#MDS 13#

Sekar baru pulang ke rumahnya saat jam menunjukkan pukul lima sore.

"Alhamdulillah, Nduk. Akhirnya kamu pulang juga. Mbok baru akan meminta bapakmu untuk menjemputmu ke rumah pak Warsito," ucap Sumirah.

"Iya, Mbok. Aku diterima bekerja di rumah pak Warsito dan diminta langsung bekerja. Aku tadi mencuci pakaian segunung, Mesin cucinya rusak, jadi aku harus mencucurkan dengan tangan," jelas Sekar.

"Bagaimana keluarga itu? Apa pak Warsito marahin kamu?"

"Aku belum bertemu pak Warsito. Dia belum pulang dari kantor. Menurutku bu Dini baik kok, hanya nada bicaranya saja yang tegas. Oh ya, Bu. Apa pak Warsito punya anak laki-laki yang usianya sedikit lebih tua dariku?"

"Sepertinya pak Warsito hanya punya satu anak perempuan saja, usianya sekitar tujuh tahun. Eh! Tunggu dulu. Mbok baru ingat, pak Warsito punya seorang anak laki-laki juga, tapi sudah meninggal dunia sekitar dua tahun yang lalu karena sakit. Banyak yang bilang Hisyam meninggal karena dijadikan tumbal pesugihan oleh kedua orangtuanya sendiri, tapi mbok juga tidak tahu itu benar atau tidak. Memangnya kenapa, Nduk?"

"Ah, ti-ti-tidak apa kok Mbok cuma nanya saja. Oh ya, gajiku per Minggu nanti sebesar 350 ribu. Lumayan untuk nambah-nambah nyicil bayar hutang."

"Maaf, Nduk. Kamu jadi harus ikut mikir hutang."

"Nggak apa-apa kok Mbok. Aku akan bantu selagi aku mampu," ujar Sekar. "Oh ya, Gendhis sudah pulang 'kan?" tanyanya kemudian.

"Sudah kok, Nduk, dia ada di dalam kamarnya."

"Syukurlah, tadi aku sempat khawatir saat dia berangkat ke sekolahnya tanpa pamit dulu pada kita."

"Sudah sore, kamu bersih-bersih, lalu shalat Ashar, nanti waktunya keburu habis," ucap Sumirah.

Sekar pun lantas berlalu dari hadapan sang ibu kemudian menuju kamar mandi yang berada di belakang rumahnya.

Sekar baru saja hendak menanggalkan pakaiannya. Memang sedari dulu atap kamar mandinya dibiarkan terbuka. Darman berpikir siapa yang mau mengintip. Namun, sore itu untuk pertama kalinya Sekar mendapati seseorang yang tengah memanjat salah satu pohon kelapa di kebun belakang rumahnya itu terlihat memandang ke arahnya. Mau apalagi dia di sana kalau bukan untuk mengintip aktifitas di dalam ruangan berukuran 2x3 meter itu.

Menyadari kehadirannya, laki-laki berbaju hitam itu bergegas turun dari pohon kelapa tersebut dan melarikan diri setelahnya. Sekar pun batal mandi sore itu, dia hanya mengambil air wudhu saja.

"Tak sumpahi matamu *picek!" umpatnya.

*buta.

"Ono opo to, Nduk? Kok muni-muni dewe?" tanya Darman yang seperti sore-sore biasanya selesai menyadap pohon kelapa.

(Ada apa sih, Nak? Kok ngomel-ngomel sendiri?)

"Itu loh Pak, barusan aku melihat ada orang mau ngintip aku mandi dari pohon kelapa itu." Sekar mengacungkan jari telunjuknya pada sebuah pohon kelapa.

"Mana? Nggak ada orang di sana."

"Ya sudah kabur lah Pak, saat aku menyadari kehadirannya."

"Memangnya pohon kelapa itu milik siapa, Pak?" tanya Sekar.

"Milik pak Marno."

"Jangan-jangan, …"

"Jangan mengadi-ngadi. Pak Marno sudah lama sakit. Boro-boro manjat pohon kelapa, jalan biasa aja kesulitan. Sudah sana shalat Ashar, waktunya keburu habis."

"Nggih, Pak."

"Bress!!"

Sekar mempercepat langkahnya saat tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Ia pun lantas masuk ke dalam rumah.

"Cuaca cerah begini tiba-tiba turun hujan," ucap Darman.

"Namanya juga cuaca Pak ne, tidak ada yang bisa memprediksi," sahut Sumirah.

yang mulai membuat api di tungku untuk mengolah hasil air sadapan pohon kelapa sore ini. Sementara Darman duduk santai di dipan kecil sembari menghisap rokok dengan ditemani secangkir kopi hitam dan roti sumbu alias singkong rebus.

"Oh ya, bagaimana si Sekar? Apa dia jadi bekerja di rumah si Warsito?"

"Katanya jadi, Pak ne. Seminggu dibayar 350 ribu. Uang itu mau buat nyicil hutang kita."

"Kita memang tidak bisa hanya mengandalkan hasil dari panen cabe saja untuk membayar hutang kita. Bapak harus mencari pekerjaan lain," ucap Darman.

"Memangnya Bapak mau kerja apa?" tanya Sumirah.

"Apa saja lah, Bu, yang penting halal dan menghasilkan duit. Mungkin bapak bisa menjadi kuli bangunan atau kuli panggul di pasar."

"Oh ya kalau tidak salah sedang ada pembangunan ruko di dekat pasar. Mungkin besok Bapak bisa mencoba mencari pekerjaan di sana," ucap Sumirah. Darman mengangguk setuju.

"Di mana Gendhis?"

"Ada di kamarnya."

"Tadi pagi bapak sudah bicara terlalu keras, Bapak harus minta maaf padanya."

Darman beranjak dari dapur kemudian menuju kamar putri bungsunya itu.

"Nduk," panggilnya dari depan pintu kamar.

"Ya Pak, masuk saja," sahut Gendhis dari dalam sana.

"Lagi belajar ya, Nduk?"

"Iya Pak, PR-ku banyak hari ini."

"Bapak mau minta maaf atas ucapan bapak pagi tadi," ucap Darman.

Gadis berambut panjang itu mengulas senyum.

"Tanpa Bapak minta maaf pun aku sudah memaafkannya."

"Bapak sempat khawatir kamu akan melakukan seperti apa yang diberitakan di koran itu. Anak sakit hati pada orang tuanya lalu minggaat dari rumahnya dan pagi harinya ditemukan tewas di perlintasan kereta api."

"Ya Allah, Pak, mana mungkin aku berpikiran sependek itu. Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah, justru akan membuat hidup kita menderita sampai hari kiamat nanti," ujar Gendhis.

"Doakan bapakmu ini agar sehat terus, biar bisa membiayai sekolahmu sampai lulus."

"Aamiin, ya Allah."

"Ya sudah ,lanjutkan belajarnya, bapak mau ke dapur lagi." Darman beranjak dari kamar Gendhis lalu kembali ke dapur.

Keesokan harinya.

Hujan semalaman membuat hawa pagi ini terasa begitu dingin. Namun hal itu bukan alasan bagi Sekar untuk bermalas-malasan. Apalagi pagi ini dia harus berangkat bekerja di rumah pak Warsito.

"Habis hujan begini pohon kelapanya pasti licin. Apa tidak bisa menunggu siang sedikit Pak?" ucap Sumirah saat Darman bersiap untuk menyadap pohon kelapa.

"Pagi ini aku berencana untuk mencari pekerjaan. Jadi menyadap kelapa nya harus selesai lebih awal."

"Ya sudah Bapak hati-hati."

Darman membawa alat tempurnya, yakni sebuah golok dan beberapa bumbung yang terbuat dari bambu yang biasanya digunakan sebagai tempat untuk menyimpan air hasil sadapan pohon kelapa.

Beberapa saat kemudian Sekar terlihat memasuki ruang dapur.

"Setiap jam tujuh pagi aku harus sudah berada di rumah pak Warsito, jadi aku harus memasak lebih awal," ucapnya.

"Biar mbok saja yang memasak, Nduk. Lagipula hari ini bapakmu juga berencana mencari pekerjaan di luar rumah. Mbok nggak berani ke sawah sendirian," ucap Sumirah. Sekar mengangguk paham.

"Apa bapak belum bangun Mbok?"

"Bapakmu sudah mulai menyadap pohon kelapa."

"Semalam hujan, pasti pohon kelapa licin."

"Mbok juga sudah bilang agar siangan sedikit menyadap pohon kelapanya, tapi bapakmu takut waktunya nggak keburu."

"Ya sudah aku ambil air wudhu dulu."

Sekar baru saja beranjak dari dapur, ketika tiba-tiba terdengar bunyi seperti benda terjatuh yang sangat keras dari arah halaman belakang rumahnya.

"Ya Allah suara apa itu, Nduk? jangan-jangan, …"

Sekar dan Sumirah bergegas mendatangi sumber suara. Alangkah terkejutnya saat melihat apa yang terjadi di depan mata mereka.

Bersambung …

Hai, pembaca setia, jangan lupa beri dukungannya ya. Beri like, komentar positif, fav, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰

Happy reading…

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!