Perlahan Sekar beranjak dari kamar berukuran luas itu. Ia ingin mencari tahu siapa sebenarnya pemilik rumah mewah yang berada di tengah hutan ini.
"Kamu sudah bangun, Nduk?" tanya seorang pria paruh baya yang tiba-tiba saja muncul dari arah ruang tamu.
"I-i-iya, Pak. Saya mau sholat subuh. Apa mbok Jum punya mukena?"
"Tunggu sebentar."
Pria itu pun beranjak meninggalkan ruang tamu. Tidak berselang lama ia kembali dengan membawa mukena beserta sajadahnya."
"Apa di rumah sebesar ini tidak ada mushola, Pak ehm …"
"Panggil saya pak Samsul. Saya suami mbok Jum. Di rumah ini tidak ada mushola, Nduk. Saya dan istri saya kalau sholat di dalam kamar. Nama kamu siapa?"
"Nama saay Sekar. Ya sudah saya shalat subuh dulu."
****
"Loh, kamu mau kemana, Nduk?" tanya mbok Jum saat mendapati Sekar keluar dari dalam kamarnya dengan membawa serta tas miliknya.
"Saya mau pulang, Mbok. Saya menyesal sudah meninggalkan rumah tanpa pamit."
"Memangnya kamu tahu arah jalan pulang?"
"Insyaallah."
"Ya sudah, hati-hati."
Sekar pun berjalan keluar meninggalkan rumah itu. Meskipun ragu, ia memutuskan memilih berjalan ke arah kiri. Namun sepertinya ia salah memilih jalan. Bukannya bertemu rumah pemukiman atau rumah penduduk, dia justru kembali bertemu dengan hutan lebat. Semakin ia berjalan, ia justru semakin jauh masuk ke dalam hutan. Anehnya lagi dia justru kembali di rumah itu.
"Kamu tidak akan pernah bisa keluar dari hutan larangan ini," ucap seseorang bersuara berat.
"Siapa itu?"
Sekar mengedarkan pandangannya di sekitar tempat itu namun ia tak menemukan siapapun. Dia justru sedikit berjingkat saat mbok Jum menyentuh pundaknya.
"Kamu pasti akan kesulitan menemukan jalan keluar dari hutan larangan ini," gumam mbok Jum.
Tiba-tiba saja langit berubah mendung. Detik kemudian hujan pun turun dengan derasnya. Hal itu memaksa Sekar untuk menuruti ajakan mbok Jum untuk masuk kembali ke dalam rumah berlantai tiga itu.
"Kamu pasti kesulitan untuk menemukan jalan keluar dari hutan larangan ini," ucap pak Samsul.
"Pak Samsul dan Mbok Jum sendiri bagaimana bisa hidup di tengah hutan begini?" tanya Sekar yang hanya ditanggapi keduanya dengan senyum tipis.
Tiba-tiba terdengar suara deru mobil dari bagian samping rumah.
"Aneh, kenapa mobil itu tidak diparkir di halaman depan saja?" gumam Sekar.
"Tuan muda sudah pulang, mbok siapkan makanan dulu." Mbok Jum berlalu dari hadapan Sekar lalu berjalan ke arah dapur.
"Apa yang dimaksud tuan itu adalah pemilik rumah ini, Pak?" tanya Sekar.
"Benar, Nduk. Pemilik rumah ini bernama tuan Alvaro."
"Memangnya dia dari mana? Kenapa pula pagi-pagi begini?" tanya Sekar. Lagi-lagi pertanyaannya hanya ditanggapi senyum tipis.
"Saya ke halaman belakang dulu. Rumput di sana sudah mulai tinggi." Pria yang tubuhnya sudah mulai bungkuk itu berlalu dari hadapan Sekar kemudian meninggalkan ruangan tersebut.
Siang harinya.
"Memangnya tuan Alvaro tidak makan di meja makan, Mbok?" tanya Sekar di sela makan siang mereka.
"Tuan muda melakukan apapun di dalam kamarnya."
"Pagi-pagi begini baru pulang, memangnya dia dari mana semalaman?"
"Mbok kurang paham dengan pekerjaan tuan muda Alvaro. Yang mbok tahu hanya urusan dapur dan sumur." Wanita yang rambutnya hampir dipenuhi uban itu terkekeh.
"Sudah berapa lama Mbok Jum dan pak Samsul bekerja di sini?" tanya Sekar.
"Sudah puluhan tahun, Nduk."
"Puluhan tahun?"
Mbok Jum membuang nafas.
"Kami sudah tinggal di sini sejak tuan Prasojo dan nyonya Caroline masih hidup."
"Siapa mereka?"
"Mereka adalah kedua orangtua tuan muda Alvaro yang meregang nyawa setelah ditembak oleh seseorang yang merupakan orang ke tiga di dalam pernikahan tuan dan nyonya."
"Siapapun orangnya, dia benar-benar tidak punya hati!"
Tiba-tiba saja ingatan mbok Jum kembali pada puluhan tahun silam.
*Flashback on*
Siang itu tuan Prasojo baru saja pulang dari kantornya. Istrinya, Caroline tengah bermain dengan Alvaro yang saat itu masih berusia satu tahun di ruang tamu.
Caroline sendiri tengah mengandung anak ke dua mereka dan usia kandungannya baru memasuki bulan ke dua.
"Katakan, siapa ayah dari bayi yang ada di dalam perutmu itu!"
"Maksud kamu apa, Sayang?" tanya Caroline dalam bahasa Belanda.
Ya, Caroline memang bukan keturunan asli Indonesia. Dia lahir dan besar di Belanda. Keduanya dipertemukan saat Prasojo melakukan perjalanan ke Belanda. Singkat cerita keduanya saling jatuh cinta dan memutuskan menikah. Karena besarnya rasa cinta Prasojo pada Caroline, ia pun menuruti semua permintaan istrinya itu termasuk membangun rumah mewah di dalam hutan.
"Tadi aku bertemu dengan Cliff. Dia mengatakan dua bulan yang lalu menidurimu saat kamu terbang ke Belanda."
"Itu tidak benar. Aku tidak pernah tidur dengan laki-laki manapun kecuali kamu."
"Omong kosong! Sekarang juga gugurkan bayi itu! Aku tidak sudi kamu melahirkan bayi dari benih laki-laki lain!"
"Percaya lah, bayi ini anak kita," ucap Caroline.
"Sudahlah, sudah saatnya kita mengakui hubungan kita," ucap seorang pria yang baru saja memasuki ruangan itu.
"Cliff! Kenapa kamu menuduhku sehina ini? Apa salahku?"
"Kamu tidak perlu menutupinya lagi. Kita melakukannya atas dasar suka sama suka 'bukan?"
"Pergi dari rumah ini dan jangan pernah berani muncul di hadapanku!"
"Aku yang akan mengajakmu pergi. Kita akan hidup bahagia," ucap Cliff seraya menarik lengan Caroline.
"Sayang! Tolong aku! Dia hanya ingin menghancurkan keluarga kita!" teriak Caroline.
Tanpa diduga Prasojo masuk ke dalam kamarnya. Tidak berselang lama ia kembali dengan membawa sepucuk senjata api.
Menyadari suasana yang semakin memanas, mbok Jum pun bergegas membawa Alvaro kecil menjauh dari ruangan itu. Demi menghindari hal yang tidak diinginkan, pak Samsul pun mengajak keduanya bersembunyi di sebuah ruang rahasia. Sepasang suami-istri itu tidak lagi mendengar perdebatan mereka hingga suatu ketika mereka mendengar letusan senjata api sebanyak tiga kali yang berasal dari ruang tamu. Pak Samsul baru mengajak mbok Jum keluar dari tempat persembunyian mereka saat suasana sudah hening.
Mata keduanya terbelalak saat mendapati ketiganya tergeletak di ruang tamu. Mereka sempat berpikir jika ketiganya sudah tewas, namun tiba-tiba saja mbok Jum mendengar sang nyonya yang memanggilnya.
"Mbok … Jum …"
"Pak! Nyonya masih hidup! Ayo kita bawa dia ke rumah sakit!!" pekik mbok Jum.
"Ti-ti-tidak per-lu. Sa-sa-ya su-dah- ti-dak ku-at. Rawat- Alvaro baik-baik. Jangan se-ka-li-pun tinggal-kan ru-mah ini ke-cua-li ka-li-an da-lam ba-ha-ya," ucap Caroline terbata. Detik kemudian ia pun menghembuskan nafas terakhirnya.
*Flashback off*
"Jadi, siapa sebenarnya ayah dari bayi yang dikandung nyonya Caroline?" tanya Sekar.
"Entahlah, hanya nyonya Caroline dan Tuhan saja yang tahu."
Bersambung …
Hai, pembaca setia, jangan lupa beri dukungannya ya. Beri like, komentar positif, fav, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian akan sangat berarti bagi Author. 🥰🥰🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments