“Kamu baik-baik saja di sana?” teriak Adira sambil mengayunkan tongkat kayu yang ia ambil dari patung kurcaci ke arah zombie wanita yang menyerangnya. Dengan seluruh tenaga, ia mencegah zombie itu mendekatinya. Pukulannya yang cukup kuat membuat cairan kehidupan yang ternyata masih ada di dalam tubuh mayat hidup itu menyembur ke arahnya. Beberapa tetesan mengenai wajahnya dan hampir memasuki bola matanya. Adira meringis keras, baik karena kelelahan maupun mual yang mendera akibat bau amis tidak tertahankan.
“Jangan teriak atau lebih banyak zombie akan datang!” jawab Firda. Suaranya terdengar sedikit lebih nyaring dari suara Adira. Tampaknya ia sendiri mulai kelelahan menghadapi zombie tanpa kaki yang terus memeluk betisnya hingga tidak sengaja turut berteriak. “Argh! Sial! Lepaskan aku!”
Suasana dalam gua yang cukup gelap juga sama sekali tidak membantu mereka untuk segera lolos dari situasi ini. Adira sendiri mulai menyesali keputusannya yang telah mengajak Firda untuk menelusuri gua demi menemukan jalan keluar. Namun, apa lagi yang bisa ia lakukan? Mereka tidak bisa terus bersembunyi selamanya.
Cepat atau lambat persediaan makanan ringan serta air mineral yang Firda bawa di dalam tasnya akan habis. Apalagi matahari mulai terbenam. Kedua gadis itu harus segera menemukan tempat aman untuk bermalam.
Pantang menyerah, Adira terus memukul dan memukul hingga lawannya terpojok ke dinding gua yang keras dan dinding. Menyadari hal itu, bergegas Adira mengumpulkan seluruh tenaganya dan mengayunkan pukulan terakhir tepat ke wajah sang zombie.
Zombie itu mengerang dengan nyaring. Dan Adira sempat merasa bahwa ia mendengar sang zombie mengaduh.
Adira terdiam di tempat, menyaksikan makhluk mengerikan itu merosot dan terjatuh begitu saja. Meninggalkan jejak kemerahan di dinding yang dapat Adira lihat secara samar-samar. Kening gadis itu berkerut saat menyadari sama sekali tidak ada perbedaan antara darah mayat hidup dengan darah yang mengiasi luka-luka di tangannya sendiri.
“Jangan diam saja! Bantu aku di sini!” teriak Firda putus asa. Entah sejak kapan ia terjatuh, dan kini ia sibuk menyeret tubuhnya sekuat tenaga agar tidak digigit oleh zombie yang masih menempelinya.
“Tunggu sebentar! Biar aku cari sesuatu!” Terburu-buru Adira melihat sekeliling. Mencari bagian dari patung yang memungkinkan untuk ia patahkan, sebab ‘senjata’ miliknya tadi sudah cukup hancur dipakai untuk menghancurkan wajah zombie lawannya tadi.
Hingga ia melihat salah satu patung tengah berada di atas miniatur kapal laut. Memegang kendali kapal selayaknya seorang nahkoda. Mungkin di hari biasa, Adira akan tertawa melihat bagaimana roda kemudi hanya melekat dengan tangan patung dan sama sekali tidak terpasang ke bagian depan kapal. Sayangnya, saat ini sama sekali bukan waktu yang tepat bahkan untuk tersenyum sekalipun.
Dengan cepat Adira menghampiri patung itu dan mulai mencoba melepas roda kemudi. Ia cukup kesulitan melakukannya meski benda tersebut hanya terbuat dari kayu dan dipasangkan ke tangan patung dengan paku biasa.
Berkali-kali gagal, akhirnya Adira menggunakan kakinya untuk menendang tangan sang patung. Hanya butuh dua kali percobaan hingga berhasil. Tampaknya hormon adrenalin yang meningkat membuat tenaganya bertambah besar berkali-kali lipat.
“Kamu dapat sesuatu?” tanya Firda. Rupanya ia telah berhasil terbebas dari cengkeraman zombie dan kini ia tengah bersembunyi di balik miniatur istana gua itu. “Zombie itu bergerak cukup lambat, tapi aku tetap akan terjebak jika kamu tidak segera bertindak.”
“Sebentar!” bentak Adira. Ia benar-benar sudah merasa sangat lelah hingga tidak lagi bisa menahan amarah.
Ia berlari menghampiri zombie yang kini merangkak dengan sangat pelan. Sesekali tubuhnya bergetar bahkan kejang. Tanpa memedulikan itu, Adira mengarahkan roda kemudi di tangannya ke kepala sang zombie. Dalam satu dorongan, ia membuat kepala makhluk itu masuk melewati lubang yang berada di tengah. Lubang itu terlalu kecil untuk dilewati kepala, maka zombie itu terjebak dengan rahang tertekan oleh lingkaran kecil roda kemudi.
Rencana Adira berhasil. Zombie itu tidak lagi mempunyai kesempatan untuk menggigit dirinya maupun Firda. Bahkan pergerakan tangannya pun terbatas. Karena lingkaran besar dari replika pengendali kapal laut itu mencegah tangannya untuk terentang sepenuhnya ke depan.
“Kamu hebat!” puji Firda yang menyaksikan semuanya. Perlahan, ia keluar dari tempatnya bersembunyi dan berdiri di samping Adira. Memperhatikan bagaimana zombie itu bergerak ke sana kemari tanpa bisa menyerang mereka. “Rasakan itu!”
Sementara Firda menikmati kesenangan sesaat dengan menyaksikan penderitaan zombie di depan mereka, Adira justru diam terpaku di tempat. Kedua tangannya tampak bergetar di sisi tubuhnya. Ia bahkan tanpa sengaja menggigit bibirnya sendiri dari caranya merapatkan gigi.
‘Tidak mungkin,’ gumamnya di dalam hati. ‘Tadi aku mendengar zombie itu meminta tolong. Tapi itu tidak mungkin, kan?’
“Dir? Adira? Ada apa denganmu?” tanya Firda yang mulai merasa khawatir melihat sikap Adira.
Adira mengerjapkan kedua mata sebelum berdeham. “Oh, bukan apa-apa. Aku hanya ….” Gadis itu tampak mengusap wajahnya dengan kuat sebelum bertanya. “Aku hanya berpikir, bagaimana kalau para zombie ini sebenarnya masih sadar akan keadaan sekitar? Bisa saja mereka hanya tidak bisa mengendalikan tubuh, tetapi jiwa mereka masih hidup.”
“Maksudmu, seperti kerasukan?” Firda tampak memikirkan ucapan Adira baik-baik. Ditemani dari suara geraman dari zombie yang masih saja merangkak ke sana kemari. “Mungkin saja. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Tetap saja kita harus bertahan hidup dengan balas menyerang mereka.”
“Kamu benar.” Adira menganggukkan kepala. “Kita tidak punya pilihan lain,” sambungnya. Ia mengatakan kalimat itu berkali-kali seolah ingin menanamkannya sedalam mungkin di otaknya.
Firda justru merasa semakin khawatir melihat tingkah aneh Adira. “Apa kamu merasa tidak nyaman karena harus membunuh para makhluk itu? Kamu hanya terpaksa. Lagipula, kamu tidak membunuh mereka jika tidak diperlukan. Lihat dia.” Firda menunjuk zombie dengan roda kemudi kapal laut di kepala.
Sejenak Adira hanya menatap kedua mata Firda. Seolah ia memastikan apakah sang sahabat sungguh serius dengan ucapannya. Tentu saja Firda membalas tatapan Adira tanpa gentar. Ia tidak akan pernah berbohong dalam situasi darurat seperti ini.
“Baiklah. Mari lupakan soal itu,” ucap Adira akhirnya. Kemudian ia melihat ke arah kaki Firda di mana sudah terdapat cukup banyak luka dengan berbagai tingkatan warna kemerahan di sana. “Apa kamu terluka? Apa kakimu tercakar zombie itu?”
Firda menjatuhkan diri ke atas tanah lalu memegang kakinya sendiri. “Aku mendapat cukup banyak luka gores kali ini. Tapi aku tidak tahu pasti, apakah itu disebabkan oleh gesekan dengan tanah atau karena dicakar zombie,” jawabnya dengan santai. “Tidak seperti yang Abian katakan, kuku para monster ini tampak sama persis dengan kuku manusia biasa. Jadi luka cakaran yang timbul juga tidak terlalu besar dan dalam.”
“Jadi … kamu tidak yakin?” Adira tampak sedikit ketakutan dari caranya mengambil satu langkah mundur.
Firda lantas tertawa. “Sepertinya aku tidak akan menjadi zombie hanya karena ini, kan? Kalaupun iya, aku yakin tidak akan menggigit temanku sendiri.”
‘Bagaimana kamu bisa memastikan itu?’ Adira bertanya-tanya di dalam hati.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments