“Charger ponsel udah bawa? Power bank?”
“Udah.”
“Pakai topi, kan, nanti? Tabir surya juga jangan lupa, nanti kulitmu kering dan melepuh. Kamu juga selalu ribut kalau kulitmu lebih gelap dari Kakak.”
Adira memutar bola matanya kesal. “Itu dulu, Kak. Sejak SMP kulitku sudah jauh lebih cerah dari Kakak!”
Gadis itu terus menggerutu dengan bibir mengerucut. Menduga sang kakak akan segera tertawa melihat tingkahnya yang kekanakan. Namun, di luar dugaan. Adnan yang duduk di atas tempat tidur hanya mengusap kepala Adira dengan lembut. Membuat sang gadis kembali terdiam dan melanjutkan kegiatannya menyusun barang-barang ke dalam koper di sampingnya.
“Butuh apa lagi? Apa ada yang harus Kakak belikan dari minimarket terdekat? Kakak belikan camilan, ya? Kamu, kan, selalu pengen ngunyah saat gak ngapa-ngapain.”
“Gak, Kak, gak usah. Udah lengkap semua. Kemarin, kan, Kakak beliin aku camilan sampai dua plastik besar!” Dengan cepat Adira menggelengkan kepala. Salah satu telunjuknya ia arahkan kepada bungkusan besar yang teronggok di atas meja belajar. “Koperku tidak akan muat, jadi sebagian aku tinggalkan di kamar.”
Wajah Adnan merengut. Menyipitkan matanya yang tidak terlalu bulat. Namun, tetap saja tatapannya terasa begitu tajam untuk Adira.
“Habisnya kamu gak bilang mau dibeliin apa, jadi Kakak beli saja semua yang Kakak lihat.”
Kedua tangan Adira merapikan pakaian terakhir yang ia tempatkan ke dalam koper sebelum menutupnya. Ia menarik napas panjang dan menatap kakaknya yang juga masih melihat ke arahnya. Kedua kakak beradik itu terdiam, seolah tengah berbicara melalui telepati.
Sayangnya, hubungan mereka tidak seerat itu untuk membuat mereka saling memahami tanpa mengucapkan sepatah kata.
“Kesempatan terakhir. Apa Kakak benar-benar ingin aku pergi? Aku masih bisa membatalkannya.”
Adnan lantas tertawa. Perlahan membawa tubuhnya berbaring di atas kasur adiknya. “Kenapa kamu berbicara seolah Kakak akan menahanmu di rumah? Mana mungkin Kakak akan membiarkanmu membatalkannya setelah susah payah membujukmu.”
Adira menarik napas panjang dan membuangnya dengan keras. “Baiklah. Aku jujur saja. Aku yang tidak ingin pergi. Entah kenapa perasaanku tidak enak. Batal saja, ya, Kak? Kita bersenang-senang saja di rumah, menonton film sambil memakan camilan yang Kakak belikan untukku. Ya?” mohon Adira panjang lebar sambil menunjukkan tatapannya yang ‘mematikan’.
Bertolak belakang dengan Adnan, Adira memiliki mata yang bulat dan berkilau. Tulang pipinya juga cukup naik, membuatnya terlihat begitu menggemaskan.
Saat ingin membujuk kakaknya, gadis itu cukup membuka lebar matanya dan memandang sang kakak sambil sedikit menundukkan kepala. Dilengkapi dengan bibirnya yang mengerucut dan suara merajuk yang dibuat-buat. Biasanya, ekspresinya yang satu ini cukup ampuh untuk melunakkan hati Adnan. Tidak peduli seberapa bulat keputusan yang telah pemuda itu ambil.
Namun, sepertinya usaha Adira tersebut tidak mempan untuk kali ini.
Dengan mudahnya Adnan menggelengkan kepala. “Tidak. Pokoknya kali ini Kakak tidak akan mengalah, meskipun kamu menatap Kakak seperti itu. Lagipula, Kakak ini sudah kelas dua belas! Selagi kamu pergi bersenang-senang nanti, Kakak akan pergi les atau belajar kelompok di perpustakaan.”
Sontak Adira membuang napas dengan kasar. Kakinya menghentak di tempat selagi wajahnya semakin tertekuk. “Ah! Kakak gak asik! Aku harus ngapain aja di sana, Kak? Kakak tahu sendiri aku bukan tipe orang yang sangat suka bermain di bawah terik matahari!”
Melihat adiknya yang siap mengamuk, Adnan akhirnya bangkit dan menarik tangan sang adik. “Dir …,” panggilnya lembut.
Meski sangat ingin untuk mengabaikan Adnan, tetapi suara sang kakak yang berbicara pelan membuat Adira menekan egonya dan menghadap pemuda itu dengan perhatian penuh.
‘Apa Kakak akhirnya akan mengalah?’ Gadis itu bertanya-tanya dalam hati.
“Adira, kamu itu …,” lanjut Adnan, “jangan bersikap seolah kamu gak pernah diajak jalan-jalan, dong! Malu-maluin!” Adnan menghempaskan tangan Adira hingga tangan gadis itu berayun di kedua sisi tubuhnya.
Seketika sang gadis melongo tidak percaya. “Kakak! Jangan bercanda, gak lucu!”
Adnan tertawa terbahak-bahak. Merasa bangga atas keberhasilannya membuat sang adik bertambah marah. “Aduh, aduh … lucu banget, sih, adik Kakak ini.” Adnan terlihat susah payah berbicara di sela tawanya.
Membuat Adira semakin mendelik kesal. Ia akhirnya mengambil koper kecilnya serta ransel yang tergantung di atas pintu dan membawanya keluar kamar. Tanpa mengucap sepatah kata pun kepada Adnan.
Namun, sebuah tangan besar yang menepuk pundaknya membuat Adira berhenti tepat sebelum ia membuka pintu kamar.
“Hati-hati, ya, di sana. Jangan lupa untuk terus kabari Kakak.” Adnan berbicara dengan tatapan lembut. Layaknya seorang ayah yang tengah melepas gadisnya untuk membangun kehidupan baru bersama seorang suami.
Meski bergidik geli, Adira menahan diri dan terus diam, mendengarkan ucapan Adnan.
“Di sana kamu harus keliling, ya! Anggap aja sekalian survei. Kalau menurutmu tempat itu bagus, setelah Kakak lolos ujian masuk perguruan tinggi, nanti kita pergi ke sana. Mau bersama ayah dan ibu, atau berdua saja, terserah. Apa pun yang mau kamu lakukan nanti, bakal Kakak kabulkan.”
Kedua mata Adira membelalak. Mata gadis itu seolah terkunci, dan hanya bisa dipakai untuk melihat sang kakak. Kakaknya yang selalu jahil tetapi begitu perhatian melebihi kedua orangtua mereka sendiri.
Tangan Adira merogoh saku rok abu-abu yang dikenakannya. Sejenak menghela napas karena tidak ingin menggunakan seragam sekolah untuk pergi wisata. Gurunya benar-benar aneh, karena meminta para murid untuk berangkat dengan seragam, dan baru mengenakan baju bebas setelah sampai nanti. Meski tidak suka, Adira dan kawan-kawan hanya bisa menurut.
Dari dalam sakunya, gadis itu mengeluarkan sebuah kunci dengan gantungan kunci berbentuk doraemon yang tengah memakan dorayaki.
“Oke. Awas kalau nanti bilang gak pernah janjiin aku apa-apa, ya!” ancamnya sambil melemparkan kunci di tangannya. “Kakak antar aku pakai mobilku aja, ya. Lebih mudah keluar dari garasi.”
Refleks yang bagus membuat Adnan dengan mudah menangkap kunci mobil yang terbang melesat ke arahnya. “Loh? Emang Kakak bilang mau nganterin kamu?”
“Kak!”
“Oke, oke,” jawab Adnan sambil memainkan kunci di tangannya. Menimbulkan suara gemerincing yang sama sekali tidak menyakiti telinga. “Aduh, kamu jangan galak terus, dong. Nanti Kakak susah dapet adik ipar.”
Adira berbalik sambil berdecak kesal. “Kakak nanti nikah aja sama gadis yang punya banyak adik. Otomatis Kakak bakal punya banyak adik ipar!”
“Hah … bukan gitu, dong, maksudnya.”
Adira berjalan cepat menuruni tangga. Mengabaikan tangannya yang pegal karena harus mengangkat kopernya yang meskipun berukuran kecil, tetapi memiliki isi yang padat dan berat. Tanpa repot-repot memasuki ruangan lain di rumahnya, gadis itu langsung keluar melalui pintu belakang menuju garasi.
Seperti hari-hari lainnya, kedua orangtuanya tidak ada di rumah untuknya berpamitan.
Tidak butuh waktu lama untuk kakak beradik itu bersiap. Kini mereka berdua telah duduk berdampingan di dalam mobil kecil Adira.
“Tunggu apa lagi? Ayo, jalan!” pinta Adira sambil menyimpan ranselnya di bangku belakang, sementara kopernya sudah berada di bagasi.
Adnan menatap adiknya penuh tanya. “Kamu, kan, udah bawa koper. Itu ransel buat apa?”
“Buat buku-bukuku,” jawab Adira santai. Gadis itu tidak memperhatikan kakaknya yang merengut karena terlalu sibuk memasang sabuk pengaman.
“Astaga! Siswa SMA mana yang bawa buku saat wisata?”
“Pasti ada, kok. Buktinya aku.” Adira memutar bola matanya kesal. “Kapan berangkatnya, nih?”
Adnan meremat setir di depannya. ‘Apa Adira selalu seperti ini sejak kecil?’ pikir pemuda itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments