"Bapak!" pekik keduanya lantaran mendapati Darman terbaring di atas tanah sembari merintih kesakitan. Rupanya suara benda jatuh tadi tak lain dan tak bukan adalah suara tubuh Darman yang jatuh dan dari atas pohon kelapa yang tengah disadap olehnya.
"Sakit … Bu ne," rintih Darman seraya memegangi bagian kakinya.
"Tolong! Tolong!" teriak Sekar.
Beberapa saat kemudian para tetangga pun berdatangan.
"Ono opo, Kar, kok bengak-bengok?"
(Ada apa, Kar, kok teriak-teriak?"
"Bapak jatuh dari pohon kelapa, Pak."
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un."
Seharusnya kalau habis hujan begini kamu menyadapnya nanti siangan dikit, Man."
"Mana yang sakit?"
"Kakiku … kakiku," rintihnya lagi.
"Bagaimana ini, Pak?" Suara Sumirah terdengar bergetar.
"Saya panggil pak RT dulu biar Darman diantar ke rumah mak Eros," ucap salah satu tetangga.
"Loh, kok dibawa ke sana?" protes Sumirah.
"Yang sakit kakimu 'kan, Man? Ya sudah, biar diurut saja sama mak Eros."
"Kamu pikir bojoku kecapean? Dia jatuh dari pohon kelapa yang tingginya lebih dari empat meter."
"Lalu, maumu bojomu dibawa kemana? Ke rumah sakit? Memangnya kamu punya uang?"
"Itu urusan nanti. Yang terpenting Darman lekas mendapatkan pertolongan!" tegas salah satu tetangga.
"Sabar ya, Pak ne, Soleh sedang mencari bantuan," ucap Sumirah seraya memijit-mijit kaki suaminya itu.
Beberapa saat kemudian Soleh kembali dengan membonceng sepeda motor pak Hanafi yang menjabat sebagai ketua RT di kampung itu.
"Pak RT, saya minta tolong antarkan suami saya ke rumah sakit," ucap Sumirah.
"Mari, Pak Darman."
Dengan dibantu tetangganya, Darman membonceng sepeda motor sang ketua RT lalu membawanya menuju rumah sakit.
"Mbok bingung, Nduk. Kita cari uang kemana untuk biaya berobat bapakmu? Bagaimana kalau kaki bapakmu retak atau tulangnya patah dan harus dioperasi? Gusti … kenapa kami diuji seberat ini?"
"Sabar, Mbok. Semua pasti ada jalan keluarnya," ujar Sekar.
"Siapa yang bisa menolong kita saat ini, Nduk? Hutang kemarin saja sudah membuat kepalaku mau pecah."
"Ehm … aku akan mencoba meminjam uang pada bu Dini," ucap Sekar.
"Kamu bahkan baru mulai bekerja. Bu Dini tidak mungkin meminjamkan uang padamu."
"Aku 'kan belum mencoba, siapa tahu bu Dini mau meminjamkan uangnya."
"Semoga saja, Nduk."
"Ya sudah, aku coba bicara pada bu Dini."
Setelah berpamitan pada Sumirah, Sekar pun meninggalkan rumahnya dan menuju tempat kerjanya, rumah pak Warsito.
****
"Baru jam setengah tujuh, kok kamu sudah datang?" tanya istri pak Warsito, bu Dini.
"Ehm … sebenarnya saya ingin minta tolong pada Ibu."
"Minta tolong?" Wanita bertubuh gempal itu mengerutkan keningnya.
"Bapak saya terjatuh dari pohon kelapa. Saya-saya bermaksud meminjam uang pada Ibu."
"Yang benar saja kamu. Baru juga mulai bekerja, sudah berani meminjam uang."
"Selain Ibu, saya tidak tahu lagi harus minta tolong pada siapa."
"Saya tidak punya uang!"
"Saya mohon, Bu. Ibu bisa memotong gaji saya setiap bulannya."
"Kamu ini bikin kesal saja! Sana pergi! Aku pecat kamu!"
"Jangan pecat saya, Bu. Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini."
"Sana pergi!" sentak bu Dini seraya mendorong tubuh Sekar.
Tak ada pilihan, Sekar pun akhirnya meninggalkan rumah pak Warsito.
Sesampainya di rumah.
"Bagaimana, Nduk? Dapat pinjaman nya?"
tanya Sumirah.
"Nggak dapat, Mbok. Bu Dini malah memecatku."
"Ya Allah Gusti, paringono sabar, kenapa ujian untuk keluarga kita seberat ini?" keluh Sumirah.
"Sabar, Mbok."
Tiba-tiba Sumirah beranjak dari tempat duduknya.
"Mbok mau kemana?" tanya Sekar.
"Ke rumah Wiguna. Hanya dia yang bisa menolong kita saat ini."
"Jangan, Mbok. Jangan berhutang lagi sama lintah darat itu."
"Kalau tidak berhutang, bagaimana kita bisa membayar biaya rumah sakit bapakmu?"
"Ya sudah, mbok pergi dulu."
"Tunggu, Mbok!"
"Kenapa lagi?"
"Aku ikut."
"Tidak usah, kamu di rumah saja."
"Aku harus ikut!"
"Anak ini ngeyel sekali. Ya sudah, ayo kita ke rumah Wiguna," ucap Sumirah.
Keduanya pun lantas berjalan beriringan menuju rumah Wiguna.
Tentu saja kedatangan keduanya disambut ramah oleh sang pemilik rumah yang sebenarnya masih memendam perasaan pada Sumirah.
"Mimpi apa saya semalam hingga sepagi ini didatangi dua bidadari?" ucapnya.
"Kedatangan kami ke sini adalah untuk minta tolong," ucap Sumirah dengan wajah tertunduk.
"Minta tolong?"
"Ya. Suamiku jatuh dari pohon kelapa saat menyadapnya. Sekarang dia berada di rumah sakit."
Wiguna tersenyum tipis.
"Kamu ini bagaimana, Mir. Hutang yang kemarin saja sama sekali belum kalian cicil. Sekarang sudah mau pinjam lagi."
"Aku tidak tahu selain kamu, harus kemana lagi aku meminta bantuan."
Wiguna yang sedari tadi berdiri itu kini duduk di atas sofa sembari menyilangkan kaki. Sekar menundukkan wajahnya ketika tiba-tiba pria itu memandangnya.
"Siapa namamu, Cah ayu?" tanyanya.
"Se-Se-kar, Pak."
"Nama yang cantik, secantik wajahnya. Memandang wajahmu, aku jadi ingat saat ibumu masih muda dulu."
"Kamu jangan coba-coba merayu Sekar!" sentak Sumirah.
"Aku tidak merayunya. Anak gadismu ini memang cantik, secantik kamu saat masih muda dulu."
"Jadi, kamu bisa tidak meminjamkan uang untukku?"
"Saya tidak tega jika harus mengatakan saya tidak bisa membantumu."
"Jadi, kamu bisa meminjamkan uang padaku?"
"Tentu saja. Tapi, kamu tahu 'bukan? Semua yang ingin meminjam uang saya harus memberikan jaminan. Memangnya kamu punya jaminan apa?"
"Aku-aku tidak punya jaminan apapun. Tapi aku janji, aku pasti membayar hutangku dengan cara mencicilnya."
"Aku punya penawaran untukmu."
"Penawaran?"
"Aku bisa memberikan uang untukmu. Bahkan aku tidak akan menganggapnya hutang. Asalkan, …"
"Asalkan apa?"
"Kamu membiarkan Sekar menikah dengan saya. Sepertinya saya sudah jatuh cinta pada putrimu yang ayu ini."
"Tidak! Aku tidak rela putriku menikah dengan lintah darat sepertimu!" tegas Sumirah.
"Baik, kalau begitu silahkan sekarang juga angkat kaki dari rumah ini!"
Bingung. Itulah yang dirasakan Sumirah kini. Di satu sisi dia begitu membutuhkan uang untuk biaya rumah sakit suaminya, tapi di sisi lain dia tidak rela jika puteri sulungnya itu dinikahi pria sepertinya.
Tiba-tiba terdengar suara sepeda motor dari arah halaman rumah. Tidak berselera lama seseorang masuk ke dalam ruangan itu. Rupanya pak Hanafi, sang ketua RT.
"Pak Hanafi?"
"Saya tadi ke rumah Bu Mirah, tapi rumah Ibu kosong. Ada salah satu warga yang mengatakan jika dia melihat kalian berjalan ke arah rumah pak Wiguna, makanya saya menyusul ke sini."
"Bagaimana keadaan suami saya?" tanya Sumirah.
"Tidak begitu baik, Bu. Bahkan buruk."
"Apa maksud Bapak?"
"Ehm … dokter mengatakan jika tulang kaki pak Darman remuk, jadi harus dilakukan operasi secepatnya. Ibu diminta datang ke rumah sakit untuk segera mengurus administrasi agar pak Darman lekas mendapatkan tindakan," papar pak Hanafi.
"Ya Allah Gusti, bagaimana ini?"
Tiba-tiba saja Wiguna menyodorkan sebuah amplop berwarna cokelat pada Sumirah.
"Jumlahnya 30 juta, pasti cukup untuk biaya operasi kaki suamimu," ucapnya.
"T-t-tapi. Syarat yang tadi?"
"Syarat apa? Sudah, ambil saja uang ini, lalu cepat kamu bayarkan ke bagian administrasi rumah sakit agar suamimu lekas dioperasi."
"Kenapa tiba-tiba Wiguna jadi baik begini? Bukankah tadi dia mengajukan syarat akan memberi pinjaman asalkan aku mengizinkannya menikahi Sekar? Apakah dia iba setelah mendengar penjelasan pak Hanafi? Ataukah dia hanya ingin mencari muka saja agar terlihat seperti seorang pahlawan di hadapan pak Hanafi?" batin Sumirah.
"Masyaallah, Pak Wiguna ini baik sekali. Mau membantu bu Sumirah yang tengah dilanda kesulitan tanpa pamrih," ujar pak RT.
"Sebagai sesamanya manusia kita memang harus saling membantu 'bukan?"
"Ya sudah, Bu. Sekarang juga saya antar Bu Mirah ke rumah sakit. Kasihan pak Darman kalau harus menunggu terlalu lama."
"Gun … kamu benar 'kan, meminjamkan uang ini tanpa syarat apapun?" tanya Sumirah.
Wiguna menganggukkan kepalanya seraya tersenyum.
"Ya sudah, saya mengucapkan terima kasih atas bantuanmu. Saya janji pasti akan membayar hutang saya," ucap Sumirah.
"Tidak usah kamu pikirkan, yang terpenting sekarang adalah nyawa bojomu."
"Baiklah kalau begitu. Sekarang juga saya akan ke rumah sakit. Kamu nggak apa-apa kan pulang sendiri, Nduk?"
"Nggak apa-apa kok Mbok."
"Kami permisi dulu."
Sumirah, Sekar dan pak Hanafi pun lantas meninggalkan ruang tamu. Sumirah membonceng sepeda motor pak Hanafi, sementara Sekar berjalan pulang ke rumahnya.
"Tidak dapat ibunya, dapat anaknya." Wiguna tersenyum lebar.
Bersambung …
Hai, pembaca setia, jangan lupa beri dukungannya ya. Beri like, komentar positif, fav, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian akan sangat berarti bagi Author. 🥰🥰🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments