"Aku pamit dulu deh, Kar," ucap Lilis.
"Loh, kok buru-buru?"
"Ehm … aku-aku disuruh ibu ambil jahitan di tempat Bu Nining."
"Ya sudah, kamu hati-hati."
"Mau titip salam nggak buat Zainal? Aku lewat depan rumahnya loh."
"Ah, jangan gitu. Dia sudah ada yang punya."
"Lamaran juga belum. Lagipula sebelum janur kuning melengkung, artinya masih milik bersama." Lilis terkekeh.
Tidak lama kemudian ia pun meninggalkan rumah Sekar.
"Loh, mana si Lilis?" tanya Sumirah yang kembali menghampiri Sekar di teras rumah.
"Lagi ambil jahitan ke rumah bu Nining."
"Padahal mbok mau nitip ini."
"Apa itu, Mbok?"
"Cabe buat nyambel. Sudah lama juga mbok tidak ketemu ibunya si Lilis."
"Ya sudah, nanti kalau dia lewat lagi, biar ku titipin cabe nya."
Sumirah pun lantas memberikan kantong plastik berwarna hitam itu pada Sekar.
Setengah jam kemudian halaman rumah yang cukup luas itu kini telah terlihat bersih. Namun ia heran lantaran Lilis tak juga kembali dari rumah si penjahit.
"Aku antar cabe nya ke rumah Lilis saja ya Mbok," ucap Sekar pada sang ibu.
"Loh, kok kamu yang antar? Memangnya Lilis belum lewat? Rumah bu Nining 'kan tidak jauh dari sini."
"Belum, Mbok. Aku tungguin dari tadi nggak lewat-lewat."
"Memangnya selain jalan ini dia mau lewat jalan mana lagi?" tanya Sumirah.
Sekar mengangkat kedua bahunya.
"Yo wis yen Kowe meh ngeterke, tapi labgsung mulih, meh surup."
(Ya sudah, kalau kamu mau antar, tapi langsung pulang, sudah hampir gelap)
"Nggih, Mbok."
Sekar pun berlalu dari hadapan Sumirah dan menuju rumah Lilis.
Jarak dari rumah Sekar menuju rumah Lilis cukup jauh. Untuk menuju ke rumahnya Sekar harus melewati sebuah pohon beringin tua yang disakralkan warga.
Sekar mengumpulkan keberanian sebelum melewati pohon besar berusia ratusan tahun itu. Tiba-tiba saja ia bergidik ngeri saat mendapati pemandangan yang tersaji di depan matanya. Tampak beberapa ekor bangkai burung gagak berserakan persis di bawah pohon tersebut. Bukan hanya itu saja, ia juga mendapati wadah berisi makanan, buah, bahkan bunga mengelilingi pohon.
Dari cerita yang beredar, banyak warga yang mendatangi pohon raksasa itu dengan maksud dan tujuan tertentu. Ada yang meminta pesugihan, ilmu kebal, bahkan ilmu pemikat wanita. Biasanya warga akan membawa sesaji sebagai syarat untuk menyampaikan permohonannya pada si penunggu pohon besar itu.
Bulu kuduk Sekar meremang saat tiba-tiba ia mendengar suara mirip orang yang tengah mendengkur. Pun ia mencoba mengabaikannya. Melawan ketakutan lebih tepatnya.
Sekar mempercepat langkahnya demi bisa segera sampai di rumah orangtua Lilis. Ia tidak mempedulikan suara di belakangnya mirip seperti langkah orang yang tengah membuntutinya. Ia bernafas lega saat rumah Lilis yang cukup jauh dari tetangganya itu mulai terlihat.
"Kamu, Nduk," ucap wanita paruh baya yang biasa dipanggil bu Wiwik itu.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam. Ada apa sore-sore begini mendatangi rumahku?"
"Ehm … saya disuruh ibu mengantarkan ini untuk Bu Wiwik," ucap Sekar seraya menyodorkan kantong plastik berwarna hitam itu pada bu Wiwik.
"Apa ini, Nduk?"
"Itu cabai untuk nyambel. Mbok yang menyuruh mengantarkannya ke sini. Tadinya cabai ini mau saya titipkan pada Lilis yang agi ke rumah bu Nining untuk mengambilnya jahitan. Karena dia tak kunjung melintas, saya pun akhirnya memilih mengantarkan cabe ini langsung ke rumah Ibu."
"Tunggu. Sepertinya saya dan keluarga saya tidak sedang menitipkan jahitan pada bu Nining. Mau apa Lilis ke sana? Pamitnya pada saya adalah dia mau ke rumah budhe nya."
"Kalau boleh saya tahu, di mana rumah budhe Lilis?" tanya Sekar.
"Di desa Tegalwangi."
"Oh." Sekar membulatkan mulutnya.
Desa Tegalwangi berada di sisi timur desa itu dan dipisahkan sebuah kali. Jika berjalan kaki akan memakan waktu kurang lebih satu jam untuk mencapai desa tersebut. Jika Lilis memang kesana, seharusnya tidak melewati rumah Sekar.
"Ya sudah kalau begitu saya permisi dulu."
"Loh, kok buru-buru. Mampir lah sebentar. Sudah cukup lama kamu tidak mampir."
"Ehm … tapi, Bu. Ini sudah mau gelap. Mungkin lain kali saja," tolak Sekar halus.
"Ayolah, sebentar saja kok."
Sekar hanya bisa pasrah saat bu Wiwik menggandeng tangannya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Sementara itu Sumirah tengah dilanda rasa panik lantaran Sekar belum juga kembali dari rumah Lilis.
"Sudah tahu hari hampir gelap, kenapa tadi kamu suruh si Sekar keluar rumah?" cecar Darman.
"Aku pikir Sekar hanya pergi sebentar saja."
"Kamu lihat, sudah adzan Maghrib dan si Sekar belum juga sampai rumah. Bagaimana kalau dia ditangkap makhluk penghuni pohon beringin besar itu?"
"Bapak ini kalau bicara jangan sembarangan. Apa Bapak mau kalau Mbak Sekar benar-benar ditangkap makhluk halus?" Sang adik, Gendhis yabg baru saja keluar dari dalam kamarnya itu menimpali.
"Bapakmu ini apa-apa selalu dikaitkan dengan makhluk halus," gerutu Sumirah kesal.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang mengetuk pintu.
"Tuh, pasti Sekar sudah pulang," ucap Sumirah. Ia pun bergegas menuju pintu depan rumahnya.
"Akhirnya kamu pu-..."
"Kamu, Jun. Ada apa?"
Rupanya yang mengetuk pintu rumahnya bukanlah Sekar, melainkan salah satu tetangganya yang bernama Junaedi.
"Itu mbok … anu … anu …ada warga kampung sini yang ditemukan meninggal dunia di gubuk di sawah!"
"Hah?!"
Bersambung …
Jangan lupa beri dukungannya ya.
Beri like, komentar positif, fav, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰
Happy reading…
Bersambung …
Jangan lupa beri dukungannya ya.
Beri like, komentar positif, fav, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰
Happy reading…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments