“Yakin mau transaksi di sini? Gak mau cari tempat sepi dulu, Fik?”
Fikram terkekeh mendengar pertanyaan temannya yang sudah lama menjadi pelanggan tetap. “Tenang aja, Don. Semuanya sedang fokus bersenang-senang. Gak akan ada yang memperhatikan kita,” ucapnya sambil mengeluarkan sebuah bungkusan kecil berbalut plastik hitam dari dalam saku. “Awal mula aku menawarkan diri untuk jadi pengantar, aku tidak pernah menyangka bahwa bisnis ini akan maju sangat pesat. Rupanya benar, kalau barang ini sangat bagus sampai diminati banyak orang.”
Doni, pria berkumis tebal yang baru saja menerima bungkusan dari Fikram lantas menghembuskan napasnya yang masih berbau asap rokok. Perlahan, ia menyandarkan diri pada dinding bagian luar bangunan kamar kecil di dekatnya. “Sejak pertama kali aku memakainya, aku sudah tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa berhenti. Dibandingkan yang lain, efek dari barang ini timbul begitu cepat. Jika sekarang aku menelannya, kurang dari lima menit aku akan merasakan kegembiraan tidak terkira,” ujarnya dengan wajah lesu. “Yang sungguh disayangkan, efeknya tidak bertahan lama. Ingin rasanya aku membeli banyak untuk stok, tapi tabunganku tidak mencukupi.”
Fikram yang tengah sibuk merapatkan topi, kaca mata, dan masker serba hitamnya itu lantas mengangguk. “Jika efeknya bertahan lama, bisnis tidak akan berjalan begitu lancar seperti saat ini.” Ia terkekeh saat ia melihat temannya memelototinya. “Sorry. Sekarang ini aku bukanlah temanmu, tapi pebisnis.”
“Iya, aku tahu. Kamu bahkan terus menahan diri untuk tidak mengonsumsi barang itu untuk dirimu sendiri demi dapat terus bertransaksi dalam keadaan sadar.”
“Baguslah kalau kamu mengerti.” Fikram menegakkan tubuh sambil mengusap bagian bawah kemeja hitamnya yang terlihat kusut. Sedikit mengernyit saat mendengar jeritan para pengunjung yang tengah menaiki wahana ekstrem tidak jauh dari tempat mereka berada. “Jadi, apa aku harus pergi sekarang atau kamu mau memberi pertunjukan gratis untukku?”
“Jika aku melakukannya, apa kamu akan memberi diskon untuk pembelian berikutnya?”
“Tergantung seberapa puas aku menyaksikannya.” Fikram menengadahkan kepala, seolah menantang pria di depannya.
Dapat Fikram dengar dengan jelas helaan napas berat dari teman sekaligus pelanggan setianya. Tantangan yang Fikram berikan sama sekali bukan hal yang sulit, tetapi mungkin kata-katanya cukup melukai hati Doni.
Meskipun begitu, Fikram tahu, bahwa tidak banyak orang yang mampu menolak permintaannya.
Dengan cepat, Doni membuka bungkusan yang baru saja ia terima. Sedikit menyobeknya di bagian ujung untuk mengeluarkan isinya. Butiran kecil yang nampak seperti batu kristal berbentuk kerikil ia tempatkan sedikit di salah satu telapak tangan. Sejenak, ia berhenti bergerak dan menatap Fikram lekat. “Kamu memang menyebalkan, aku cukup membencimu hingga tidak ingin bertemu denganmu jika saja tidak ada kebutuhan. Namun, aku berharap kamu tetap pada pendirianmu.”
Fikram hanya menganggukkan kepala tanpa mengatakan satu patah kata pun. Ia menggerakkan salah satu tangannya, menyuruh temannya untuk melanjutkan aksinya.
“Jangan pernah mengonsumsi benda ini. Tidak peduli seberapa besar rasa penasaranmu nanti, tetaplah berpegang teguh pada pendirianmu saat ini.” Setelah mengucapkan itu, sang pelanggan melahap seluruh butiran di tangannya dalam sekejap. Ia lantas memejamkan mata, hendak merasakan bagaimana kandungan dari benda itu mulai diserap oleh tubuhnya. Benaknya membayangkan bagaimana setiap butir melekat dalam setiap keping sel darahnya dan memulai perjalanan menjelajahi seluruh titik di tubuhnya. Meskipun ia tahu betul, bahwa yang terjadi sebenarnya sama sekali berbeda dari yang ia bayangkan.
Setelah beberapa saat, Doni mulai merasakan tubuhnya menjadi jauh lebih segar. Seluruh ototnya yang biasanya terasa pegal dan lemas kini berkali lipat lebih berenergi. Suasana hatinya juga terasa jauh lebih baik, seolah ia baru saja memenangkan lotere senilai uang miliaran rupiah serta jaminan hidup bahagia bersama keluarga yang utuh seumur hidup. Ia bisa merasakan bibirnya mulai tertarik ke samping. Saat kedua matanya terbuka, ia telah tersenyum dengan sangat lebar.
Meskipun ia sempat menyipitkan mata dan mengangkat tangan untuk menghalangi cahaya matahari yang kini terasa terlalu menyilaukan, ia tetap tersenyum gembira menatap Fikram. “Haruskah kita bersenang-senang bersama? Sudah lama sekali sejak kita pergi ke tempat seperti ini. Mungkin terakhir kali itu saat kita masih SMA.” Pria itu mulai berbicara panjang lebar, tetapi artikulasinya sedikit sulit untuk Fikram pahami.
Fikram terkekeh saat melihat temannya itu mulai berjingkrak mengikuti irama yang mengalun keras melalui pengeras suara Taman Bermain Cakrabuana. Dengan hati-hati ia mendekat, menghalangi sosok Doni agar tidak terlalu menarik perhatian. Meskipun keberadaan mereka berdua telah tenggelam oleh banyaknya pengunjung di sekitar.
Kurang lebih ekspresi yang Doni perlihatkan tidak jauh berbeda dengan banyak pengunjung lainnya. Setiap orang pasti tidak akan berhenti tersenyum maupun tertawa di Taman Bermain yang sangat menyenangkan. Hanya saja, ekspresi Doni sedikit berlebihan dibandingkan orang lain.
Napas Doni juga terdengar memburu, padahal ia sama sekali belum bergerak banyak. Dan meskipun wajahnya terlihat begitu senang, tetapi kedua tangannya tidak berhenti menyentuh bagian belakang leher serta memeluk dirinya sendiri dengan erat. Ia juga mulai banyak meracau, dan mengeluhkan bagaimana mata, hidung, dan telinganya menangkap setiap rangsangan dengan terlalu kuat, sehingga membuatnya mual. Meskipun begitu, ia tetap bergerak ke sana kemari dengan riang gembira.
Fikram menarik napas dalam sebelum memegang kedua pundak Doni. Mengarahkan temannya itu untuk kembali memusatkan perhatian kepadanya. “Oke. Aku sudah cukup melihat. Untuk pembelian berikutnya, aku akan memberimu potongan harga,” ujarnya dengan suara yang cukup keras. Berharap kesadaran Doni yang tersisa cukup untuk membuatnya mengerti setiap kata dengan baik. “Aku harus pergi. Banyak pelangganku yang meminta bertemu di tempat ini. Bahkan sepertinya aku akan mendapatkan lebih banyak pembeli baru di sini.”
Doni tampak mengerutkan kening. “Di sini? Kenapa?” Ia bertanya-tanya dengan terus menggerakkan kepala ke kanan dan kiri.
Fikram tersenyum tipis. “Taman Bermain ini sama sekali tidak seperti yang kita semua pikirkan.”
Setelah mengatakan itu, Fikram melepaskan pundak Doni dan mulai berjalan mundur. Perlahan menjauh dari Doni yang kini melambaikan tangan sambil terkekeh ke arahnya. Dengan malas, Fikram membalas lambaian tangan temannya itu sebelum berbalik. Tanpa kembali menoleh ia berjalan cepat menuju lokasi pertemuan berikutnya.
Baru saja ia berjalan beberapa langkah saat ponselnya bergetar di dalam saku. Sebelum mengeluarkan benda pipih itu, Fikram mengedarkan pandangan untuk mencari tempat yang cukup sepi. Ia akhirnya berjalan menuju bagian belakang beberapa stan aksesoris yang berada di dekatnya.
Tentu saja situasinya tidak cukup sepi seperti yang ia butuhkan, tetapi setidaknya ia akan mampu mendengar suara seseorang yang kini meneleponnya.
“Habis ini nganter ke mana?” Seorang pria terdengar bertanya tepat setelah Fikram menekan tombol untuk menerima panggilan.
“Ada, deh. Pokoknya transaksi kali ini sama sekali tidak membosankan.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments