“Wah! Lihat itu!” seru Abian tiba-tiba. Pemuda itu berdiri dengan heboh di kursinya. Menempelkan kedua telapak tangan serta wajahnya ke jendela bus yang lebar. Uap napasnya meninggalkan jejak embun di kaca bening itu. Adira yang duduk tidak jauh darinya meringis jijik melihatnya. Membayangkan seberapa banyak kuman yang kini menempel di kulit wajah temannya itu.
“Ada apa, sih?” tanya Karsa dari salah satu kursi di bagian belakang bus.
“Mobil itu! Sejak tadi aku melihatnya dari kejauhan, tapi sekarang setelah berada sedekat ini, rupanya mobil itu terlihat lebih mewah dari yang kubayangkan!” jelas Abian dengan heboh. Ia bahkan menyebutkan dengan detail merek serta keunggulan dari mobil yang kini telah melenggang mendahului bus. Menghilang di balik kendaraan roda empat lainnya yang tengah melaju di jalur yang sama. “Bahkan cat warna merahnya terlihat sangat berbeda! Sangat mewah!”
“Kira-kira siapa yang mengendarai mobil seperti itu di daerah padat seperti ini?” tanya Firda tiba-tiba.
Adira menoleh ke arah sahabatnya, otomatis membuatnya tidak melihat bagaimana Abian berlari dan meminta sopir untuk mempercepat laju bus. Berharap mereka akan bisa menyusul sang mobil mewah kembali. “Aku tidak tahu. Kemungkinan besar dia bukan orang biasa,” jawab Adira seadanya.
Firda merapatkan bibir sambil mengangguk. “Seandainya kita boleh membawa kendaraan sendiri, pasti akan nyaman sekali. Bus ini terasa cukup sesak, dan aku mulai merasa mabuk.”
“Oh, tidak. Jangan sampai kamu mengeluarkan sarapanmu di sampingku!”
“Tidak akan!”
“Berjanjilah! Atau aku akan minta seseorang bertukar tempat denganku!”
“Astaga! Kamu berlebihan!” Firda mendengkus dengan kesal. Sedikit pun tidak mau mengakui bahwa perdebatannya dengan Adira cukup mengalihkan perhatiannya dari rasa mual yang mulai bergerak naik ke tenggorokannya. “Sepertinya lebih baik aku tidur. Bangunkan jika kita sudah sampai.”
“Oke,” jawab Adira malas. Ia sendiri tengah menyamankan posisinya bersandar di atas kursi. Sebab tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain ikut memejamkan mata. Siapa tahu dengan begitu, perjalanan mereka akan terasa lebih singkat.
Saat terpejam, Adira membayangkan kendaraan roda empat yang Abian deskripsikan memiliki warna merah terang yang mencolok mata. Namun, dalam benaknya, Adira membayangkan cat mobil tersebut perlahan berubah menjadi semakin pekat dan gelap. Perlahan luruh dari tubuh kendaraan itu. Mengendap, dan mengalir membasahi jalanan.
Bau amis yang menyapa indra penciumannya membuatnya terjaga. Entah kenapa ia menjadi sangat gelisah.
***
“Kak Zean, taman bermainnya masih jauh?” tanya seorang gadis kecil dengan pipi bulat menggemaskan.
Zean yang selalu tidak tahan untuk mencubit pipi adiknya itu lantas mengulurkan tangan untuk sekadar mengusak rambut pendek sang adik. “Sebentar lagi sampai. Yang sabar, ya, Ca.” ucapnya lembut. Ia kembali menghadap ke depan. Mengemudikan kendaraannya dengan penuh konsentrasi demi keselamatan mereka berdua. Apalagi di jalan yang tengah dilaluinya saat ini ada cukup banyak kendaraan besar. Seperti truk pengangkut pasir, dan bus-bus yang mengangkut anak sekolah berwisata.
Pemuda itu sempat tersentak melihat seorang anak laki-laki menatap ke arah mobilnya dari dalam bus. Ia lantas merapatkan topi baseball yang ia kenakan agar lebih menutupi wajahnya, sebelum sedikit menambah kecepatan mobilnya. “Lebih baik kamu istirahat dulu aja, biar nanti bisa lebih segar buat naik berbagai wahana di sana.” lanjutnya lagi setelah menyadari Helsa yang terus terdiam.
“Apa dia penggemar Kakak?” Gadis kecil itu justru bertanya, rupanya ia juga menyadari apa yang Zean lihat dari bus sekolah yang mereka lewati tadi.
“Mungkin saja. Kamu tahu, kan, Kakak sedang sangat naik daun karena film aksi terakhir yang Kakak bintangi,” jawab Zean dengan bangga. “Tapi kamu tidak perlu khawatir, Kakak akan pastikan hari ini kita bisa berjalan-jalan dengan bebas tanpa gangguan apa pun.”
Sejenak Zean menoleh untuk menatap adiknya. Namun, di luar dugaan, Helsa kini sama sekali tidak terlihat senang. Gadis itu bahkan tampak mengerucutkan bibir sambil memainkan jari-jarinya yang cukup berisi.
“Kenapa cemberut gitu? Ada apa?” Zean mulai merasa cemas. Ia meremat setir di hadapannya dengan sedikit terlalu kuat hingga jari-jarinya tampak memutih. “Apa ada yang sakit? Kamu tidak enak badan? Kita bisa kembali ke rumah, dan jalan-jalan di hari lainnya.”
“Tidak mau! Setelah ini pasti Kakak akan kembali sibuk. Lagipula, aku cuma ingat lagi saat terakhir kali aku main sama Kakak,” jawab Helsa dengan wajah murung. “Sampai sekarang aku masih takut melihat kakak-kakak yang berwajah seram. Kupikir mereka temannya Kakak Jahat yang waktu itu memaksa Kakak untuk membeli pasir putihnya.”
Deg! Perlahan wajah Zean memucat.
‘Kukira Eca sudah lupa soal itu. Bagaimana ini?’ Sebisa mungkin Zean menahan seluruh kepanikannya. Menguburnya jauh di dalam hati.
“Waktu itu dia butuh uang,” jawab pemuda itu hati-hati. “Mungkin dia mengira kalau Kakak pelihara ikan eksotis di akuarium mewah. Dia pasti ingin Kakak membeli pasir miliknya untuk menghias akuarium.”
Zean merasakan bagaimana dadanya terasa menyempit setiap kali ia meneruskan kebohongan yang diucapkannya. Padahal ia tahu betul bahwa benda yang Helsa kira sebagai pasir, sama sekali bukanlah pasir. Melainkan benda terlarang yang tidak seharusnya diketahui oleh bocah seperti sang adik.
Tidak ada pilihan lain. Zean hanya harus menyampaikan kebohongan yang cukup dapat dipercaya sebelum mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
“Nanti setelah sampai di sana, mau makan dulu? Ada yang kamu inginkan?” tanya pemuda itu dengan sedikit terlalu antusias.
Berhasil. Wajah Helsa tampak kembali berseri. Dengan semangat gadis itu tampak merenungkan pilihannya sebelum akhirnya menjawab. “Aku mau permen kapas yang sangat besar! Temanku pernah membawa satu yang berbentuk bunga.”
Mendengar itu, sontak Zean menggelengkan kepala dengan cepat. “Eca, kamu tahu, kan, kalau kamu tidak boleh terlalu banyak makan makanan manis,” ucapnya dengan hati-hati. Ia sangat tidak ingin menolak keinginan sang adik, tetapi mau bagaimana lagi? Nyawa Helsa bisa berada dalam bahaya jika sampai ia lengah dan tidak bertindak tegas.
Helsa lantas merengek. “Tapi aku bukannya gak boleh makan sama sekali, kan, Kak? Lagian aku juga bawa semua pengobatanku, termasuk injeksi, dan juga ini.” Helsa menunjukkan bagian lengannya di mana sebuah kubus kecil berwarna putih melekat dengan erat. “Aku akan jamin bahwa alat ini sama sekali tidak akan berbunyi hari ini. Aku sudah sangat ahli dalam mengatur asupan gulaku!”
Zean menghela napas panjang. Merasakan berbagai emosi bercampur di benaknya. Ia sungguh sangat kagum dan senang mendapati bahwa adiknya, Kirana Helsa, mengetahui banyak hal mengenai kondisi tubuhnya sendiri. Namun, ia juga merasa sangat sedih. Sebab tidak seharusnya seorang gadis yang baru berusia 10 tahun memikul beban berat karena menderita penyakit yang tidak pernah ia harapkan seumur hidup.
“Oke, kalau begitu …,” entah kenapa sulit sekali untuk Zean menyanggupi permintaan Helsa kali ini, “kita lihat saja nanti, ya.”
“Ah, Kakak!”
Zean hanya terkekeh dan mengulurkan tangan untuk meremat pundak Helsa pelan.
‘Semoga hari ini akan menjadi hari paling bahagia untukmu, ya, Ca,’ harapnya dalam hati.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments