Di dalam kamar yang tidak begitu luas itu tampak puluhan pakaian dalam yang digantung berjejer pada sebuah tali. Sekar mengenali beberapa di antaranya. Tidak salah lagi, itu ce*ana dalam miliknya yang raib belum lama ini.
"Dasar wong edan! Buat apa Husein mencuri barang-barang ini!" gumam Sekar.
Ia kembali dibuat tercengang saat melihat apa yang kemudian dilakukan Husein pada pakaian dalam hasil curiannya itu. Laki-laki itu mengendus, bahkan menciumi benda-benda itu dan menikmatinya seolah menemukan kepuasan tersendiri.
Tiba-tiba Husein membuka resleting celananya hingga menampakkan ce*ana dalamnya.
"Mau apa dia?" batin Sekar.
Meskipun dari arah belakang, ia bisa melihat dengan cukup jelas apa yang dilakukan laki-laki yang menurutnya tidak waras itu. Husein mengeluarkan alat kelam*n nya dengan tangan kanannya lalu diges*kkannya pada tembok kamarnya. Sesekali ia mendes*h nikm*t, sementara tangan kirinya bertugas memegangi ce*ana dalam perempuan berwarna merah muda sambil terus mengendusnya. Benar-benar menjijikkan!
Sebelum perutnya yang sedari tadi mual itu benar-benar mengeluarkan seluruh isinya, Sekar memutuskan beranjak meninggalkan tempat itu.
"Krak!" Sial! Salah satu kakinya tidak sengaja menginjak ranting pohon. Sontak Husein pun menghentikan ritual me*um nya.
"Woi! Siapa itu?!" teriak Husein sembari mengedarkan pandangannya di kebun belakang rumahnya.
Sekar lekas mencari tempat persembunyian agar pemuda tidak waras itu tidak menemukannya.
"Bisa jadi rempeyek aku kalau dia sampai menemukanku," batinnya.
Sekar memutuskan segera meninggalkan tempat itu sebelum Husein memeriksa kebun belakang rumahnya.
"Benar-benar edan! Tidak waras!"
Umpatan itu tak berhenti meluncur dari mulutnya hingga tiba-tiba tubuhnya menabrak seseorang.
"Ma-ma-af, aku tidak sengaja," ucapnya.
"Sekar? Kamu dari mana?"
Sekar pun mendongakkan wajahnya.
"Za-Za-Zain?"
"Kamu dari mana mau kemana? Kok muncul dari arah sana?" tanya Zain.
"Ehm … aku-aku mau ke pasar."
"Loh, rumah kamu 'kan di sebelah sana."
"Tadi aku mampir sebentar ke warung."
"Aneh. Mau ke pasar, tapi mampir dulu ke warung," gumam Zain.
"Ya sudah, aku ke pasar dulu. Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam, hati-hati."
Sekar berlalu dari hadapan Zain lalu melanjutkan perjalanannya menuju pasar.
"Eh, kamu lagi, Nduk," ucap pedagang pakaian dalam bernama pak Bambang itu.
"Iya, Pak."
"Kamu ingin membeli ce*ana dalam lagi?"
"Ti-ti-tidak, Pak. Saya ingin membeli kutang."
"Ya sudah, pilih saja mana yang kamu suka."
"Yang ini saja 3 potong nomor nya 38," ucap Sekar seraya menunjuk bra busa tanpa kawat.
"Berapa, Pak?" tanya Sekar.
"45.000. Tapi bapak diskon 5000, jadi kamu cukup membayar 40.000 saja."
Sekar pun lantas mengambil selembar uang pecahan lima puluh ribu dari dalam saku pakaiannya lalu menyodorkannya pada pedagang tersebut.
"Terima kasih, Pak. Saya langsung pulang saja."
"Hati-hati, Nduk."
****
"Kamu ini kenapa to Nduk? Sepulang dari pasar tadi kok melamun saja," ucap Sumirah.
"Aku sudah tahu siapa pencuri pakaian dalam itu, Mbok."
"Hah? Siapa orangnya? Apa dia warga kampung kita?"
"Pelakunya adalah Husein."
"Husein? Maksud kamu saudara kembar Hasan anaknya pak Lurah?"
"Iya, Bu."
"Bagaimana kamu bisa tahu jika dia pelakunya?"
"Saat di jalan menuju pasar tadi aku tidak sengaja bertabrakan dengan seorang laki-laki. Setelah kuamati, topi yang dipakai laki-laki itu sama persis dengan topi yang dipakai laki-laki pencuri jemuran yang beberapa hari yang lalu nyaris kutangkap."
"Lantas, Husein apakan pakaian dalam hasil curiannya? Tidak mungkin 'kan kalau dia yang pakai?"
"Pakaian dalam itu memang tidak dipakai olehnya, tapi, …" Sekar menggantung ucapannya. Rasa jijik dan mual kembali menyerangnya.
"Tapi kenapa, Nduk?"
"Pakaian dalam hasil curiannya digunakan untuk melakukan ritual me*um di dalam kamarnya."
"Hah?"
"Husein melakukan sesuatu seolah dia sedang melakukan hubungan ba*an dengan si pemilik pakaian dalam itu," jelas Sekar.
"Benar-benar menjijikkan! Ternyata kelakuannya tak jauh beda dengan saudara kembarnya. Biar mbok melaporkannya pada bapaknya."
"Tapi, Mbok."
"Kelakuan Husein sudah melewati batas, pak Lurah harus tahu tabiat buruk anak laki-lakinya. Sekarang juga mbok mau ke rumahnya."
"Sekar ikut, Mbok."
Keduanya pun lantas meninggalkan rumah dan bergegas menuju rumah sang kepala desa.
"Kalian mau kemana? Sepertinya buru-buru begitu," tanya mbok Ijah saat mereka melintas di depan rumahnya.
"Mau ke rumah pak Lurah."
"Mau apa kalian ke sana?"
"Ada sedikit perlu," jawab Sumirah singkat
tanpa menghentikan langkah kakinya.
"Mau buat KTP, atau mau apa?"
"Nggak, Mbok. Nanti kami cerita. Maaf kami buru-buru."
Ibu dan anak itu pun lantas meninggalkan rumah tersebut.
Sesampainya di rumah sang kepala desa.
"Mbok Mirah dan Nak Sekar ini ada perlu apa ya, pagi-pagi begini sudah mendatangi rumah kami?" tanya Bu Ranti, istri pak Handoko sang kepala desa.
"Sebelumnya kami minta maaf jika kedatangan kami ke sini mengganggu waktu Ibu. Begini, Bu. Belakangan ini kedua anak gadis saya, Sekar dan Gendhis sering kehilangan pakaian dalamnya."
"Lantas, kenapa kalian datang ke sini? Kalian mau saya mengganti pakaian dalam puteri Mbok yang hilang dicuri itu? Begitu?"
"Bukan, Bu. Kami hanya ingin Ibu tahu jika nak Husein, anak laki-laki Ibu lah pelakunya."
"Kalian jangan sembarangan bicara. Anak saya hidup berkecukupan. Buat apa dia mencuri pakaian dalam yang harganya tidak seberapa itu."
"Saya berani bersumpah atas nama Allah, jika apa yang dikatakan ibu saya ini benar. .. ditambah lagi saya melihat Husein sedang melakukan ritual me*um di dalam kamarnya," ungkap Sekar.
"Fitnah macam apalagi ini. Mana mungkin anak saya melakukan hal serendah itu."
"Ada apa ini?" tanya Pak Handoko yang baru saja masuk ke dalam ruang tamu.
"Ini loh, Pak. Masa mereka menuduh anak kita sebagai pencuri pakaian dalam," papar bu Ranti.
"Mbok Mirah, Mbak Sekar … apa kalian tahu kalian sedang berbicara dengan siapa? Saya ini kepala desa, pemegang kekuasaan tertinggi di kampung ini. Jadi saya harap kalian bisa menjaga ucapan sekaligus tingkah laku kalian."
"Kami ini bicara apa adanya, Pak meskipun kami tidak memiliki bukti gambar atau rekaman apapun. Kami ini orang miskin, jangankan membeli ponsel, untuk makan sehari-hari saja kami sering kekurangan."
Tidak berselang lama pintu kamar Husein terbuka.
"Husein, sini Nak," panggil sang ibu.
Saudara kembar Hasan itu pun lalu duduk di atas sofa persis di sebelah bu Ranti.
"Mereka ini menuduhmu sebagai pencuri pakaian dalam. Apa itu benar, Nak?" tanya pak Handoko.
Husein menggelengkan kepalanya.
"Kamu tidak bohong pada ayah dan ibu 'kan?" Giliran sang ibu bertanya.
Sekali lagi pemuda tuna wicara itu menggelengkan kepalanya.
Ya, Husein saudara kembar Hasan memang terlahir tidak sempurna. Ia tidak bisa berbicara sedari kecil. Itulah sebabnya Pak Handoko dan bu Ranti tidak menyekolahkannya. Wajar bila Sekar ataupun warga lainnya tidak mengetahui keberadaannya. Husein juga lebih sering menghabiskan waktunya di dalam rumah.
"Kalian lihat sendiri 'bukan? Anak kami tidak melakukan apa yang kalian tuduhkan."
"Mana ada maling yang ngaku, Pak. Sekarang begini saja. Kita periksa kamar Husein. Tadi saya melihat banyak pakaian dalam hasil curiannya berada di sana," ucap Sekar.
Tak terlihat ketakutan ataupun kepanikan di wajah Husein. Ia bahkan membuka sendiri pintu kamarnya. Sekar tercengang. Kamar itu bersih, tak ada lagi tali untuk menggantung pakaian-pakaian dalam seperti yang tadi dilihatnya.
"Mana? Mana pakaian dalam yang tadi kamu bilang itu? Kamu lihat sendiri 'kan, kamar ini bersih," ucap pak Handoko.
Bu Ranti bahkan memeriksa isi lemari yang berada dalam kamar itu, namun hasilnya nihil. Ia sama sekali tak menemukan pakaian dalam wanita di dalamnya.
"Loh kok nggak ada. Saya yakin sekali tadi melihat banyak sekali pakaian dalam berada di kamar ini. Pasti Husein sudah menyembunyikannya," ucap Sekar.
"Sekar! Cukup! Sebelum saya berbuat kasar, detik ini juga kalian tinggalkan rumah kami!" sentak pak Handoko.
"Tapi, Pak, …"
"Apa perlu saya memanggil warga untuk menyeret kalian?!"
"Ayo, Nduk kita pulang saja. Kita tidak akan pernah menang melawan yang berkuasa dan berduit," ucap Sumirah.
Ibu dan anak itu pun lalu meninggalkan kamar tersebut.
"Aku yakin Husein sudah menyembunyikan barang bukti itu sebelum kita datang ke rumahnya," ucap Sekar saat dalam perjalanan pulang.
"Ya, Nduk, mbok percaya kok sama kamu. Mungkin Husein harus tertangkap basah dulu biar pak Handoko percaya kalau putra kesayangannya itu memang pencuri," ucap Sumirah.
Langkah mereka terhenti saat mereka melihat banyak warga yang berjalan ke arah timur. Pak Hanafi, sang ketua RT salah satunya.
"Maaf, Pak, ini ada apa kok banyak warga yang berjalan menuju ke arah sana?" tanya Sumirah.
"Memangnya mbok Sumirah belum tahu, Bu Wiwik ditemukan tewas menggantung diri dalam rumahnya sehabis subuh tadi. Sekarang warga akan mengurus pemakaman jenazahnya," jelas pak Hanafi.
"Inna lillahiwa inna ilaihiroji'un. Ya Allah, Wik, kenapa kamu mengambil jalan pintas ini? Apa kamu pikir setelah mati urusanmu akan selesai? Allah akan menolak jasadmu sampai hari kiamat nanti," lirih Sumirah.
Bersambung …
Hai, pembaca setia, jangan lupa beri dukungannya ya. Beri like, komentar positif, fav, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰
Happy reading…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments