“Wah! Tempat ini luas juga!” seru Firda sesaat setelah ia melangkah keluar bus. Gadis itu melompat-lompat kecil, melihat bagaimana luasnya tempat parkir yang khusus disediakan pihak Taman Bermain.
Adira yang turun tepat setelah Firda lantas mengedarkan pandangan. Matanya menyipit, bertarung dengan sinar terik matahari yang menyinari mereka dengan semangat. Selama beberapa detik ia hanya memandang gerbang besar yang baru saja mereka lewati dengan bus, dan gerbang yang akan segera mereka masuki.
Gerbang pertama memiliki dekorasi yang lebih meriah, dengan hiasan bunga matahari serta pelangi berwarna mencolok. Bahkan terdapat gambar setiap wahana serta anak-anak pada dinding yang menjulang tinggi dan panjang di kedua sisi gerbang besi dengan ujung runcing di bagian atas.
Sementara itu, gerbang kedua tampak lebih sederhana. Dengan warna hijau tua mendominasi, gerbang itu menyambungkan dua bangunan kecil yang dihuni para penjual maupun pemeriksa tiket masuk. Satpam yang berjaga tampak lebih banyak, sebab gerbang inilah yang membatasi wilayah yang bebas dimasuki banyak orang dengan wilayah yang dikhususkan untuk pengunjung Taman Bermain.
“Dir! Jangan melamun!” tegur Firda yang membuat Adira sedikit tersentak. “Bu Danita meminta kita berbaris sebelum masuk.”
“Iya,” jawab Adira singkat. Ia sungguh merasa kurang bertenaga setelah sempat bermimpi buruk saat tertidur sebentar di perjalanan. Dengan lesu ia mengikuti langkah Firda menuju tempat guru dan teman-temannya berkumpul.
Saat berbaris, ia dapat melihat para siswa dari kelas lain juga tengah menerima pengarahan dari guru masing-masing. Terutama kelas 10-2, yang berbaris persis di sampingnya.
“Ngapain kamu ke sini lagi? Sudah di sana saja terus!” Salah satu siswa berkaca mata tampak mendengkus keras sambil menunjuk Trisha.
Gadis yang dengan terpaksa berbaris setelah diusir Karsa itu lantas memutar bola mata dengan malas. “Aku juga maunya begitu, Van. Apa aku minta dipindahkan ke kelas 10-1 secara permanen saja?”
Sikap tidak acuh Trisha lantas membuat Evan semakin berang. Pemuda itu tidak lagi peduli keberadaan wali kelas mereka yang sedang berusaha untuk menertibkan para siswa kelas 10-2, dan lantas berteriak, mengarahkan dagu ke arah Karsa. Padahal pemuda itu sedang berdiri dengan tenang di barisannya sendiri. “Ini semua gara-gara laki-laki yang hobi tebar pesona gak tahu waktu dan tempat! Seharusnya dia memanfaatkan waktu untuk mengisi otaknya yang kosong!”
“Apa lagi, sih?” tanya Karsa sambil memijat pangkal hidungnya. “Bisakah kita tidak berdebat untuk hari ini saja? Aku datang kemari untuk bersenang-senang!”
“Siapa yang ngajak berdebat? Aku hanya sedikit menggerutu karena kelas kami sempat kesulitan karena mengira Trisha datang terlambat!”
“Kalau begitu tegur saja dia! Jangan memperluas masalah dengan menyeretku!”
“Menyeretmu?”
Adira menyaksikan kedua pemuda itu dengan tatapan datar. Sedikit bersimpati kepada Danita dan wali kelas 10-2 yang berusaha mengendalikan situasi. Gadis itu berdecak pelan sambil menghentakkan kaki. “Sebenarnya, ada masalah apa di antara mereka?”
Firda yang mendengar pertanyaan itu lantas berbalik menghadap Adira. “Entahlah. Padahal kudengar, dulunya mereka bersahabat.”
“Apa? Tidak mungkin!”
“Benar, kok.”
“Baiklah, anak-anak! Sekarang kita masuk secara bergiliran, ya. Pak Gunawan sudah mengurus tiket untuk kita semua,” ucap Danita setelah berhasil membuat para siswa kembali tenang. “Nanti sebelum masuk kalian akan diberikan gelang kertas, jangan sampai hilang!”
“Baik, Bu!” jawab Adira dan kawan-kawan dengan semangat.
Tidak butuh waktu lama untuk mereka memasuki kawasan utama Taman Bermain Cakrabuana. Mereka disambut maskot besar berbentuk bunga matahari dengan wajah tersenyum dan berseri. Paduan warna oranye dan kuning pada bagian kelompak, serta warna hijau pada daun dan tangkai terlihat begitu menyegarkan mata. Banyak stan berjajar, memajang berbagai aksesoris khas Taman Bermain. Dalam sekejap barisan para siswa terpecah belah, terutama para gadis yang dengan semangat menghampiri setiap stan satu per satu.
“Bando berkuping adalah item wajib saat berlibur!” ujar Firda sambil memilih-milih bando dengan bulu-bulu lembut yang tergantung di depannya. Warna-warna cerah membuat benda-benda itu terlihat semakin menggemaskan. Apalagi dengan berbagai bentuk telinga yang menempel. Adira terkekeh saat Firda menempatkan bando bertelinga kucing di kepala. “Apa? Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Cocok untukmu,” jawab Adira cepat. Ia menggigit bibir bawahnya guna menahan tawa. Ia menolak setiap bando yang diulurkan Firda kepadanya. Sama sekali tidak ingin rambut panjangnya yang telah diikat rapi membentuk ekor kuda menjadi berantakan hanya karena mencoba barang yang belum tentu dibelinya. “Apa tidak akan hilang kalau kamu beli itu sekarang? Bisa-bisa bando itu jatuh saat kita naik Roller Coaster.”
“Ah, benar juga.” Firda mengerucutkan bibir kecewa. Ia mengembalikan setiap bando ke tempatnya. Termasuk kaca mata hitam yang baru saja ia ambil. “Kalau begitu, nanti saja. Kita akan lewat sini lagi untuk pulang nanti, kan?”
“Iya.”
“Oke. Sekarang jadi kita harus apa?” tanya Firda sambil mengetuk dagunya sendiri.
Belum sempat Adira mengatakan apa pun, Firda tampak membelalak dan segera menarik tangannya. Mengajaknya berlari menghampiri kembali rombongan yang masih berkumpul di dekat patung maskot.
“Semuanya diam dulu di sini sampai kalian diperbolehkan untuk berpencar, ya.” Terdengar Danita memberikan arahan. “Kita hanya perlu menunggu sampai Pak Gunawan kembali kemari.”
Fokus para siswa sudah mulai terpecah. Terlihat dari sedikitnya siswa yang menjawab ucapan Danita. Mau bagaimana lagi? Energi yang terpancar dari Taman Bermain Cakrabuana membuat mereka ingin segera menjelajah destinasi wisata yang belum lama beroperasi itu.
Jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi, tetapi sudah banyak pengunjung yang memeriahkan tempat itu. Adira pikir teman-temannya mulai takut harus mengantre jika sampai mereka terus menunda lebih lama.
Sebagian besar siswi tampak mengisi waktu dengan mengambil swafoto berlatarkan taman bunga dan patung maskot. Menampilkan berbagai gaya yang mungkin akan membuat mereka malu saat melihat hasil fotonya nanti. Adira hanya mengamati sambil meremat tali ransel di pundaknya dengan erat. Buku-buku yang ia bawa mulai terasa membebani punggungnya.
“Abian! Apaan, sih?” Terdengar beberapa siswi menjerit keras.
Adira menoleh ke sumber suara. Seketika ekspresinya berubah semakin masam setelah melihat pemandangan yang mulai terasa familier.
Abian, sang siswa jahil, menggunakan topeng mengerikan kembali. Kali ini dilengkapi dengan bando berhias tanduk setan merah. Adira rasa temannya itu memang harus selalu dijauhkan dengan benda-benda yang berbau monster, karena sifat jahilnya sudah mulai terasa menjengkelkan.
“Apa kamu tidak bosan?” tegur Adira kesal. “Kamu sungguh menyia-nyiakan uang untuk benda tidak berguna itu? Sulit dipercaya!”
“Sorry, sorry,” ucap Abian kemudian sambil melepas benda-benda mengerikan dari wajah dan kepalanya. Senyum jahil di bibirnya sama sekali tidak tampak berkurang. “Aku tidak tahan. Kualitas topeng ini jauh lebih baik dari yang pernah kubeli sebelumnya. Lihat! Bahkan kulit topeng wajah zombie ini terlihat nyata!”
Firda yang berada di samping Adira lantas berteriak heboh saat Abian mendekat guna memamerkan topengnya. Berbeda dengan Adira yang hanya melihat semuanya dengan malas.
“Jauhkan benda itu dariku!” teriak Firda lagi.
Abian berakhir tertawa puas. Menganggap ketakutan teman-temannya sebagai sebuah pencapaian. Sama sekali tidak sadar bagaimana tindakannya memberikan efek berbeda kepada setiap orang.
Tidak jauh dari sana, Karsa berdiri terpaku di tempat. Wajahnya tampak pucat dengan bibir yang memerah karena terus digigit keras. Pemuda itu sungguh bergetar melihat barang-barang di tangan Abian, tetapi ia berusaha keras untuk menutupinya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments