Bersiap

“Apa harus bawa baju ganti segala? Kita bukannya akan berlibur berhari-hari!”

Adira menjatuhkan tubuhnya sepenuhnya ke atas kasurnya yang empuk. Tempat tidur dengan seprai dan perlengkapan bernuansa biru langit itu tampak sudah penuh oleh berbagai pakaian yang gadis itu keluarkan dari lemarinya. Matanya terpejam sebentar, sementara tangannya masih saja menggenggam ponsel yang ia dekatkan ke telinga kanan. Mendengarkan suara nyaring seseorang di seberang telepon yang terus saja berbicara dengan semangat.

“Duh, Dir … jangan kelihatan banget, dong, kalau kamu jarang liburan! Banyak sekali wahana air di taman wisata! Belum lagi tempatnya yang berada di luar ruangan bakal bikin kita keringetan! Bawa baju cadangan itu harus!” Suara Firda terdengar begitu bersemangat.

Rengekan halus keluar dari bibir Adira. “Tapi memilih baju itu merepotkan! Sebenarnya bisa saja aku asal memilih, tapi kamu tidak akan berhenti mengomeliku!”

“Tentu saja! Ya ampun, saat berwisata adalah salah satu kesempatan kita untuk tampil cantik tanpa bayang-bayang seragam sekolah yang membosankan! Apa aku perlu ke sana untuk membantumu memilih baju?”

“Ah, tidak usah!” Adira menggelengkan kepala dengan heboh. “Fir, kalau kamu ke sini, waktuku akan semakin banyak tersita. Sekali datang, kamu akan sulit kusuruh pulang.”

Firda tertawa terbahak-bahak membuat Adira sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga.

“Seperti itulah yang dinamakan sahabat, Dir,” ucap Firda lembut. “Oke, kalau kamu gak mau aku datang, kamu fotokan saja beberapa calon pakaian yang akan kamu pakai dan bawa nanti, dan kirimkan lewat chat. Nanti aku beri tahu mana yang terbaik.”

Kedua mata Adira memutar malas. Firda merupakan teman dekatnya satu-satunya, tetapi rasa lelah yang seringkali ia rasakan seperti telah menghadapi puluhan orang. Sebesar itulah pengaruh energi Firda padanya.

Namun, biar bagaimanapun Firda berniat baik. Oleh karena itu, meski terpaksa, Adira menganggukkan kepala, sejenak melupakan fakta bahwa Firda tidak dapat melihatnya.

“Oke. Nanti aku kirimkan. Sudah dulu, ya. Aku mau kembali menguras lemariku.”

“Eh, tunggu dulu! Bagaimana dengan orangtuamu? Kamu tidak berangkat tanpa izin, kan? Sayangi nyawamu!”

Pertanyaan Firda membuat Adira bangkit tiba-tiba. “Tentu tidak! Aku masih waras. Meski aneh, Ayah dan Ibu malah mendukungku untuk pergi, persis seperti Kak Adnan. Aku sama sekali tidak diberi celah untuk beralasan!”

Adira menggerutu dengan suara nyaring. Yakin bahwa rumahnya saat ini sedang dalam keadaan kosong. Kakaknya satu-satunya selalu pergi belajar kelompok di setiap kesempatan. Sementara kedua orangtuanya sibuk bekerja.

Siang hari di hari kerja, Adira adalah penguasa rumah dan segala isinya.

Baiklah, mungkin sedikit berlebihan. Pada intinya, saat ini Adira bisa mengeluhkan segala hal tentang keluarganya kepada Firda tanpa takut ketahuan. Di waktu lain, belum tentu ia seberani ini.

“Hmm … sedikit mencurigakan, tapi kalau dipikir-pikir lagi, tidak juga.”

“Tolong bicara dengan bahasa manusia, aku tidak mengerti!” protes Adira sambil berdecak kesal.

Tawa Firda terdengar keras. “Maksudku, memang aneh kalau kedua orang tuamu yang biasanya selalu ingin kamu di rumah dan belajar, tiba-tiba mendukungmu untuk pergi berwisata. Tapi, kan, setiap orang bisa berubah pikiran. Apalagi, selama ini nilaimu tidak pernah mengecewakan. Kamu berhak bersantai sedikit, Dir.”

Ucapan sang sahabat membuat Adira terdiam. Tanpa sadar tangannya memilin baju terdekat selagi pikirannya mengenang waktu hidupnya yang sebagian besar ia lewati dengan rutinitas membosankan. Seluruh kegiatannya hampir tidak pernah berganti sedikit pun.

Mulai dari membuka mata, pergi ke sekolah, belajar, hingga setelah pulang ke rumah pun ia kembali menyibukkan diri dengan mengerjakan tugas maupun mengulas kembali materi yang telah dipelajari.

Orangtuanya tidak pernah memaksanya untuk jadi yang terbaik. Namun, Adira telah menyaksikan cukup banyak hal untuk mengerti bahwa tidak adanya tuntutan bukan berarti ia bisa bersantai.

“Dir? Adira? Ketiduran, ya?”

“A-apa? Tidak, kok.” Buru-buru Adira menggelengkan kepala sambil mengerjapkan mata. Berusaha mengusir pikiran apa pun yang membuatnya tidak konsentrasi saat ini. “Selain baju, apa lagi yang harus kusiapkan? Payung? Senter? Aku takut ada yang terlupa.”

Sejenak Firda terdiam. Gadis itu tidak langsung menjawab pertanyaan sahabatnya yang ia tahu tengah berusaha mengalihkan pembicaraan. Namun, sebagai sahabat, ia cukup memahami Adira, sehingga ia tidak memaksa sahabatnya itu untuk membahas hal yang tidak diinginkan.

“Hmm … mungkin kita harus bawa jaket tebal? Oh! Dan mungkin kalau punya, kamu bisa bawa tongkat baseball juga. Juga koran. Air mineral dan perbekalan makanan yang cukup,” saran Firda dengan menggebu-gebu. “Kamu tahu? Tadi aku baru menonton kembali film Train to Busan. Aku pernah cerita, kan? Itu, loh, film yang menceritakan serangan zombie di kereta! Aku sengaja menontonnya lagi, dan sepertinya semua barang itu diperlukan kalau-kalau serangan zombie juga terjadi pada kita di perjalanan!”

“Firda ….” Adira menarik napas kencang. Tangannya meremat ponselnya seakan bersiap untuk melemparkan benda pipih itu ke mana pun. “Aku tidak tahu film seperti apa itu, tapi satu hal yang pasti. Kita itu berangkat naik bus, dan tujuan kita juga bukan ke Busan. Jadi jangan membayangkan yang aneh-aneh!”

“Duh, Adira. Lokasi dan kendaraan tidak harus sama persis untuk kita mengalami pengalaman yang sama buruknya. Tidak ada salahnya untuk berjaga-jaga. Mungkin serangan zombie terdengar mustahil, tapi masih banyak kejadian mengerikan lainnya yang kemungkinannya besar akan terjadi.”

“Seperti apa?”

“Hmm … entahlah.”

“Fir ….”

“Oh! Serangan *******!” jawab Firda sedikit terburu-buru. “Benar, kita juga pernah diskusi soal ini di kelas, kan? Tentang kecenderungan ******* untuk menyerang tempat yang penuh keramaian. Dir, yang akan kita datangi itu taman bermain yang baru saja buka! Bisa kamu bayangkan akan seberapa banyaknya pengunjung di sana? Risikonya akan semakin tinggi—“

“Firda! Apa kamu ingin aku batal pergi sekarang juga?”

“Eh, tidak, tidak!” Firdah terkekeh. “Maaf, aku terlalu terbawa suasana. Lupakan semua yang kukatakan tadi. Tapi kalau kamu mau bawa semua perlengkapan itu untuk berjaga-jaga juga tidak apa-apa.”

“Tidak akan! Semua itu akan sangat merepotkan. Ya, sudah kututup dulu teleponnya, ya. Aku masih harus memilih baju, ingat?”

“Iya, iya … semangat! Awas ya, kutunggu chat-mu!”

Adira hanya bergumam pelan. Tanpa repot-repot mengucapkan salam perpisahan, ia menutup sambungan telepon.

Baru saja tangan Adira hendak menggapai salah satu baju yang terlentang di hadapannya saat ia kembali teringat pembicaraannya dengan keluarganya kemarin malam.

‘Benar kata kakakmu, bersantai sekali-sekali itu bagus.’

‘Adnan cukup meyakinkan Ayah dan Ibu untuk memperbolehkanmu pergi kali ini.’

‘Andai kamu tahu betapa beruntungnya kamu mempunyai kakak laki-laki seperti Adnan, Dir. Dulu, saat Adnan seusiamu, tidak ada yang bisa membelanya seperti ini.’

Entah kenapa hati Adira terus gelisah. Tidak. Mungkin saja otaknya tahu jawabannya, tetai menolak untuk mengakuinya.

Kedua mata Adira terpaku menatap foto yang dipajang di atas meja belajarnya. Sebuah kenangan saat ia dan kakaknya kabur dari rumah hanya untuk bermain di taman bermain kompleks sebelah. Saat itu orang tua mereka menemukan mereka setelah sore menjelang. Adira yang terkejut lantas berlari dan berakhir terjatuh, menggores lututnya pada permukaan pasir yang menutupi taman sederhana itu. Seketika membuat kemarahan ibunya meluap.

Sementara sang ayah saat itu malah mengeluarkan ponsel dan mengabadikan kejadian itu.

Kenangan tersebut bukanlah kenangan terbaik yang Adira miliki. Namun, gadis itu selalu merasa terhibur setiap kali melihat foto sosoknya yang kumal dan penuh air mata, berdiri di samping kakaknya yang sudah tampan sejak kecil. Adnan yang meski sudah tahu akan mendapat hukuman karena membawa Adira pergi tanpa izin, tetapi tetap memilih untuk berdiri tegap di samping Adira dan menjaganya.

Kenangan itu adalah pengingat kapan Adira mulai sangat bergantung dan penurut kepada kakaknya.

“Baiklah. Karena Kakak yang meminta, aku akan memanfaatkan kesempatan ini untuk bersenang-senang dengan maksimal!”

***

Episodes
1 Kekacauan di Taman Bermain
2 Butuh Strategi
3 Berdua Lebih Baik
4 Abian, Sang Penggila Film Thriller
5 Permintaan Kakak
6 Bersiap
7 Terlalu Perhatian
8 Berangkat
9 Zean dan Sang Adik
10 Menyambut Gembira
11 Mari Bersenang-Senang
12 Selama Bisa Menikmati
13 Berkumpul
14 Transaksi
15 Konsumen Ceroboh
16 Berubah
17 Gelisah
18 Bertahan Hidup Berdua
19 Tidak Yakin
20 Mengenal Musuh
21 Bertemu Teman
22 Niat yang Sebenarnya
23 Kisah yang Lalu
24 Retak
25 Saling Mengandalkan
26 Taka yang Bosan
27 Brutal
28 Jangan Buang Tenaga
29 Bertengkar
30 Hujan
31 Penyesalan Danita
32 Padahal Dia Sudah Menolak
33 Keputusasaan Seorang Ibu
34 Siapa yang Salah?
35 Perjalanan Menuju Adira
36 Tunggu Kakak
37 Hierarki
38 Payah
39 Tekad dan Keberanian
40 Harus Kuat
41 Musuh Baru
42 Permainan Taka
43 Impas?
44 Dendam
45 Uji Nyali di Ketinggian
46 Bergelantungan
47 There You Are!
48 Terkena Gigitan?
49 Air Minum
50 Waspada
51 Hanya Dusta?
52 Rahasia Fikram
53 Saat Terakhir
54 Pertemuan Tidak Terduga
55 Bekerja Sama
56 Jasad di Dalam Lemari
57 Hampir Saja
58 Turun
59 Mencari Zombie
60 Tolong atau Tinggalkan
61 Melanjutkan Perjuangan
62 Sia-Sia?
63 Pemilik Taman Bermain?
64 Melihat Lebih Jelas
65 Topeng Adnan dan Adira
66 Rencana Evan
67 Menuju Pusat Informasi
68 Aron
69 Mau Jemput, Ya?
70 Antara Egois dan Munafik
71 Rencana yang Kacau
72 Menelusuri Lagu
73 Pertemuan Tidak Terduga
74 Benda Tajam
75 Kakak! Aku Datang!
76 Selamat Tinggal
77 Aku Monster
78 Menyesal
79 Kunci
80 Taka, Si Pembuat Onar
81 Hentikan, Adira!
82 Keluarga yang Kacau
83 Kebencian yang Tertanam
84 Alpha Cerebrum
85 Tidak Ingin Lagi Menjadi Manusia
86 Bersihkan Semuanya!
Episodes

Updated 86 Episodes

1
Kekacauan di Taman Bermain
2
Butuh Strategi
3
Berdua Lebih Baik
4
Abian, Sang Penggila Film Thriller
5
Permintaan Kakak
6
Bersiap
7
Terlalu Perhatian
8
Berangkat
9
Zean dan Sang Adik
10
Menyambut Gembira
11
Mari Bersenang-Senang
12
Selama Bisa Menikmati
13
Berkumpul
14
Transaksi
15
Konsumen Ceroboh
16
Berubah
17
Gelisah
18
Bertahan Hidup Berdua
19
Tidak Yakin
20
Mengenal Musuh
21
Bertemu Teman
22
Niat yang Sebenarnya
23
Kisah yang Lalu
24
Retak
25
Saling Mengandalkan
26
Taka yang Bosan
27
Brutal
28
Jangan Buang Tenaga
29
Bertengkar
30
Hujan
31
Penyesalan Danita
32
Padahal Dia Sudah Menolak
33
Keputusasaan Seorang Ibu
34
Siapa yang Salah?
35
Perjalanan Menuju Adira
36
Tunggu Kakak
37
Hierarki
38
Payah
39
Tekad dan Keberanian
40
Harus Kuat
41
Musuh Baru
42
Permainan Taka
43
Impas?
44
Dendam
45
Uji Nyali di Ketinggian
46
Bergelantungan
47
There You Are!
48
Terkena Gigitan?
49
Air Minum
50
Waspada
51
Hanya Dusta?
52
Rahasia Fikram
53
Saat Terakhir
54
Pertemuan Tidak Terduga
55
Bekerja Sama
56
Jasad di Dalam Lemari
57
Hampir Saja
58
Turun
59
Mencari Zombie
60
Tolong atau Tinggalkan
61
Melanjutkan Perjuangan
62
Sia-Sia?
63
Pemilik Taman Bermain?
64
Melihat Lebih Jelas
65
Topeng Adnan dan Adira
66
Rencana Evan
67
Menuju Pusat Informasi
68
Aron
69
Mau Jemput, Ya?
70
Antara Egois dan Munafik
71
Rencana yang Kacau
72
Menelusuri Lagu
73
Pertemuan Tidak Terduga
74
Benda Tajam
75
Kakak! Aku Datang!
76
Selamat Tinggal
77
Aku Monster
78
Menyesal
79
Kunci
80
Taka, Si Pembuat Onar
81
Hentikan, Adira!
82
Keluarga yang Kacau
83
Kebencian yang Tertanam
84
Alpha Cerebrum
85
Tidak Ingin Lagi Menjadi Manusia
86
Bersihkan Semuanya!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!