MDS#3

Setelah selesai memasak sayur oseng daun singkong dan bacem, Sekar berangkat ke sawah untuk menyusul ayah dan ibunya memetik cabai.

Jantungnya berdegup kencang saatnya melintasi sebuah kebun. Kebun milik keluarga Zainal. Ya, sebenarnya sudah cukup lama Suci memendam perasaan pada guru mengaji itu. Sebagai perempuan tentu saja dia tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya, apalagi ia mendengar jika pemuda lulusan pondok pesantren ternama di kota Jawa timur itu sudah dijodohkan dengan seorang anak ustadz dari kampung sebelah bernama Hanum.

Sekar berjalan dengan wajah menunduk, ia berharap tidak bertemu dengan Zainal di sana.

"Assalamualaikum, Sekar," sapa seorang laki-laki bersuara lembut. Tidak salah lagi, dia lah Zainal atau yang kerap disapa Zain.

"Wa-wa-alaikumsalam," sahut Sekar masih dengan wajah tertunduk. Ia tidak memiliki keberanian untuk menatap wajah si penghafal Alquran itu.

"Mau ke sawah, ya?" tanyanya.

"Iya membantu bapak dan mbok panen cabai."

"Alhamdulillah, kalian beruntung, bisa panen di saat harga cabe sedang melonjak tinggi. Pohon cabe milik keluargaku baru mulai berbunga."

"Zain! Sudah mengobrolnya. Kita harus cepat cepat memupuk tanaman-tanaman sayuran kita!" Teriakan pak Sanusi, ayah Zainal terdengar dari kejauhan. Sekar paham, kyai itu tidak menyukai jika Zaenal mengobrol dengan dirinya.

"Ya sudah,kamu hati-hati. Aku kembali bekerja. Awas jalanan licin," ucap Zainal.

Sekar mengangguk paham.

"Ya sudah aku pergi dulu, Assalamualaikum."

Entah benar atau hanya perasaannya saja, Sekar merasa Zainal memandanginya setelah ia berlalu dari hadapannya.

"Kamu kenapa, Nduk, kok senyum-senyum sendiri begitu?" tanya Sumirah saat Sekar sampai di kebun miliknya.

"Oh … tidak kok Mbok. Ini Sekar bawakan minum," ucapnya salahnya meletakkan poci berukuran sedang di gubuk kecil yang sengaja dibuat sang ayah sebagai tempat mereka beristirahat.

"Sebelah mana, Mbok, cabe yang belum dipanen?" tanya Sekar.

"Di sebelah sana."

****

"Uang hasil penjualan cabe ini nantinya akan kita pakai untuk membayar SPP adikmu, Gendhis. Sebentar lagi dia ulangan umum semester," ucap sang ayah saat mereka minum teh di gubuk sambil melepas lelah.

"Alhamdulillah ya Pak, Bu. Kita panen cabai disaat harganya melambung tinggi," ucap Sekar.

"Rezeki memang sudah diatur, Nduk," ujar sang ibu.

"Bapak minta maaf, sekolahmu hanya selesai di bangku SMP saja," ucap sang ayah."

"Tidak apa, Pak, Sekar ngerti."

Bukannya enggan membiayai sekolah Sekar, namun saat itu keadaannya begitu sulit. Sang ayah gagal panen hingga membuatnya rugi besar. Jangankan untuk membayar biaya masuk sekolah, itu makan sehari-hari saja mereka terpaksa meminjam uang dari salah seorang pengusaha terpandang di desa itu.

Gendhis sang adik lebih beruntung. Hasil panen sang ayah melimpah di saat tahun ajaran baru. Berkat hasil panen itulah iya pengen tetap melanjutkan pendidikannya ke bangku SMA.

"Oh ya, Mbok. Tadi aku hampir saja menangkap pencuri celana dalamku, tapi aku tidak melihat wajahnya karena dia mengenakan topeng," ucap Sekar.

"Oh, dadi menungso toh, sing nyolong njeroanmu. Tak kiro lelembut."

(Oh jadi manusia ya pelakunya,bapak kira makhluk halus."

"Bapak Iki ngawur. Nggo opo lelembut nyolong dalemane si Sekar."

(Bapak ini ngawur, buat apa makhluk halus mencuri ****** ******** si Sekar."

"Ya sudah, kita pulang sekarang. Bapak sudah lapar," ucap pak Darman. Dia lantas menjinjing karung besar berisi cabai hasil panennya.

Menyusuri jalan pulang, mau tidak mau Sekar harus melewati kembali kebun pak Sanusi.

"Wah, panen nih, Pak Darman," sapa Zain.

"Alhamdulillah, *Lhe (Thole)."

*Panggilan untuk anak laki-laki bagi orang Jawa.

"Punya Nak Zain sendiri bagaimana? Sudah mau dipanen belum?" Sumirah menimpali.

"Belum, Bu. Baru berbunga."

"Semoga saat panen nanti harga cabai masih tinggi."

Pemuda itu hanya menanggapi ucapan Sumirah dengan senyum simpul di bibir.

"Ya sudah kami permisi pulang dulu, Nak," ucap pak Darman.

Entah karena gugup atau kurang hati-hati, salah satu kaki Sekar terpeleset pematang sawah dengan membuatnya nyaris terjatuh ke dalam kubangan lumpur. Beruntung Zain dengan sigap menopang tubuhnya. Detik kemudian netral keduanya pun bersitatap.

"Ehm!" Pak Sanusi berdehem. Sontak keduanya pun lekas menjaga jarak."

"Ma-ma-af, saya tidak bermaksud, …"

"Ya sudah, kami pulang dulu, Assalamu'alaikum." Sekar dan kedua orang tuanya pun meninggalkan kebun tersebut.

"Ingat Zain, kamu ini sudah dijodohkan dengan Hanum. Tidak usah macam-macam dengan gadis lain," ucapan Sanusi sesaat setelah keluarga Sekar berlalu.

"Tidak kok, Pak, tadi saya hanya mencoba menolong Sekar yang hampir jatuh."

"Sepertinya sebentar lagi adzan Dzuhur. Kita pulang saja sekarang, bapak juga sudah lapar," ucap pak Sanusi.

Tidak berselang lama keduanya pun meninggalkan tempat tersebut.

Sekar dan keluarganya tiba di rumah.

"Kamu masak apa hari ini, Nduk?" tanya Darman sembari melangkahkan kakinya menuju ruang makan.

"Masak oseng daun singkong dan tempe tahu bacem, ada sambal terasi juga."

"Wah, cocok. Bapak jadi semakin lapar."

Darman menarik sebuah kursi lalu mendudukinya, lantas dibukanya tudung saji yang biasanya digunakan untuk menutup makanan di atas meja.

"Kamu ini bercanda ya, Nduk? Katanya sudah masak tapi tidak ada makanan apapun di sini."

"Demi Allah, Pak, tadi Sekar sudah masak."

"Lihat, meja ini bersih tidak ada makanan apapun."

Sekar dan Sumirah yang penasaran pun bergegas mendekati meja makan. Mata keduanya terbelalak saat mendapati isi tudung saji itu kosong. Ada makanan apapun di sana bahkan bakul nasi bersih tak menyisakan sebutir nasi pun.

Tubuh Sekar mendadak lemas, ia pun terduduk lesu di kursi makan.

"Ke mana makanan yang kumasak tadi? Siapa yang memakannya?" gumamnya.

"Saat kamu mau berangkat ke sawah tadi, apa kamu sudah mengunci semua pintu, Nduk?" tanya sang ibu.

"Iya, Mbok, aku sudah mengunci semua pintu kok."

"Terus siapa yang memakan makanan ini?"

"Apa mungkin pencuri jemuran tadi?"

"Kalaupun dia memaksa masuk ke dalam rumah kita, dia akan merusak salah satu pintu atau jendela."

"Jangan-jangan, …"

"Jangan-jangan apa, Pak?"

"Jangan-jangan ,Genderuwo pelakunya."

"Kenapa Bapak mikirnya ke arah situ? Memangnya makhluk halus itu doyan dengan makanan kampung?"

"Siapa tahu saja dia sedang lapar, yang jadi nemu makanan apa saja ya diembat."

"Sudah, jangan mikirin aneh-aneh kebetulan tadi ibu habis memetik kangkung di sawah. Bapak mandi saja dulu, lalu sholat Dzuhur. Setelah Bapak selesai nanti pasti masakannya sudah matang," ucap Sumirah.

Darman beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju kamar mandi yang berada di belakang rumah, sementara Sumirah berjalan menuju dapur. Sekar sendiri masih duduk termenung di kursinya. Iya masih menebak-nebak siapa sebenarnya pelaku yang sudah menghabiskan makanan di meja makan. Apakah masuk akal jika makhluk halus pelakunya?

Bersambung …

Jangan lupa beri dukungannya ya.

Beri like, komentar positif, fav, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰

Happy reading…

Terpopuler

Comments

Imma Dealova

Imma Dealova

aku yang nulis juga gitu 🤭

2022-12-02

1

Suhaetieteetie

Suhaetieteetie

tambah penasaran nih merinding2 gimana gitu

2022-12-02

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!