannya. “Setidaknya, aku harus memastikan bahwa kedua peta ini sama persis, tanpa ada perbedaan sedikit pun.”
“Astaga. Tentu saja sama.” Firda memutar bola matanya dengan malas. “Apa kamu pikir ada yang sengaja menggantinya? Kamu terlalu waspada.”
Adira sama sekali tidak terganggu mendengar komentar sinis dari Firda. Ia berkonsentrasi penuh, meskipun Danita telah memberikan izin untuk mereka mulai berpencar secara berkelompok. Kakinya sama sekali tidak melangkah sampai ia benar-benar memeriksa setiap detail yang mampu ia temukan.
“Ayo, cepat kita pergi! Sebelum aku menyesal telah mengajukan diri untuk pergi ke mana pun bersamamu!” Firda merengek sambil menarik tangan Adira. Mengeluhkan bagaimana teman-teman mereka yang lain sudah pergi sedari tadi.
Akhirnya, meski enggan, Adira membiarkan Firda mengarahkan mereka berjalan menuju tempat terdekat yang terlihat cukup ramai. Berpikir bahwa para pengunjung tengah mengerubungi wahana paling populer di tempat ini. Namun, setelah didekati, Adira dan Firda mengerutkan kening keheranan.
“Kurasa mereka membagikan minuman gratis karena masih dalam masa promosi,” celetuk Firda. “Mungkin karena Taman Bermain ini baru saja beroperasi. Kamu mau ambil sekarang?”
Adira menatap stan minuman gratis yang didominasi warna kuning cerah di depannya selama beberapa saat, sebelum akhirnya menggelengkan kepala. “Tidak. Tidak sekarang. Akan sangat merepotkan membawa gelas plastik ke mana pun,” jawabnya tegas. “Lebih baik kita mengambilnya saat kita sudah lelah dan haus setelah berkeliling saja.”
“Benar juga. Lagian kayaknya kita hanya boleh mengambilnya satu kali.” Firda lantas kembali mengeratkan rangkulannya pada lengan Adira. “Kalau begitu, kita mau main apa dulu?”
“Hmm … Roller Coaster?” tanya Adira tanpa banyak berpikir.
Firda mengibaskan tangannya dengan heboh. “Jangan langsung naik yang menegangkan! Lebih baik kita pilih wahana yang ringan dulu sebagai pemanasan,” jawabnya. Ia mengetuk dagunya beberapa kali sebelum menjentikkan jari. “Ayo, kita naik korsel dulu! Sepertinya aku melihatnya di dekat sini.”
Adira juga ingat bahwa korsel berada tidak jauh dari gerbang masuk. Mereka hanya perlu berjalan melewati patung maskot serta taman bunga tempat mereka sempat berswafoto tadi. Akan sangat efektif jika mereka menaiki wahana sesuai dengan jalur yang mereka lewati.
Oleh karena itu, meskipun Adira menganggap korsel sebagai permainan yang terlalu membosankan dan kekanakan, ia tetap menganggukkan kepala. “Kalau begitu, ayo, cepat ke sana! Biar kita juga cepat naik wahana yang lain.”
Adira yang antusias merupakan pemandangan yang sangat jarang terlihat. Tidak terkira rasa senang yang Firda rasakan. Dengan senyum lebar ia memegang tangan sang sahabat dan menuntun mereka berdua menuju tempat tujuan.
Alunan melodi yang menggema dari pengeras suara membuat Adira tanpa sadar ikut bersenandung. Langkahnya ringan saat ia berjalan menghampiri bangunan besar terdiri dari kumpulan patung kuda yang saling terhubung dengan tiang dalam posisi melingkar. Kuda-kuda itu terlihat canting dengan cat warna-warni yang terlihat ceria tanpa menyakiti mata. Patung hewan berkaki empat itu bahkan terlihat menyerupai makhluk aslinya dari pose mereka yang berbeda-beda.
Setelah melewati pemeriksaan, Adira dan Firda melewati gerbang kecil yang membentuk jalur menuju wahana tersebut. Dengan semangat mereka memilih posisi yang diinginkan. Firda memilih menaiki kuda yang tengah berdiri di atas empat kaki, sementara Adira lebih nyaman duduk di tempat yang menyerupai becak. Menganggap bahwa kursinya saat ini jauh lebih aman dibandingkan dengan menaiki punggung patung kuda.
Saat alunan musik mulai terdengar semakin nyaring, dan korsel mulai berputar, Adira dan Firda bukan lagi dua remaja yang telah menduduki bangku SMA. Melainkan dua anak perempuan yang tengah memanjakan diri dengan menikmati waktu bersama patung-patung kuda yang cantik. Berputar pelan sambil menikmati pemandangan di sekitar. Tanpa sedikit pun mengkhawatirkan angka yang tertera dalam lembar jawaban ujian, maupun pendapat orang lain tentang diri mereka. Saat ini, yang ada di pikiran mereka hanyalah bersenang-senang.
“Kukira akan membosankan, ternyata cukup menyenangkan,” ujar Adira setelah mereka turun dari korsel. Kini ia berjalan sambil menoleh ke sana kemari. Mencari tujuan mereka berikutnya.
“Tentu saja! Orang-orang yang tidak mau menaiki korsel hanya karena gengsi akan sangat merugi,” jawab Firda dengan bangga. Menatap Adira dengan wajah yang sangat berseri, sebelum ia merogoh sakunya sendiri. Mengeluarkan ponselnya yang berbungkuskan penutup berwarna hijau lembut. “Ayo, kita berfoto!”
Adira mengerutkan kening. Matanya menyipit melihat Firda telah membuka aplikasi kamera di ponselnya. “Lagi? Bukannya tadi sudah di taman bunga depan gerbang? Kita bahkan berfoto dengan patung maskot.”
Firda mendecakkan lidah sambil menggelengkan kepala. “Kamu memang tidak berpengalaman. Di saat seperti ini, kita harus banyak berfoto sebelum penampilan kita menjadi berantakan nantinya.” Gadis itu berpose dengan memegang ponselnya menggunakan satu tangan. Membuat Adira refleks menirunya. “Oh, iya. Lagipula, yang tadi kita lihat itu bukan taman bunga yang sebenarnya. Ada taman lain yang lebih luas.”
“Benar. Aku sempat melihatnya di peta. Sepertinya ada banyak berbagai macam bunga di dekat Istana Fantasi.” Adira tampak berpikir sebentar sebelum bertanya. “Mau ke sana?”
“Tentu saja! Kita tidak boleh melewatkan spot terbaik untuk mengambil foto!” jawab Firda antusias.
Dengan semangat mereka kembali berjalan. Kali ini sedikit lebih cepat, terdorong oleh keinginan mereka untuk segera mengambil foto yang bagus. Ralat. Hanya Firda yang bersemangat, sementara Adira berusaha untuk mengimbangi energi sahabatnya itu.
Sedari tadi ia mencoba untuk menikmati setiap waktunya di sini dengan memusatkan fokus tanpa memikirkan hal lain. Dan hal itu cukup berhasil, mengingat ia tadi sangat bersenang-senang saat menaiki korsel. Namun, rupanya semua itu hanya sementara. Karena lagi-lagi rasa gelisah mulai merambat di benaknya.
Apalagi setelah mereka sampai di Taman Bunga yang seharusnya terlihat indah.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments