Sekar meninggalkan dapur dan berkas menuju halaman belakang rumahnya. Aneh, tak ada siapapun di sana padahal tadi jelas-jelas yang mendengar suara seseorang yang menyeret langkah kakinya.
"Siapa, Nduk?" tanya sang ibu saat Sekar kembali ke dalam dapur.
"Tidak ada siapa-siapa, Mbok."
"Aneh."
"Ya sudah, aku ke pasar dulu, Mbok," ucap Sekar seraya meraih tangan sang ibu lalu mencium punggung tangannya.
"Hati-hati, Nduk, di pasar banyak copet," ucap sang ayah.
"Aku hanya membawa a selembar uang saja kok pak, apanya yang mau dicopet?"
"Uang satu lembar pun kalau kamu tidak hati-hati menyimpannya bisa apes," ucapkan pak Darman seraya mengupas ubi rebus.
Setelah mengenakan kain kerudungnya ia pun meninggalkan ruangan tersebut.
Jarak dari rumahnya menuju pasar tidak sampai 1 km. Sekar pun memilih menempuhnya dengan berjalan kaki.
"Eh, Sekar. Mau ke pasar ya, Cah ayu?" sapa Hasan saat gadis itu melintasi sebuah pos ronda.
"Ho.oh."
"Aku antar pakai sepeda motor yuk, biar cepat," ucap Hasan seraya menarik salah satu lengan sekarang.
"Jangan pegang-pegang!" sentak gadis berkerudung itu.
"Nggak usah sombong begitu. Nanti nggak laku-laku."
Hasan. Pemuda berusia 20 tahun itu adalah teman sekolah Sekar. Waktunya sehari-hari hanya dihabiskan dengan nongkrong dan bermain-main saja. Baginya bekerja bukan hal yang penting. Jabatan ayahnya sebagai kepala desa membuat apapun yang menjadi keinginannya bisa terwujud dengan mudah tanpa harus bekerja seperti kawan-kawan sebayanya. Hasan sendiri memiliki perasaan lebih pada Sekar. Entah sudah berapa kali ia mengungkapkan perasaannya pada gadis berambut panjang itu, namun segar selalu menolaknya dengan alasan dia belum ingin memiliki pacar apalagi menikah.
"Ayo, biar ku antar. Nanti aku akan mentraktirmu makan bakso di warung pak kumis." Kali ini ajakan Hasan terdengar sedikit memaksa. Iya bahkan berani melingkarkan salah satu tangannya di pinggang ramping Sekar.
"Sudah kubilang jangan pegang-pegang!"
"Ayolah, aku hanya ingin mengajakku makan bakso saja."
"Maaf aku harus cepat-cepat ke pasar sebelum pasar tutup."
Pasar di desa tempat tinggal Sekar hanya buka di hari pasaran tertentu saja yakni Wage dan pahing. Selain hari itu pasar tidak dibuka untuk umum.
Rupanya pemuda pengangguran itu semakin nekat. Dia menarik kerudung Sekar hingga terlihat sebagian rambutnya.
"Kamu ini lama-lama kurang ajar ya?! Apa aku perlu berteriak agar warga beramai-ramai datang ke sini?!" ancamnya.
"Ja-ja-ngan!"
Sekar mendengus kesal sebelum akhirnya meninggalkan pos ronda tersebut.
Setelah berjalan kaki selama kurang lebih 15 menit, sampailah ia di pasar.
"Tembakau, cengkeh, sama kertas nya 20 ribu, Mbah," ucapnya pada seorang kakek tua yang menjual tembakau dan kawan-kawannya.
Dengan sikap laki-laki berusia lebih dari 60 tahun itu menimbang barang pesanan Sekar lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik.
Dari penjual tembakau dia bergeser menuju seorang pedagang yang menjual pakaian.
"Cari apa, Nduk?" tanyanya.
"Ehm … anu … ****** *****."
"Berapa? Satu lusin? 2 lusin?"
"Tidak sebanyak itu kok, Bu. Mau saya pakai sendiri."
"Harga per bijinya sepuluh ribu," ucap wanita paruh baya itu seraya menyodorkan beberapa potong ****** ***** ke arahnya.
"Kok mahal, Bu," protes nya.
"Memangnya di zaman sekarang ini apa yang nggak mahal, Nduk? Lha wong harga garam saja naik."
"Kemarin saya beli ****** ***** di pasar ini juga masih dapat 5000 per biji nya."
"Kemarin itu kapan?"
"Belum lama, baru sekitar sebulan yang lalu."
"Ya sudah sana, beli di pedagang yang jual ****** ***** seharga 5000," sungut si pedagang. Ya lalu mengambil kembali pakaian dalam itu dari hadapan Sekar dengan kasar.
"Kalau jadi penjual itu jangan judes-judes, Bu, nanti pembelinya kabur," ucap Sekar ditanggapi pedagang itu dengan memonyongkan bibirnya.
"Beli di sini saja, Nduk. Bapak masih menjual ****** ***** dengan harga lama," ucap seorang pria saat Sekar melintas di depan lapak jualannya.
"Beneran?"
"Beneran. Kamu hanya perlu membayar 5000 rupiah saja untuk setiap bijinya."
Sekar tampak berpikir sejenak.
"Kalau uangnya aku belikan ****** ***** semua, nanti aku tidak dapat tahu dan tempe," gumamnya.
"4 biji saja ya, Pak."
"Nggak sekalian setengah lusin? Nanti bapak kasih diskon."
"Nggak, Pak. Uangnya tidak cukup."
"Nggak apa-apa, lain kali kamu bisa kembali ke sini. Kamu warga daerah sini kan?"
"Iya, Pak, saya tinggal di kampung Sukasari."
Tiba-tiba pedagang pakaian itu mengamati wajah Sekar.
"Sepertinya wajahmu mirip dengan seseorang yang kukenal. Apa Bapak boleh tahu siapa nama bapak dan ibumu?
"Nama bapak saya pak Darman, dan nama ibu saya ibu Sumirah."
"Oalah anaknya Sumirah toh. Pantas saja wajahmu mirip sekali saat ibumu masih muda dulu."
"Bapak kenal dengan ibu saya?" tanya Sekar.
"Ya jelas kenal toh yo. Bapak dan ibumu itu dulu sering bermain bersama waktu kecil di kampung Banyubiru. Punya anak berapa sekarang si Mirah?"
"Dua, Pak. Saya dan adik perempuan saya."
"Wah! Cocok sekali. Kebetulan kedua anak saya laki-laki dan kedua-duanya belum menikah. Mungkin ibumu dan saya bisa menjadi besan." Pria berkumis tebal itu terkekeh.
"Oh ya, Pak. Ini uangnya," ucap Sekar seraya menyodorkan uang pecahan 20.000 pada pedagang pakaian itu.
"Terima kasih, Nduk, lain kali mampir lagi. Oh ya sampaikan salamku untuk Mirah dari kawan lamanya, Bambang."
"Iya, Pak, nanti saya sampaikan. Kalau begitu saya permisi dulu."
Uang Sekar kini hanya tinggal 10.000 saja. Ibunya tadi sempat berpesan untuk membelikan tahu dan tempe. Namun, entah kenapa iya begitu tertarik untuk membeli kue gethuk dari seorang pedagang yang lapaknya tidak jauh dari lapak Pak Bambang.
"Berapa harga gethuk nya, Mbah?" tanyanya.
"5000 saja, Nduk."
"Saya beli satu bungkus ya, Mbah. Ini uangnya."
Pedagang itu pun lantas memasukkan sebungkus makanan yang terbuat dari ubi itu ke dalam sebuah plastik lalu menyodorkannya pada Sekar.
"Maturnuwun ya, Nduk."
"Sami-sami, Mbah."
Tempat terakhir yang didatanginya sebelum meninggalkan pasar adalah penjual tahu dan tempe. Dengan uang 5.000 yang ia miliki, ia bisa membeli masing-masing 5 biji tempe dan 5 biji tahu.
"Ini pasti cukup untuk lauk makan siang nanti," gumamnya.
Sekar baru saja melangkah meninggalkan pasar. Di depan pasar itu lah dia memutuskan untuk duduk di sebuah bangku kosong di tempat pedagang sayuran yang hari ini libur berjualan.
"Sepertinya enak duduk sambil makan kue getuk tadi," pikirnya.
Baru saja hendak memasukkan potongan pertama gethuk itu ke dalam mulutnya, tiba-tiba raja muncul seorang perempuan tua di hadapannya.
"Sedekah nya, Nduk. Nenek dari pagi belum makan," ucapnya seraya menengadahkan tangannya."
Sekar membungkus kembali gethuk itu lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik.
"Maaf, Nek. Saya tidak punya uang tapi jika Nenak mau, Nenek bisa ambil gethuk ini," ucap Sekar.
Senyum mengembang di bibir perempuan renta itu.
"Alhamdulillah, terima kasih, Nduk. Semoga apa yang menjadi keinginanmu terkabul, dan kamu bisa punya suami yang kaya."
Meski merasa ada yang aneh dengan doa yang diucapkan nenek tersebut Sekar memilih menganggukkan kepalanya."
Tidak lama kemudian nenek itu pun berlalu dari hadapannya.
Sekar pulang ke rumahnya dengan menyusuri jalan yang sama seperti yang dilaluinya saat berangkat ke pasar tadi.
"Dapat nggak Nduk, ****** ********, Nduk?" tanya sang ibu saat Sekar tiba di rumahnya. Sang Ibu terlihat tengah menyapu teras.
"Dapat, Mbok. Oh ya tadi penjualnya titip salam untuk Mbok."
"Titip salam?" Sumirah mengerutkan keningnya.
"Namanya Pak Bambang dia bilang dia berasal dari desa Banyubiru." Sekar meletakkan kantong plastik berisi barang belanjaannya di atas meja lalu masuk ke dalam kamarnya.
"Loh, tahu tempe nya kok cuma sedikit, Nduk?" tanya sang ibu saat memeriksa kantong plastik tersebut.
"Maaf, Mbok. Tadi aku kepingin sekali makan gethuk."
"Terus sekarang gethuk nya di mana?"
"Ehm … anu … anu."
"Apa sudah habis kamu makan sendiri?"
"Nggak, Mbok. Tadi ada peminta-minta. Karena aku kasihan, aku kasih saja gethuk itu untuknya," jelas Sekar.
"Ya sudah kalau begitu. Nanti tahu sama tempenya dibacem saja. Mbok mau berangkat ke sawah bantuin bapakmu panen cabai."
"Ya, Mbok. Setelah selesai memasak aku nyusul ke sawah."
Begitulah pekerjaan sehari-hari Sumirah dan suaminya, Darman. Mereka memanfaatkan satu-satunya petak lahan yang mereka miliki untuk bercocok tanam. Harga cabe sekarang sedang tinggi, itulah alasan Pak Darman pergi ke sawah pagi-pagi sekali. Dia takut hasilnya bercocok tanam dicuri orang.
Sekar tengah masak di dapur. Lagi-lagi ia mendengar suara orang menyeret langkah kaki dari arah halaman belakang rumahnya. Sekar pun mengintip dari celah-celah balik bambu di bagian dapur rumahnya. Benar saja, ia mendapati seorang laki-laki tengah mengendap-endap di sana. Perlahan ia mendekati tali yang ia gunakan untuk menjemur pakaiannya. Diantara pakaian-pakaian yang masih basah itu, hanya satu yang diambilnya yakni ****** ********!
"Tunggu! Berhenti! Wong edan! Pantes aja celana dalamku pada hilang ternyata kamu pencurinya!" teriak Sekar seraya berlari mendekati pria tersebut.
(Orang gila!)
Laki-laki bertopi itu pun atas menoleh ke arahnya. Sayang, laki-laki itu berhasil melarikan diri sebelum Sekar melihat wajahnya.
"Sebenere sopo wong edan iku?"
(Sebenarnya siapa orang gila itu?)
gumamnya.
Bersambung …
Hai, pembaca setia, dukung terus karyaku ya. Jangan lupa beri like, komentar positif, fav, vote dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian akan sangat berarti bagi Author.
Happy reading …🥰🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments