“Kenapa padat sekali di sini? Sepertinya jumlah pengunjungnya bertambah banyak dengan cepat,” ucap Firda dengan wajah merengut. Gadis itu terlihat begitu risi setiap kali bahunya tersenggol orang lain. Ia juga berusaha mengecilkan sosoknya dengan memeluk tubuhnya sendiri saat merasa ia dan Adira mulai terjebak di tengah kerumunan pengunjung.
Adira sendiri juga mulai merasa tidak nyaman. Ingin sekali ia langsung berbalik dan segera pergi mencari wilayah yang lebih sepi. Namun, rasa penasaran membuatnya terus melangkah maju. Mengikuti langkah Firda yang menuntunnya menembus banyak orang.
Sepertinya mereka sudah sampai di Taman Bunga tujuan, tetapi kondisi yang tidak kondusif membuat Adira dan Firda tidak bisa melihat apa pun selain tanaman yang berada paling dekat dengan mereka. Dan tanaman asing itu tidak tampak sehat dengan batang yang bengkok serta daun-daun layu serta kekuningan.
“Fir, sepertinya ada yang salah. Apa ini taman yang benar?” tanya Adira dengan kening berkerut. Kepalanya terus menunduk melihat tanaman-tanaman aneh itu dan baru menengadah saat ia mendengar Firda menarik napas dalam.
Dan betapa terkejutnya ia saat melihat pemandangan yang menyapa kedua matanya. Bahkan ia membiarkan mulutnya menganga begitu saja karena pikirannya terlalu fokus kepada apa yang di depannya. “Bagaimana bisa? Taman Bermain ini, kan, baru buka beberapa hari?” tanya Adira kebingungan.
Firda menggelengkan kepala. “Entahlah. Mungkin mereka terlalu fokus kepada wahana, hingga lupa memperhatikan keadaan di sini.”
Rusak sudah suasana hati Adira. Ia sungguh tidak lagi bersemangat menjelajahi tempat yang seharusnya menjadi latar yang indah untuk berfoto. Bagaimana tidak? Awalnya ia membayangkan akan melihat hamparan bunga segar berwarna-warni yang bukan hanya menyejukkan mata, melainkan hati setiap orang. Ternyata semua itu hanya angan-angan.
Adira mengerti bahwa panas terik matahari bisa sangat membakar. Bahkan kulitnya sendiri sering terasa melepuh bila ia lupa mengoleskan tabir surya. Namun, tidak pernah satu kali pun ia menyangka bahwa suatu saat ia akan melihat Taman Bunga yang begitu suram karena banyak daun pada tanamannya menguning dan tampak keriting.
“Ada yang tidak beres. Seharusnya mereka lebih memperhatikan lagi tempat ini,” gerutu Adira. “Aku tidak tahu banyak, tapi sebagian besar tanaman ini memang bukan tumbuhan yang sanggup menerima banyak sinar matahari secara langsung tanpa naungan.”
“Ini sama seperti tempat wisata yang pernah kukunjungi bersama keluargaku.” Firda mendecakkan lidah saat seseorang menabrak pundaknya. “Tempat itu dibuka untuk umum dengan terlalu terburu-buru, hingga keadaannya masih tampak sedikit berantakan. Seperti ini.”
Adira mengusap pelipisnya yang mulai berkeringat. Panas dan sesak membuatnya semakin merasa tidak betah. Ia baru saja akan mengajak Firda untuk pergi, saat sesuatu tertangkap penglihatannya. Kedua tangannya mengepal kuat saat ia berteriak. “Ambil lagi sampah itu!”
Firda tersentak. Begitu juga para pengunjung di sekitar. Apalagi sosok pemuda yang baru saja diteriaki Adira. Pemuda berambut cepak itu tampak mengangkat sebelah alisnya dan memandang Adira tidak percaya.
Para remaja lain yang sepertinya merupakan temannya tampak menyunggingkan senyum sinis. Asap dari benda yang mereka hisap tampak mengepul di udara, membuat Adira mengibaskan tangan dengan kesal.
“Kubilang ambil sampah yang baru saja kamu buang!” titah Adira sambil menunjuk bungkus plastik sisa makanan ringan yang tergeletak di atas tanah. “Ada banyak tempat sampah di sekitar sini. Apa kamu tidak bisa melihatnya?”
Pemuda itu lantas terkekeh sambil melangkah maju. Menghembuskan asap tipis yang membuat Adira terbatuk-batuk dengan mata berair. “Kalau aku tidak mau, gimana? Lagipula sampah itu sudah menyentuh tanah, bukankah akan sangat menjijikkan untukku menyentuhnya lagi?”
Tawa keras terdengar dari rombongan remaja berpenampilan urakan itu. Mereka tampak mengerikan hingga setiap pengunjung di sekitar tampak terburu-buru menghindar. Meninggalkan Adira serta Firda yang terus memintanya untuk pergi saja.
Adira sungguh tidak mengerti mengapa orang seperti mereka mau mendatangi tempat wisata yang biasanya menjadi destinasi pilihan keluarga. Sempat terpikir olehnya bahwa mereka adalah preman yang berusaha menguasai tempat ini, tetapi ia tidak sempat berpikir lebih jauh karena asap yang kini memenuhi saluran pernapasannya membuatnya tidak bisa berkonsentrasi.
“Jangan merokok!” perintah gadis itu lagi. “Daerah ini begitu kering. Satu saja kesalahan bisa terjadi kebakaran!”
“Terus kenapa?” Pemuda seram itu mulai meninggikan suaranya. Adira terkejut, tetapi berusaha tidak menunjukkan ekspresi apa pun. “Memangnya aku peduli?”
“Dir, sudah,” ucap Firda akhirnya setelah ia pulih dari rasa terkejut yang mencegahnya untuk berbicara lebih awal. “Ayo, kita pergi. Foto-fotonya nanti saja.”
Adira tampak bergeming. Tidak peduli seberapa kuat Firda menarik tangannya, ia tetap berdiri tegap sambil memelototi pemuda di depannya. Ia sungguh merasa kesal. Baik karena suasana di sekitar yang tidak nyaman, juga karena kehadiran banyak pengunjung yang bersikap seenaknya sendiri.
Hingga akhirnya Firda mendorong kedua bahunya dengan kuat. Dengan efektif membuat Adira berbalik dan berjalan menjauh meski terpaksa. Firda terus berdoa di dalam hatinya, berharap situasi terburuk yang kini membayangi pikirannya tidak akan pernah terjadi. Bahkan ia telah bersiap menghubungi Danita jika sampai ia tidak berhasil membujuk Adira pergi.
Beruntung, pemuda asing dan teman-temannya tidak mengejar Adira dan Firda. Mereka hanya meneriakkan beberapa kata ejekan dan umpatan yang masih bisa kedua gadis itu abaikan. Adira mendengkus kesal. Ia mempercepat langkahnya tanpa memedulikan beberapa pengunjung yang terpaksa memberikan jalan agar tidak tertabrak olehnya.
Alunan musik taman ria yang kembali terdengar tidak lagi membuat gadis itu merasa senang.
“Menyebalkan sekali! Kalau bawa kendaraan sendiri, aku pasti sudah pulang sekarang!” keluh Adira setelah mereka sampai tempat yang jauh lebih tenang. Bebatuan abu-abu yang berjajar mengelilingi sebuah sungai kecil buatan tampak serasi dengan warna air yang kebiruan. Perlahan, Adira menarik napas dalam guna meredakan amarahnya sendiri. Meskipun tentu saja suasana hatinya tidak bisa membaik begitu saja.
“Jangan, dong! Kita, kan, baru sempat naik korsel!” protes Firda dengan bibir mengerucut. “Sudah, tidak usah bahas lagi soal yang tadi. Sekarang, kita mau ke mana?”
Adira terdiam sambil mengamati sekitar. Keramaian lain tampak terbentuk beberapa meter dari tempat mereka berdiri saat ini. Sepertinya banyak keluarga yang mengerubungi wahana cangkir berputar yang tampak lucu dengan dominasi warna ungu dan merah jambu.
Refleks Adira menggelengkan kepala. Ia belum sanggup kembali terjun ke dalam lautan manusia seperti itu lagi. Dan saat ia kembali menoleh ke arah sungai di dekatnya, tanpa banyak berpikir ia mengarahkan telunjuknya ke sana.
“Naik ini saja. Tempatnya lumayan sepi,” ujarnya meskipun ia belum tahu betul wahana apa yang ditunjuknya.
Firda tampak tidak suka dengan pilihannya. Terlihat dari caranya menanyakan Adira apakah ia sungguh serius dengan perkataannya.
“Aku serius,” jawab Adira yakin. Sedikit merasa bersalah karena berperilaku seenaknya tanpa memikirkan perasaan sahabatnya. “Sebentar saja. Setelah itu kita bisa pergi ke wahana apa pun yang kamu mau.”
Ucapan Adira berhasil membuat wajah Firda kembali berseri. Ia meraih tangan Adira sebelum kembali menuntun mereka berdua.
Setelah berada cukup dekat, akhirnya Adira mengerti mengapa situasi di sekitar cukup sepi dibandingkan dengan tempat lainnya. Rupanya wahana yang kini akan mereka naiki adalah wahana perahu biasa. Dengan aliran sungai yang sangat pelan, tanpa ombak yang menambah ketegangan perjalanan mereka.
“Sepertinya ini wahana arung jeram versi mini,” celetuk Firda. Meski begitu, ia tetap duduk di atas perahu kayu yang tersedia, dengan senyum cerah di wajahnya.
Adira menganggukkan kepala. “Tidak apa-apa. Sekali-sekali menaiki wahana sederhana itu bagus. Siapa yang tahu? Bisa saja nanti kita tidak akan menemukan lagi ketenangan seperti ini.”
Seandainya Adira tahu apa yang akan terjadi beberapa jam ke depan, mungkin ia ingin menarik kata-katanya kembali.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments