Dengan lesu Adira melihat ke arah tumpukan barang-barang pribadi milik pengunjung yang kini bergeletakan di jalan. Terkoyak di beberapa bagian serta berhias noda tanah dan cairan kemerahan. Isinya berserakan keluar dan hampir tidak dapat lagi dikenali karena terinjak manusia yang berlari panik, maupun zombie yang mengamuk. Berbagai pikiran dan emosi berbeda berkecamuk di dalam benak Adira.
“Suatu saat buku-buku ini akan menyelamatkan hidupku, dan kamu akan terkejut karenanya.” Adira kembali teringat akan ucapannya kepada Firda saat mereka masih berada di perjalanan. Saat itu, Firda yang keheranan melihat isi ransel Adira tidak lagi bisa mengatakan apa pun setelah Adira membela buku-bukunya sampai seperti itu. Padahal ia sama sekali tidak serius dengan perkataannya, dan hanya mencoba untuk membuat Firda berhenti protes.
Namun, ternyata ucapannya kini menjadi nyata. Berkat berat dari kumpulan buku yang berada di dalam ranselnya, Adira berhasil menyelamatkan dirinya dan Firda dari serangan banyak zombie beberapa saat yang lalu. Kini mereka tengah bersembunyi di bali salah satu patung tokoh kartun di dalam pameran film animasi.
Sudah cukup lama sejak terakhir kali Adira dan Firda melihat zombie berada di sekitar, mereka tidak tahu pasti karena tidak ada jam maupun penunjuk waktu lainnya. Adira hanya tahu bahwa mereka sudah lama bersembunyi karena kedua kakinya mulai terasa sangat pegal akibat terus berjongkok. Tanpa sadar ia menghembuskan napas panjang.
“Kamu lelah? Sepertinya sudah tidak apa-apa untuk kita keluar sekarang,” bisik Firda dari arah seberang. Gadis itu berkata dengan suara yang sangat kecil, tetapi keadaan gua pameran animasi yang cukup kosong menggemakan suaranya hingga sampai ke telinga Adira dengan sangat jelas.
Tanpa menjawab, Adira langsung berdiri dan melangkah keluar dari persembunyian. Meregangkan badannya dengan sedikit mengaduh saat ia mendengar sendinya berderak. “Kenapa matahari belum juga terbenam? Rasanya sudah berjam-jam kita berlarian ke sana kemari karena dikejar para makhluk mengerikan itu.”
Firda menghampiri Adira dengan sedikit mengendap-endap. Khawatir akan menimbulkan suara yang cukup keras untuk menarik perhatian para zombie di luar sana. “Jaga ucapanmu! Siang hari saja sudah sangat mengerikan, apa lagi kalau malam? Kita tidak akan bisa kabur dengan leluasa!”
“Tapi setidaknya aku tidak akan lagi bisa melihat pemandangan seperti ini,” jawab Adira lesu sambil menunjuk barang-barang yang sedari tadi ia amati.
“Bagaimana bisa ada begitu banyak barang tapi tidak ada orang maupun mayat satu pun di tempat ini?” tanya Firda heran sambil menghampiri ransel di dekat kaki Adira. Mengeluarkan isinya untuk mencari benda yang mungkin bisa berguna. Ia akhirnya menghela napas berat karena hanya menemukan aksesoris dan barang-barang yang kurang bermanfaat. Hanya sebuah payung lipat yang ia ambil dengan niat untuk menjadikannya sebagai pemukul.
“Mungkin ada yang sempat bersembunyi di sini seperti kita, tapi harus terburu-buru pergi karena suatu hal.” Adira mencoba menata kata-katanya agar tidak menakuti dirinya sendiri maupun Firda. “Sangat disayangkan. Aku yakin, meski bagi kita semua ini terlihat tidak berarti, tapi bagi pemiliknya, barang-barang ini pasti cukup berharga,” lanjutnya sambil berjongkok dan menyentuh sebuah buket bunga yang telah rusak.
Selama beberapa saat, Firda terpaku di posisinya. Kedua matanya menatap ke bawah dengan sendu. “Maaf, gara-gara aku, kamu jadi kehilangan buku-bukumu. Aku tahu seberapa berharganya barang-barang itu untukmu,” sesalnya. Ia menundukkan kepala setelah memasukkan payung ke dalam tas punggungnya. “Kamu benar. Buku-buku itu mampu menyelamatkan kita.”
Adira mengangkat sebelah alisnya sambil tersenyum. “Ternyata kamu juga mengingatnya.”
“Bukan hanya itu, ingat apa yang kamu katakan saat aku mengeluhkan wahana arung jeram mini yang membosankan?” Firda mendengkus saat melihat Adira menggelengkan kepala. “Kamu bilang, sekali-sekali menaiki wahana sederhana itu bagus. Karena bisa saja nanti kita tidak akan menemukan lagi ketenangan seperti itu.”
Perlahan, kedua mata Adira membelalak. Dengan tangannya, ia menutup mulutnya yang menganga.
“Sudah ingat? Kenyataannya kita memang tidak lagi bisa bersantai karena nyawa kita terancam. Jadi, lebih baik mulai sekarang kamu lebih menjaga ucapanmu,” ucap Firda dengan kedua mata memicing. Menekankan setiap kata seolah ucapannya adalah perintah yang mutlak untuk dituruti. Namun, kedua sudut bibirnya tampak naik, memperlihatkan bahwa sesungguhnya ia hanya sedang bergurau.
Hanya saja, Adira sudah terlanjur memikirkan perkataan sahabatnya itu dengan serius. Ia tampak mengerutkan kening serta menepuk dagunya sendiri. Sama sekali tidak memedulikan sensasi perih ia rasakan. “Begitu, ya,” gumamnya pelan. “Jadi, kalau aku bilang bahwa kita akan keluar dengan selamat dari sini, ucapanku itu juga akan jadi nyata.”
“Kebetulan tidak akan terjadi tiga kali,” celetuk Firda. Ia menggelengkan kepala, sama sekali tidak percaya bahwa Adira benar-benar menganggap ucapannya dapat meramalkan masa depan. “Tapi tidak ada ruginya mencoba. Di saat seperti ini, harapan sekecil apa pun sangat berarti.”
“Baiklah.” Adira menarik napas dalam. “Aku dan kamu, serta teman-teman lainnya akan bisa pergi dari sini dengan selamat. Kita semua akan kembali bertemu dengan keluarga dan melanjutkan hidup dengan bahagia, seolah semua kekacauan ini tidak pernah terjadi.”
“Aamiin,” sahut Firda meskipun ia tahu bahwa Adira bukannya sedang berdoa. “Kuharap tidak butuh waktu lama sampai harapanmu tercapai.”
“Semoga saja.”
Mendadak mereka berdua tersentak saat terdengar dering ponsel dari suatu tempat. Harapan akan kemungkinan bahwa mereka akan menemukan cara untuk berkomunikasi dengan orang lain membuat mereka dengan cepat mencari sumber suara. Adira dan Firda dengan lincah berjalan ke sana kemari, berniat mengelilingi bagian dalam gua yang baru sedikit mereka masuki.
Adira sudah membayangkan betapa leganya ia jika nanti ia bisa menghubungi kakaknya. Biar bagaimanapun, Adnan sudah berjanji bahwa ia akan datang jika Adira memintanya. Maka dari itu, Adira yakin bahwa sang kakak juga tidak akan keberatan untuk membawanya pergi dari tempat mengerikan ini.
“Ayolah, di mana kamu?” gumam Adira sambil membungkuk. Menyingkirkan setiap benda yang mungkin menyembunyikan sebuah ponsel di baliknya. Ia terus bertanya seperti itu, seolah ponsel merupakan makhluk hidup yang bisa menjawabnya.
Di sisi lain, Firda juga tengah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencari. Ia bahkan menyusun beberapa benda yang ada di sana secara vertikal, untuk kemudian ia naiki. Namun, dari posisinya yang kini lebih tinggi beberapa sentimeter, Firda juga tidak menemukan ponsel yang mungkin layarnya tengah menyala saat ini.
Hingga tirai besar yang menutup mulut gua tampak bergerak. Ditemani oleh suara langkah kaki yang diseret serta geraman pelan yang membuat bulu kuduk kedua gadis itu berdiri seketika. Bagai dikomando, Adira dan Firda kompak mengunci mulutnya dan berjalan perlahan dan kembali menyembunyikan diri di balik bayangan patung tokoh kartun.
Tidak peduli seberapa sering mereka melihat zombie, tubuh mereka tetap bergetar saat menyaksikan bagaimana mayat hidup itu berjalan perlahan memasuki tempat persembunyian. Awalnya hanya satu, tetapi semakin lama jumlah mereka semakin bertambah. Meskipun keberadaan Adira dan Firda sama sekali belum diketahui, Adira merasa bahwa mereka tidak lagi aman untuk tetap diam di tempat.
Dengan melambaikan tangan secara sembunyi-sembunyi ke arah Firda, Adira memimpin mereka berdua untuk berjalan memasuki gua yang memiliki pencahayaan minim. Berharap mereka akan menemukan jalan keluar lain selain yang kini dipenuhi zombie.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments