Sore itu Sekar terlihat tengah menyapu halaman rumahnya. Terkadang ia dibuat kesal lantaran harus menyapu halaman pagi dan sore saat pohon mahoni yang ditanam sama ayah di sisi rumah mulai menggugurkan daunnya.
"Nek nyapu sing resik mengko bojomu brewoken,
(Kalau nyapu yang bersih nanti suamimu brewokan)
Sekar menghentikan aktivitasnya sejenak saat seseorang melintas di halaman rumahnya.
"Lilis?"
Namanya Lilis, kawan sebayanya yang sudah cukup lama pindah ke kota.
"Apa kabarmu Lis, sudah lama sekali kita tidak bertemu."
"Ya beginilah."
"Mampir yuk, kita ngobrol-ngobrol."
Sekar menggandeng tangan Lilis lalu mengajaknya duduk di dipan kecil yang berada di teras rumahnya.
"Kapan kamu kembali ke desa ini?" tanya Sekar.
"Baru tiga hari yang lalu."
"Sama suami kamu 'kan?"
Perempuan berkerudung itu menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba saja raut wajahnya berubah sedih.
"Loh, kalian 'kan pengantin baru, masa suamimu membiarkanmu pulang sendiri."
"Suamiku sudah meninggal dunia dua bulan yang lalu, Kar."
"Innalillahi wa innailaihi rojiun."
Lilis memang sudah dua kali menikah. Suami pertamanya meninggal sekitar satu tahun yang lalu. Cukup mengagetkan jika suaminya yang kedua kembali mengalami nasib yang sama.
"Kenapa hidupku begini banget ya?" Mas Aryo ataupun mas Malik keduanya meninggal di saat malam pertama pernikahan kami. Aku sudah kapok menikah, Kar."
Sekar terdiam sejenak, ia lantas berpikir. Tiba-tiba saja ia teringat istilah perempuan bahu Laweyan. Menurut istilah Jawa, bahu Laweyan adalah wanita yang jika menikah akan selalu ditinggal mati pasangannya.
Ciri-ciri dari wanita ini ialah ia memiliki tanda berupa dua lingkaran pada punggung kiri dan kanan serta dua lingkaran pantat kiri dan kanan.
"Kalau boleh tahu kenapa suamimu meninggal? Apa mereka memiliki riwayat penyakit tertentu?" tanya Sekar.
"Nggak, Kar. Mas Aryo dan mas Malik semuanya sehat."
Entah sebenarnya Lilis tahu atau tidak tentang istilah itu, pun Sekar memilih untuk tidak mengungkapnya.
"Mungkin memang belum jodoh, Lis," hiburnya.
"Kamu sendiri gimana, sudah ada calon, mungkin?" tanya Lilis.
Sekar tersenyum tipis.
"Jangankan calon, pacar saja nggak punya."
"Ah, masa sih? Setahuku banyak loh pemuda desa yang naksir kamu."
"Naksir saja tapi nggak ada yang berani melamar." Sekar terkekeh.
"Oh ya, bagaimana dengan Zainal?"
Mendengar namanya membuat jantung Sekar berdebar tak karuan.
"Apanya yang bagaimana?"
"Aku tahu kok dari dulu kamu naksir sama anak pak kyai itu."
"Ssssst … jangan keras-keras, nanti ada yang dengar. Zainal sudah dijodohkan sama Hanum," ucap Sekar setengah berbisik.
"Hanum? Gak salah?"
"Memangnya apa yang salah? Hanum anaknya ustadz Sofyan yang cantik dan kuliah di kota itu 'kan? Pemuda mana yang menolaknya."
"Kalau di kampung memang perilakunya terkenal baik, tapi aku serinh mendengar kabar tidak sedap jika perilaku Hanum sudah berubah 180 derajat setelah dia pindah ke kota. Kalau yang aku dengar dia terjerumus dalam pergaulan bebas. Nauzubillah min dzalik. Tapi benar atau tidaknya aku tidak tahu. Itu hanya cerita dari orang-orang saja," ungkap Lilis.
"Kalau cuma "katanya" itu masih meragukan. Apalagi sesuatu yang tidak didasari bukti jatuhnya bisa jadi fitnah," ujar Sekar.
"Ya, semoga saja itu nggak benar."
Tidak berselang lama Gendhis muncul di halaman rumah. Sejak duduk di bangku kelas tiga, di seringkali pulang sekolah menjelang adzan Ashar.
"Assalamu'alaikum," sapanya.
"Waalaikumsalam," sahut Sekar dan Lilis bersamaan.
Tak ada pertanyaan basa-basi lagi, gadis berusia tujuh belas tahun itu melengang begitu saja dari hadapan mereka.
"Itu adikmu Gendhis 'kan? Sudah besar saja dia.
"Ya, sebentar lagi lulus SMA."
"Kamu nggak iri sana adikmu? Dia bisa sekolah sampai bangku SMA, sedangkan kamu hanya lulus SMP saja."
Sekar mengulas senyum.
"Kenapa aku harus iri? Mungkin nasibnya lebih baik, saat pendaftaran siswa baru panen cabai bapak melimpah, jadi bisa digunakan untuk membayar uang masuk sekolah Gendhis. Saat aku lulus SMP dulu, bapak mengalami gagal panen. Jadi, aku harus rela pendidikanku hanya sampai di bangku SMP saja."
Obrolan keduanya terdengar oleh Sumirah yang sedang menyortir cabai hasil panennya hari ini di dapur. Ia pun menyempatkan diri menyapa tamunya.
"Eh, Lilis? Kapan kamu datang?"
"Bu Mirah." Lilis meraih tangan Sumirah laku mencium punggung tangannya.
"Sudah lumayan lama ngobrol ngalor-ngidul sama Sekar, Bu."
"Saya dengar kamu ikut suamimu ke kota, ada acara apa yang membuatmu kembali ke desa ini?"
"Suami saya sudah meninggal dunia empat puluh hari yang lalu, Bu."
"Innalilahi wa inna ilaihi raji'un. Maaf, saya benar-benar tidak tahu."
"Tidak apa-apa, Bu."
"Ya sudah, lanjut lagi mengobrolnya. Saya dan pak ne Sekar sedang menyortir cabe."
Sumirah pun berlalu dari teras lalu masuk kembali ke dalam rumahnya.
"Lis … aku merasa akhir-akhir ini sering mengalami hal-hal ganjil."
"Hal ganjil apa maksudmu?"
"Sudah berkali-kali celana dalamku hilang, ditambah lagi makanan yang kumasak pagi tadi sebelum aku berangkat ke sawah tiba-tiba saja hilang secara misterius."
"Hilang? Kamu yakin tidak ada yang keluargamu yang memakannya?"
"Bapak dan simbok semuanya ada di sawah,sedangkan adikku Gendhis berangkat sekolah."
"Jangan-jangan ada pencuri yang masuk ke dalam rumahmu lalu memakan makanan itu."
"Kalaupun memang pencuri pelakunya, dia pasti merusak salah pintu atau jendela untuk memaksa masuk ke dalam rumah ini. Nyatanya pintu atau jendelaku tidak ada yang rusak. Aku curiga makhluk halus pelakunya."
"Aku kok jadi merinding begini ya," ucap Lilis.
Bersambung …
Jangan lupa beri dukungannya ya.
Beri like, komentar positif, fav, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰
Happy reading…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Suhaetieteetie
lanjut thor
2022-12-03
1