Dalam waktu singkat berita penemuan mayat yang tewas saat melakukan hubungan badan di gubuk milik pak Darman pun menyebar luas dan sampai lah di telinga bu Wiwik, ibu kandung Lilis.
Wanita paruh baya itu begitu terpukul sampai-sampai ia pingsan berkali-kali dan pada akhirnya harus dilarikan ke rumah sakit.
"Kasihan ya, bu Wiwik, punya anak perempuan satu-satunya tapi mati dalam keadaan berz*na," ucap salah satu tetangga saat Sumirah berbelanja di warung yang berada tidak jauh dari rumahnya.
"Iya, bisa-bisa bu Wiwik jadi gila."
"Padahal menurutnya saya bu Wiwik dan pak Burhan cukup keras mendidik anaknya. Setelah lulus SD saja si Lilis langsung dimasukkan ke pondok pesantren. Dia lalu menikah muda di usiaku yang bary menginjak 17tahun."
"Oh ya ibu-ibu, saya dengar kedua suaminya meninggal karena Lilis itu dikutuk menjadi perempuan bahu Laweyan. Setiap pria yang menikahinya akan meninggal tidak lama setelah mereka menikah."
"Sudah ibu-ibu, tidak baik membicarakan aib orang yang sudah meninggal dunia, lebih baik kita kirim surat Al Fatihah untuk almarhumah. Kita tidak akan tahu kapan maut menjemput kita," ucap pemilk warung yang kerap dipanggil mbok Ijah itu.
"Iya, Bu. Kita juga tidak pernah tahu kapan Allah mengambil kita. Semoga kita dipanggil dalam keadaan baik, bukan saat kita sedang berbuat maksiat atau keburukan." Sumirah menimpali.
"Lagaknya sudah seperti paling benar saja," sungut tetangga yang bernama bu Anis.
"Bukannya begitu, saya juga menasehati diri saya sendiri."
"Kamu juga punya dua anak gadis loh, Mir. Didik mereka baik-baik. Jangan sampai menasehati orang, tapi kelakuan anak sendiri bikin orangtua ngelus dada."
"Insyaallah saya selalu menanamkan budi pekerti yang baik sekaligus ilmu agama pada kedua anak gadis saya."
"Memangnya itu bisa menjamin mereka menjadi anak gadis yang baik?"
"Insyaallah, Bu."
Wanita bertubuh pendek itu menanggapi ucapan Sumirah dengan mendengus kesal.
"Saya sudah belanja nya, Mbok. Ini berapa semuanya?" ucap bu Anis seraya menyodorkan kantong plastik bening berisi satu kilogram daging ayam lengkap dengan bumbu dapurnya.
"Ini saja, Bu?" tanya si pemilik warung.
"Ini saja juga saya yang belanjaannya paling banyak sendiri. Mereka pasti hanya sanggup membeli lauk tahu dan tempe saja," ucap bu Anis sebelum meninggalkan warung.
"Mentang-mentang uangnya banyak, sombongnya selangit. Belum jelas juga uangnya dari mana," ucap salah satu ibu.
"Benar juga ya, Bu. Suaminya bu Anis kan tidak bekerja. Kalau saya lihat kerjanya hanya duduk santai sambil baca koran dan minum kopi di teras. Dari mana mereka mendapatkan uang?"
"Jangan-jangan mereka memelihara tuyul atau babi ngepet."
"Hussh! Jangan sembarangan bicara. Siapa tahu mereka punya sumber penghasilan yang tidak kita ketahui. Jangan berprasangka buruk pada orang lain," ucap si pemilik warung.
"Memangnya Mbok Ijah tidak penasaran, dari mana bu Anis mendapatkan uang untuk membeli perhiasan emas sebanyak itu? Dia sidah seperti toko emas berjalan saja."
"Kenapa saya harus penasaran? Saya ini nggak suka mencampuri urusan orang lain."
"Mbok Ijah nggak asyik deh. Ya sudah, ini belanjaannya saya."
"Semuanya dua puluh ribu rupiah, Bu."
"Saya juga sudah, Bu," ucap Sumirah seraya menyodorkan sebuah kantong plastik bening berisi sebungkus tahu dan kentang. Hari ini Darman suaminya minta dibuatkan opor kentang dan tahu.
"Sepuluh ribu saja, Mir."
Sumirah mengambil selembar uang pecahan sepuluh ribu dari dalam saku baju daster yang dipakainya lalu memberikannya pada pemilk warung.
"Maturnuwun, Mbok, saya pulang dulu."
"Podho-podho."
(Sama-sama)
Sumirah meninggalkan warung lalu pulang ke rumahnya. Ia mendapati putri sulungnya, Sekar tengah menyapu halaman rumah.
"Kamu sudah bangun, Nduk."
*Sudah, Mbok."
"Kalau dyudah selesai nyapu, bantu mbok masak di dapur."
"Ya, Mbok."
Tiba-tiba terdengar suara teriakan Gendhis dari arah halaman belakang rumah.
"Mbok! Kotangku ilang!".
Keduanya pun beranjak dari teras lalu bergegas mendatangi sumber suara.
"Ini opo to Nduk?"
"Kutangju ilang, Bu. Padahal kemarin sore masih ada di sini." Gendhis menunjuk tali jemuran yang biasanya ia gunakan untuk menjemur pakaian yang masih basah jika ia mencucinya di sore hari.
"Ya Allah Gusti, kemarin ****** ***** punya si Sekar yang hilang. Sekarang giliran kutangmu. Sebenarnya siapa yang sudah jahil pada kedua anak gadisku?"
"Ono opo to bune? Esuk-esuk wis ngedumel," tanya pak Darman yang baru selesai menyadap pohon kelapa.
(Ada apa sih, Bu? Pagi-pagi sudah ngomel-ngomel)
"Ini lho Pak. Kemarin ****** ***** si Sekar yang hilang, sekarang giliran kutang si Gendhis."
"Awas wae yen nganti ketemu sing nyolong. Tak tugel manuk e!"
(Awas saja kalau sampai ketemu yang nyuri, aku potong ******** nya!)
"Aku yakin pencurinya orang yang sama dengan yang mencuri celana dalamku," ucap Sekar.
"Apa kamu sama sekali nggak paham dengan ciri-ciri pencurinya, Nduk?" tanya Sumirah.
"Pria yang kulihat mencuri jemuran kemarin badannya tinggi, memakai jaket, topeng dan topi. Tunggu! Ada gambar tengkorak di topi nya. Mungkin itu bisa jadi petunjuk siapa sebenarnya pencuri itu. Aku penasaran dengan alasan dan tujuannya mencuri pakaian dalam milik kita. Pria itu pasti punya kelainan," ungkap Sekar.
"Yo wis Bu ne, mengko tukokno kutang anyar nggo si Gendhis. Duit le adol lombok wingi isih to?"
(Ya sudah, Mbok. Nanti belikan BH baru untuk si Gendhis. Uang hasil penjualan cabe kemarin masih ada 'kan?)
"Masih, Pak. Ya sudah, sekarang kamu siap-siap sekolah. Nanti biar mbakyumu yang ke pasar beli BH buat kamu," ucap Sumirah. Gendhis mengangguk paham. Ia pun lalu masuk ke dalam rumah untuk bersiap ke sekolah.
Sekitar setengah jam kemudian Sekar berpamitan untuk ke pasar. Entah mengapa ada perasaan aneh saat ia melintasi pos ronda yang biasanya digunakan almarhum Hasan untuk nongkrong. Tiba-tiba saja ia merasa Hasan memanggilnya. Karena panik, Sekar pun kurang memperhatikan jalan dan bruk! Tubuhnya pun bertabrakan dengan seorang laki-laki.
"Ma-ma-af, saya tidak sengaja," ucapnya.
Laki-laki itu tampak acuh. Dia bahkan melengang begitu saja setelahnya.
"Siapa dia? Kenapa Wajahnya mirip sekali dengan Hasan?" gumamnya.
Demi menjawab rasa penasarannya, ia pun memutuskan bertanya pada salah seorang tukang ojek yang berada tidak jauh dari pos ronda.
"Maaf, apa Bapak tahu siapa laki-laki itu?" tanya Sekar sembari mengacungkan jari telunjuknya pada laki-laki yang barusan bertabrakan dengannya.
"Oh, itu 'kan Husein, saudara kembar Hasan."
"Kembar?"
"Ya, Nduk. Hasan 'kan memang punya saudara kembar. Tapi Husein ini kurang genap." Tukang ojek bernama pak Muin itu menempelkan jari di keningnya dalam posisi miring.
"Maksud Bapak dia agak stress?"
"Ya, begitulah. Tak ada yang tahu apa yang menyebabkan Husein begitu. Dia nyaris tak pernah keluar rumah. Hari-harinya dihabiskan dengan mengunci diri di dalam kamarnya. Pak lurah dan bu Lurah pun tidak pernah tahu apa yang dilakukan Husein di dalam kamarnya," ungkap pak Muin.
Sekali lagi Sekar memandang punggung laki-laki bernama Husein itu.
"Topi bergambar tengkorak itu … tidak salah lagi. Itu topi yang kemarin dipakai pencuri pakaian dalamku," gumamnya.
"Terima kasih untuk informasinya, Pak."
"Loh, kamu mau ke pasar 'kan? Kok malah balik ke arah sana."
"Ehm … anu … Pak. Uang saya ketinggalan."
"Weladalah. Piye to? Arep Ning pasar kok lali Ra nggowo duit."
(Gimana sih, mau ke pasar kok lupa tidak membawa uang)
Sekar tidak benar-benar kembali ke rumahnya. Itu hanya alasannya saja. Yang dilakukannya adalah mengikuti Husein secara diam-diam. Ia ingin tahu kenapa dia mencuri pakaian dalam miliknya juga milik adik perempuannya, Gendhis.
Rumah pak lurah memang cukup besar. Sekar sengaja mengintai Husein dari kebun singkong yang berada persis di belakang rumah itu. Ia terus mengawasi Husein hingga masuk ke dalam rumah hingga salah satu jendela di rumah itu terbuka. Dengan langkah mengendap-ngendap Sekar mendekati jendela itu. Ia yakin hasil pencuriannya pasti disimpan di dalam kamar itu.
Sekar mulai melongok ke bagian dalam ruangan itu. Matanya terbelalak saat mendapati pemandangan yang tersaji di hadapannya.
Bersambung …
Hai pembaca setia, jangan lupa beri dukungannya ya. Beri like, komentar positif, fav, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰
Happy reading…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments