#MDS 12#

Waktu terus berjalan. Saatnya membayar angsuran pertama pak Wiguna. Namun yang jadi masalah adalah Pak Darman belum memiliki cukup uang untuk membayar hutang tersebut. Ditambah lagi harga cabe yang kini anjlok. Jangankan untung, kedua orang tua Sekar merugi karena telah mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk membeli pupuk dan keperluan lainnya.

"Bagaimana ini, Pak? Hari ini kita harus membayar cicilan hutang pada pak Wiguna, tetapi uangnya belum ada," ucap Sumirah.

"Mau bagaimana lagi? Harga cabe sedang anjlok, kota rugi besar, Bu ne," ucap Darman dengan raut wajah bingung.

"Wiguna terkenal raja tega. Bagaimana kalau dia mengambil kebun milik kita satu-satunya?"

"Kamu jangan khawatir, bapak akan coba berbicara dengannya. Semoga dia mau memberi tambahan waktu untuk kita," ucap Darman.

"Pak, hari ini adalah hari terakhir pembayaran uang ujian," ucap Gendhis yang pagi itu telah rapi dengan pakaian seragam miliknya.

"Kamu lagi! Orangtua lagi pusing malah bikin tambah pusing. Ini semua gara-gara kamu! Kalau kamu tidak membonceng sepeda motor Anto, pasti kamu tidak akan mengalami kecelakaan. Keluarga kita juga tidak akan terjerat hutang pada rentenir untuk membayar biaya operasimu," ucap Darman.

"Bapak! Tidak sepantasnya Bapak bicara begitu pada Gendhis. Apa yang terjadi pada keluarga kita adalah musibah. Nyebut, Pak, ini adalah ujian," ucap Sumirah.

"Memang begitu kenyataannya. Masalah besar ini terjadi gara-gara Gendhis."

Gendhis yang sudah tidak tahan dengan ucapan sang ayah itu pun akhirnya memilih melengang begitu saja dari ruang tamu.

"Nduk! Nduk!!" Panggil Sumirah namun putri bungsunya itu sudah terlanjur menghilang dari pandangannya.

"Gendhis pasti sakit hati karena ucapan Bapak tadi," ujar Sumirah.

"Kalaupun dia ngambek, memangnya dia mau pergi kemana? Saudara saja tidak punya."

"Anak muda jaman sekarang tidak segan berbuat nekad."

"Ya sudah, sebelum orang suruhan Wiguna datang, bapak mau ke rumahnya," ucap Darman. Ia pun lantas meninggalkan ruangan itu.

*****

"Saya minta maaf, hari ini saya belum bisa membayar cicilan hutang saya," ucap Darman ketika sudah berada di hadapan pak Wiguna. Seorang lintah darat yang berkedok malaikat. Ia mungkin akan dengan mudah memberi pinjaman tanpa syarat apapun, asalkan sang peminjam menyetujui besarnya bunga yang harus dibayarkan olehnya setiap bulan.

"Sudarman … Sudarman. Saya masih ingat betul wajah memelasmu saat kamu mendatangi rumah ini untuk meminjam uang bagi operasi anak gadismu. Hari ini kamu kembali datang dengan wajah yang sama dengan meminta tambahan waktu untuk membayar hutangmu. Saya bisa saja memberi tambahan waktu untukmu, akan tetapi tentu saja beda peraturannya."

"Maksudnya bagaimana?"

"Satu hari artinya bunga hutangmu bertambah 1 persen."

"Kamu memang benar-benar lintah darat, Gun!"

Kenapa Darman berani membentak Wiguna?

Dulunya Darman dan Wiguna bersahabat. Namun hubungan mereka memburuk setelah mereka jatuh hati pada seorang perempuan bernama Sumirah. Meskipun Wiguna tergolong dari keluarga berada, namun Sumirah lebih memilih menjatuhkan pilihannya pada Darman yang hanya anak seorang petani.

"Kamu bebas mengataiku apapun yang kamu mau. Tapi ingat, itu tidak akan sedikit pun merubah peraturan yang tadi kubuat. 1 persen untuk satu hari , tentu saja itu belum termasuk hutang pokok dan bunga yang 10 persen."

"Kalau ada pilihan, aku tidak sudi berhutang pada manusia dzalim sepertimu!"

"Masih banyak hal penting yang harus dikerjakan daripada harus melayani orang sepertimu. Silahkan datang kembali ke rumah ini jika kamu sudah punya uang yang cukup untuk membayar hutangmu," usir Wiguna secara halus.

"Hidupmu tidak akan pernah berkah dengan haram!" seru Darman.

Wiguna hanya menanggapi ucapan itu dengan senyum simpul di bibir. Tak lama ia pun masuk kembali ke dalam rumahnya.

***

"Bagaimana, Pak? Bapak sudah bertemu Wiguna?" tanya Sumirah sesampainya Darman di rumah.

"Sudah, Bu ne."

"Lalu, apa katanya? Apa dia mau memberi perpanjangan waktu untuk membayar hutang kita?"

"Dia mau memberi perpanjangan waktu pada kita asalkan kita mau membayar bunga tambahan sebesar 1% untuk setiap harinya."

"Astaghfirullahaladzim. Benar-benar lintah darat! Sudah tahu orang lagi kesusahan. Bukannya membantu, malah membuat makin susah."

"Masalahnya sekarang Bapak tidak tahu bagaimana mencari uang sementara hasil panen cabe tidak bisa kita andalkan."

Beberapa saat kemudian Sekar keluar dari dalam kamarnya.

"Kalau Bapak dan Ibu mengizinkan, aku mau membantu agar kita bisa segera membayar hutang pada pak Wiguna," ucapnya.

"Maksud kamu apa Nduk?"

"Aku mau bekerja."

"Bekerja apa? di mana?"

"Aku dengar di rumah pak Warsito sedang membutuhkan asisten rumah tangga karena asisten rumah tangga mereka pulang kampung lantaran mengurus orang tuanya yang sering sakit-sakitan."

"Kamu yakin, Nduk? Pak Warsito dikenal galak."

"Segalak-galaknya manusia, tidak akan memakan sesamanya 'bukan?"

"Sebenarnya Mbok tidak sampai hati bila harus menyuruhmu bekerja, tapi keadaan keluarga kita sekarang membutuhkan banyak uang untuk membayar hutang kita pada Wiguna. Mbok tidak rela jika kebun kita satu-satunya jatuh ke tangannya," ungkap Sumirah.

"Baik, Pak … Mbok, siang ini juga aku akan mendatangi rumah pak Warsito untuk melamar pekerjaan di sana," ucap Sekar.

Setelah berpamitan pada kedua orang tuanya, Sekar pun meninggalkan rumahnya dan menuju rumah pak Warsito yang berada di perbatasan kampungnya dan kampung Tegalwangi.

*****

"Perlu kamu tahu, pekerjaanmu di sini tidak hanya beres-beres saja, melainkan memasak, menyetrika, dan mengantar jemput anak saya sekolah. Gaji kamu sebulan 1.500.000. kamu harus sampai di rumah ini tempat pukul 07.00 pagi dan pulang pukul 03.00 sore. Bagaimana, kamu setuju dengan persyaratan yang saya sebutkan tadi?" papar bu Dini, istri pak Warsito.

"Baik bu saya setuju. Tapi jika Ibu tidak keberatan saya ingin Ibu membayarkan gaji saya per minggu saja."

"Tidak masalah, jika kamu meminta gaji per Minggu, saya akan membayarmu sebesar 350.000 setiap minggunya."

"Baik, Bu."

"Kamu bisa mulai bekerja sekarang juga."

"Sekarang?"

"Ya, kebetulan sudah beberapa hari ini asisten rumah tangga saya pulang kampung, jadi cucian menumpuk di belakang. Saya ingin kamu mencuci pakaian kotor itu lalu menyetrikanya. Ingat pakaian-pakaian itu harus bersih, rapi, dan wangi," jelas bu Dini.

Sekar mengangguk paham.

"Ya sudah, sekarang kerjakan pekerjaanmu. Jam tiga sore nanti kamu bisa pulang," ucap bu Dini. Ia pun lantas berlalu dari hadapan Sekar dan masuk ke dalam kamarnya.

Sekar telah berada di ruangan belakang yang biasanya digunakan untuk mencuci.

Matanya terbelalak saat mendapati 3 keranjang besar berisi pakaian dan semuanya dalam keadaan kotor.

"Mencuci sebanyak ini, bisa-bisa Maghrib baru selesai," gumamnya.

Tiba-tiba pandangan Sekar tertuju pada sebuah mesin cuci yang berada tidak jauh dari keranjang pakaian tersebut.

"Kalau mencuci dengan mesin cuci ini, pasti pekerjaanku cepat selesai," batinnya.

"Oh ya, mesin cuci ini rusak. Saya sudah memanggil tukang service tapi belum datang-datang juga. Jadi kamu harus mencuci semuanya dengan tangan," jelas bu Dini.

"Hah?!"

"Kenapa? Kamu keberatan? Kalau kamu keberatan kamu boleh kok pulang sekarang juga. Masih banyak orang yang mau dengan pekerjaan ini."

"Ti-ti-tidak, Bu. Saya akan segera mencuci pakaian-pakaian ini."

Sekar mulai mencuci pakaian-pakaian itu dengan tangannya. Lantaran merasa berkeringat, ia pun terpaksa melepaskan kerudungnya yang nyaris tidak pernah lepas menutupi kepalanya.

"Kamu siapa?"

Sekar hampir berjingkat saat tiba-tiba seseorang muncul di belakangnya. Ia pun lekas mengenakan kembali kain kerudungnya.

"Astaghfirullahaldzim!"

"Kok istighfar. Memangnya saya hantu?"

Tampak di hadapannya seorang laki-laki berusia sekitar 25 tahun an. Kulitnya putih bersih meskipun sedikit pucat dan badannya tinggi tegap. Tampan. Satu kata itulah yang tepat untuk mewakilinya.

"Saya Sekar, Pak."

"Enak saja panggil bapak, memangnya saya kelihatan seperti bapak-bapak?" protesnya.

"Ehm … Paman, Pak lek, Om."

"Ah, terserah lah mau panggil saya apa. Cepat buatkan saya minuman dingin lalu antarkan ke kamar saya."

"Baik, Om, Paman, Pak lek."

Laki-laki tampan itu pun mendengus kesal sebelum akhirnya berlalu dari hadapan Sekar.

Beberapa saat kemudian, Sekar telah selesai membuat minuman dingin. Namun ia bingung, ke mana ia harus mengantarkannya.

"Mbak ini siapa?" tanya seorang gadis kecil berusia 7 tahun yang baru saja keluar dari dalam kamarnya.

"Nama saya Sekar, saya baru hari ini bekerja di rumah ini."

"Oh, gantinya Mbak Tutik. Itu minuman buat siapa?"

"Buat laki-laki yang tadi."

"Laki-laki yang mana, Mbak?" Gadis berkuncir dua itu mengerutkan keningnya.

"Yang tadi pakai kaos pendek berwarna hijau."

"Bapak? Bapak belum pulang dari kantor."

"Bukan, Dek. Laki-laki usianya sekitar 25 tahun. Badannya tinggi, kulitnya putih."

"Di rumah ini kami hanya tinggal bertiga saja kok Mbak. Aku, ibu dan bapak. Mas Hisyam sudah meninggal 2 tahun lalu karena sakit," gadis kecil itu.

Tiba-tiba saja bulu kuduk Sekar meremang.

"Jadi, siapa laki-laki tadi itu? Jangan-jangan dia …"

"Kenapa, Mbak?"

"Tidak apa kok Dek."

"Minumannya buat Nina saja ya."

"I-i-iya, silahkan."

Nina pun lantas meraih gelas itu lalu meneguknya.

"Hmm… segar! Terima kasih, Mbak Sekar. Saya balik ke kamar dulu."

Sekar mengedarkan pandangannya di sekitar ruangan itu. Ia masih penasaran siapa sebenarnya sosok laki-laki yang tadi meminta buatkan minuman olehnya.

Bersambung …

Hai, pembaca setia, jangan lupa beri dukungannya ya. Beri like, komentar positif, fav, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰

Happy reading…

Terpopuler

Comments

Sneha♥️

Sneha♥️

mampir*tentara dan dokter*

2022-12-07

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!