Dengan hati-hati Adira mengikuti langkah Firda yang membawanya menuju sebuah gua buatan yang besar dan gelap. Jalan yang ia lewati kini basah, membuatnya meringis merasakan dingin di kaos kakinya. Bau kaporit yang pekat menyadarkan Adira bahwa ia kini berada di belakang salah satu wahana olahraga air.
Kedua gadis itu menuju tempat tersembunyi jauh dari kolam besar tempat tersimpannya perahu karet untuk wahana. Setelah melewati beberapa lorong gelap dan pengap, mereka tiba di sebuah ruangan sempit dengan cahaya redup. Dari penampakan dindingnya yang belum sepenuhnya dicat, tampaknya tempat itu masih dalam proses pembangunan.
Setelah beberapa saat beradaptasi dengan suasana remang-remang, barulah Adira menyadari keberadaan beberapa gurunya dan juga teman-temannya yang bersembunyi sambil berdesakan. Sebagian besar di antaranya tengah berkutat dengan ponsel masing-masing. Bertelepon dengan berbisik, disertai isak tangis yang tertahan.
“Adira, Firda, Ya Tuhan, kalian berhasil juga sampai ke sini,” ucap Danita dengan raut cemas. Guru berusia muda itu terus menangis saat melihat muridnya satu per satu. “Apa di luar sana kalian melihat teman-teman yang lain?”
“Tidak, Bu, tidak ada.” Firda yang menjawab.
“Apa ada yang terluka?” tanya seorang pemuda berhidung mancung dengan tatapan teduh. Pemuda itu perlahan mendekati Adira, tetapi dihalangi oleh Firda.
“Jangan dekat-dekat! Kamu bahkan tidak berusaha menyelamatkannya di luar sana!”
Kening pemuda itu berkerut. Kedua kakinya perlahan melangkah mundur. “Aku tidak melihat kalian!”
Kedua mata Firda tidak hentinya mendelik. “Omong kosong! Kamu bisa mencari kami!”
“Sstt, Firda, Karsa, tenanglah,” ucap Danita lembut. “Yang penting kita semua sudah berada di sini.”
Ditegur oleh guru wali kelasnya memaksa Firda untuk menahan semua amarahnya. Dengan suara yang dibuat sepelan mungkin, ia menggerutu di samping sahabatnya. “Cih! Sekarang saja dia berlagak mencemaskanmu, Dir. Jangan terjebak oleh tipu dayanya.”
Adira hanya terdiam dan melihat temannya satu per satu.
‘Selain aku dan Firda, ada Karsa dan Abian, beberapa siswa lain yang ada di sini adalah siswa kelas lain yang tidak kukenal.’ Adira berhitung dalam hati sambil melihat beberapa siswa menutup jalan masuk dengan seluruh tas yang mereka bawa. ‘Hanya Bu Danita guru yang ada bersama kami di sini.’ Gadis itu lantas menarik napas dalam untuk menenangkan diri. Sebuah keajaiban ia mampu bertahan hingga saat ini. Sepertinya, otaknya masih berusaha mencerna situasi yang terjadi sehingga dirinya tidak berteriak ketakutan.
Atau mungkin ia terlalu syok untuk sekedar berteriak.
"Apa ada yang sudah mencoba menghubungi seseorang? Aku kehilangan ponselku di luar," ujar Adira kemudian.
Firda tampak merogoh sakunya serta membuka setiap ritsleting ranselnya. Helaan napas berat terdengar darinya. "Sepertinya aku juga."
Danita tampak menoleh sekilas ke arah siswa-siswi yang masih menempelkan ponsel di telinga. Meskipun kini tidak ada satu pun dari mereka yang mengeluarkan suara. "Semuanya terus mencoba menghubungi keluarga atau polisi di luar sana. Mereka bilang akan segera melakukan sesuatu." Sang guru tampak menggigit bawah bibirnya sekilas. "Ibu pikir kita hanya bisa menunggu."
Bruk!
Seorang siswi berseragam serupa dengan Adira jatuh terduduk dengan air mata mengalir deras. Tangan dengan jari-jarinya yang lentik menutup mulutnya erat agar tidak menimbulkan suara. Rambut panjangnya tergerai ke depan saat ia menunduk hampir bersujud di atas tanah.
“Kenapa … kenapa aku harus mengalami semua ini?” tanyanya lirih. “Apa yang salah dengan orang-orang di luar sana? Me-mengapa mereka … berubah menjadi segila itu?”
“Ini serangan zombie! Mereka semua sudah berubah menjadi mayat hidup yang terus menyerang dan menggigit dengan membabi buta! Polisi tidak akan bisa berbuat banyak!" ucap Abian menggebu-gebu sebelum seseorang menegurnya untuk memelankan suaranya.
“Diam! Kamu pikir aku percaya?” Siswi itu terus merengek. Kali ini ia berdiri dan merangkul manja pada pemuda di dekatnya. “Karsa, katakan sesuatu!”
Pantang menyerah, Abian terus meracau. “Percayalah, berkali-kali aku melihatnya dalam film. Tanya saja Adira yang tadi sempat diserang oleh salah satu zombie itu!”
“Cukup, Abian. Trisha ketakutan,” tegur Danita sambil mendekati siswinya yang masih terisak.
Adira yang mendengar semuanya menatap tajam Abian. “Aku tidak tahu soal zombie. Yang kulihat tadi hanya seperti … pria tua yang kesakitan? Ceritakan semua yang kamu tahu,” titah gadis itu tegas.
Pemuda yang semula berucap dengan semangat kini membuka lebar mulutnya tidak percaya. “Dir, jangan bilang kamu belum pernah menonton film zombie sebelumnya?” Abian semakin melebarkan tatapannya setelah Adira mengangguk. “Ya, ampun … kamu terlalu banyak menghabiskan waktu untuk belajar.”
“Jangan banyak bicara yang tidak perlu. Entah berapa lama kita bisa terus bersembunyi di sini,” desak Adira.
“Baiklah, baik.” Sejenak Abian terdiam untuk berpikir. “Hmm … hal pertama yang kuketahui tentang zombie adalah mereka bangkit dari dalam tanah dan memakan setiap isi kepala manusia di dekat mereka.”
Mendengar itu, isak tangis Trisha terdengar semakin kencang, membuat Danita terus mengusap punggungnya pelan.
Tanpa memedulikan itu, Adira hanya berdecak pelan. “Jangan bercanda! Jika benar mereka berasal dari tanah, seharusnya baju mereka itu kumal layaknya orang yang telah lama dikubur. Lalu, apa? Memakan isi kepala? Yang kulihat di luar sana mereka hanya terus bergerak cepat seperti orang gila dan menggigit satu sama lain.”
Abian hanya menggelengkan kepala sambil menatap Adira remeh. “Dengarkan aku dulu sampai selesai. Tadi itu baru teoriku yang pertama.”
“Kita tidak punya banyak waktu!”
“Baiklah, baik. Aku juga menyaksikan semua yang terjadi di luar sana. Tampaknya mereka bukanlah mayat-mayat yang bangkit dari kubur.” Abian mengetuk dagunya sendiri dengan jari telunjuknya. “Benar juga, lagipula, mana ada kuburan di tengah taman hiburan seperti ini?”
“Abian!”
Teriakan Adira membuat semua orang terperanjat. “Ssstt!” tegur mereka bersamaan.
Kedua tangan gadis itu akhirnya mencengkeram kepalanya frustrasi. Rambut panjangnya yang semula terikat dengan rapi, kini mulai terlihat berantakan. Matanya terpejam, berusaha menenangkan detak jantung yang semakin
jelas dentumannya. Namun percuma, setiap kali kelopak matanya menutup, yang ia lihat hanyalah pemandangan anarkis sekumpulan manusia aneh di luar sana.
Adira bahkan ragu, apa dia masih bisa menyebut orang-orang anarkis itu ‘manusia’.
Tiba-tiba sebuah bayangan bus bergambar bunga matahari besar muncul di benaknya.
“Bus antar wahana …,” gumam Adira tiba-tiba.
Firda yang tepat berada di sampingnya sontak menoleh. “Apa yang baru saja kamu katakan?”
Pertanyaan Firda membuat seluruh perhatian terarah padanya dan Adira. Terutama Karsa yang sedari tadi terus memutar otak, berusaha menemukan cara untuk mendekati Adira.
Suara benturan dan jeritan masih terdengar dari kejauhan, membuat mereka terus bergidik meskipun setiap orang berusaha untuk tidak memperlihatkan ketakutannya.
Begitu juga Adira yang terlihat kuat dan terus berpikir dalam diam.
“Bus terbuka yang mengantar pengunjung keliling taman wisata!” serunya tiba-tiba. “Tidak mungkin berita kekacauan ini belum sampai ke telinga pihak yang berwenang. Saat ini mereka pasti berkeliling menyelamatkan orang-orang yang selamat, kan? Jika kita terus di sini, tidak akan ada yang menjemput kita.” Adira terus berbicara sendiri. Kakinya melangkah ke sana kemari, sebelum akhirnya tanpa sengaja ia menendang beberapa kotak kardus perlengkapan olah raga air di dekatnya.
Bibir Adira mengaduh, tetapi raut wajahnya tidak sedikit pun memperlihatkan kesakitan. Tiba-tiba ia membalikkan badan dan melihat teman-teman serta gurunya. “Kita harus keluar dari sini bagaimana pun caranya. Meskipun harus berlari, kita harus melewati gerbang keluar sekarang juga!”
“Benar juga.” Abian menjentikkan jarinya dengan semangat. “Dalam film, biasanya akan ada helikopter yang menjemput para penyintas di atap gedung tinggi. Tapi sepertinya, dalam kasus kita kali ini tidak akan ada helikopter yang terlibat karena kita hanyalah siswa SMA biasa, yang tidak punya koneksi maupun berguna untuk pemerintah.”
“Berhenti menceritakan semua yang pernah kamu lihat di film!”
“Tidak, tunggu dulu.” Firda memotong ucapan Adira. “Mungkin pengetahuan Abian akan ada gunanya.”
Adira berdecak kesal. “Baiklah, mari kita dengarkan pendapat siswa ranking terakhir di kelas,”
ucapnya sinis.
Abian terlalu bersemangat untuk merasa sakit hati. Pemuda itu mengerutkan keningnya semakin dalan seiring ia menggali ingatannya. “Aturan pertama untuk bertahan adalah pasokan makanan. Lalu peralatan untuk pertahanan diri dan untuk menyerang.”
Susah payah Adira menahan dirinya untuk tidak meledak di tempat. “Dari mana kita bisa mendapatkan semua itu? Yang kita bahwa hanya beberapa cemilan ringan. Dan barang-barang yang kita punya di sini hanyalah setumpukan pelampung dan peralatan renang.”
“Kita harus ke pusat pertokoan.” Salah satu siswa dengan kaca mata tebal tiba-tiba bersuara. “Seharusnya kita semua tahu letaknya jika kita membaca selebaran yang dibagikan.”
“Itulah masalahnya, Evan. Di antara kita semua, yang benar-benar memperhatikan denah mungkin hanya kamu dan Bu Danita. Bahkan seorang Adira sekalipun mengabaikan hal seperti itu,” keluh Abian.
Seketika Adira menunduk dan merutuki dirinya sendiri dalam hati. Ia tidak percaya siswi teladan sepertinya bisa bersikap kekanakan. Ucapan kakaknya beberapa waktu lalu mungkin telah begitu merasuki otaknya. Sehingga, saat sampai di tempat wisata itu, tidak ada hal lain selain bersenang-senang di pikirannya.
“Tidak apa-apa, anak-anak. Ibu rasa Ibu bisa menunjukkan jalan ke sana.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Henrietta
Mampir
2023-01-31
1
Salmahaneev
Berisik ye si Adira
2022-12-15
1
Salmahaneev
Kasian Abian. Pasti gereget banget sama temen²nya yg ga percaya 🤧
2022-12-15
2